Guru Versus Kepala Sekolah
Seorang teman saya tadinya merupakan seorang guru Biologi di sebuah SMP di daerah Jakarta. Ia menceritakan beberapa metode yang dia gunakan untuk mengajar Biologi kepada saya. Beberapa metodenya sangat menarik. Misalnya, ia menempelkan berbagai jenis gambar makanan di sekeliling kelasnya mulai dari ketoprak, nasi goreng, dan sebagainya. Ia memberikan masing-masing siswanya pensil warna yang berbeda-beda. Lalu secara serentak ia meminta siswanya untuk menuliskan kandungan-kandungan gizi yang ada pada makanan tersebut, misalnya mie mengandung karbohidrat dan sebagainya. Untuk melakukan assessment ia tinggal melihat warna pensil yang digunakan untuk menulis. Ia telah mencatat siapa-siapa saja yang menulis dengan pensil apa.
Untuk menguji apakah siswanya paham mengenai fotosintesis, ia meminta siswanya untuk menerangkan proses fotosintesis melalui gambar dan mempresentasikannya. Ada berbagai jenis gambar. Selain itu ia banyak menggunakan games untuk mengajar.
Sayangnya, kepala sekolahnya tidak mengerti niat baiknya. Menurut kepala sekolahnya. Siswa-siswinya sudah SMP dan tidak perlu belajar menggunakan gambar-gambar yang menarik. “Kalau mau menggunakan metode seperti itu, mengajar TK saja lah!”
Menurut saya, justru karena siswa-siswi tersebut sudah SMP, saat mereka belajar mereka harus memiliki pemahaman akan konsep (sains) dan mampu menerangkannya kembali dengan berbagai cara, termasuk dengan membuat alat peraga sederhana ataupun gambar.
Hal-hal seperti ini bukan hal yang aneh di Indonesia. Kisah seperti di atas bukan kisah pertama yang saya dengar. Saya ingat beberapa tahun yang lalu seorang guru di Garut sempat dipenjara karena beradu pendapat dengan kepala sekolahnya. Guru ini mengubah-ubah tempat duduk di kelas para siswa sehingga membentuk lingkaran agar diskusi lebih hidup dan suasana lebih ramai. Sang kepala sekolah tidak suka. Ntah bagaimana, kasus sesederhana itu bisa sampai ke tangan polisi. Tidak semua kepala sekolah mengerti bahwa suasana kelas yang ramai karena diskusi justru menunjukkan bahwa pembelajaran sedang berlangsung.
Tampaknya untuk menghasilkan suasana belajar yang memadai, bukan hanya diperlukan guru yang berkualitas tetapi kepala sekolah yang mengerti apa yang dimaksud dengan ‘belajar’, tentunya belajar dalam arti sesungguhnya.
Untuk menguji apakah siswanya paham mengenai fotosintesis, ia meminta siswanya untuk menerangkan proses fotosintesis melalui gambar dan mempresentasikannya. Ada berbagai jenis gambar. Selain itu ia banyak menggunakan games untuk mengajar.
Sayangnya, kepala sekolahnya tidak mengerti niat baiknya. Menurut kepala sekolahnya. Siswa-siswinya sudah SMP dan tidak perlu belajar menggunakan gambar-gambar yang menarik. “Kalau mau menggunakan metode seperti itu, mengajar TK saja lah!”
Menurut saya, justru karena siswa-siswi tersebut sudah SMP, saat mereka belajar mereka harus memiliki pemahaman akan konsep (sains) dan mampu menerangkannya kembali dengan berbagai cara, termasuk dengan membuat alat peraga sederhana ataupun gambar.
Hal-hal seperti ini bukan hal yang aneh di Indonesia. Kisah seperti di atas bukan kisah pertama yang saya dengar. Saya ingat beberapa tahun yang lalu seorang guru di Garut sempat dipenjara karena beradu pendapat dengan kepala sekolahnya. Guru ini mengubah-ubah tempat duduk di kelas para siswa sehingga membentuk lingkaran agar diskusi lebih hidup dan suasana lebih ramai. Sang kepala sekolah tidak suka. Ntah bagaimana, kasus sesederhana itu bisa sampai ke tangan polisi. Tidak semua kepala sekolah mengerti bahwa suasana kelas yang ramai karena diskusi justru menunjukkan bahwa pembelajaran sedang berlangsung.
Tampaknya untuk menghasilkan suasana belajar yang memadai, bukan hanya diperlukan guru yang berkualitas tetapi kepala sekolah yang mengerti apa yang dimaksud dengan ‘belajar’, tentunya belajar dalam arti sesungguhnya.
Comments