Posts

Showing posts from 2015

The Future of Education: Journal Reflection 1 (Part 1)

Based on your experience as a learner, what do you think you will be able to get out of this course?  Since a few years ago, I started having a very ambitious dream. I wanted to write a blue print about the future of Indonesia's education. Then, one day, coincidentally, I was watching a TEDx London talk by Ken Spours.   He mentioned that to revolutionize the education in England  "we should start by trying to agree about our value". In his talk he mentioned three main values. First, that everybody counts, everybody can be educated, everybody is educable, and  everybody can both think and do. Second, that we must consider the law of care, which meant that the ones   who need the most must get the most.Third, he argued that we should move from the word "versus" toward the word "and". For example, the term "subject versus real life experiences" and "knowledge versus skills" should rather be "subject and real life experiences&q

Oh, Saya Cari Gara-gara!

Image
Sumber : http://www.vasanthk.com/wp-content/uploads/2015/03/Promise-Quote.jpg Beberapa bulan yang lalu, saya cari gara-gara.  Begini ceritanya. Sudah sejak tahun 2007, teman-teman dan saya mendirikan Sekolah Rumah Mentar i (sebuah komunitas belajar). Di sana kami banyak berkegiatan bersama anak-anak di Kampung Sekepicung, kadang juga bersama pemuda, ibu-ibu, maupun bapak-bapak yang ada di Kampung tersebut. Kegiatannya bervariasi dari kegiatan belajar bersama (matematika, bahasa Inggris, memasak), jalan-jalan, bermain drama, berkebun, dan banyak lagi. Namun, saya merasa ada yang kurang. Saya ingin berjejaring dengan guru-guruyang mengajar di sekolah-sekolah di sekitar Sekolah Rumah Mentari. Siapa tahu ada kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama.  Jadi, saya mulai dengan mengunjungi salah satu sekolah, sebuah SD,  yang letaknya tak jauh dari Kampung Sekepicung. Bu Dewi (teman yang rumahnya kami pakai untuk kegiatan Sekolah Rumah Mentari) menemani saya untuk mengunjungi

Refleksi tentang Empat Pilar Pendidikan (Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together, Learning to Be)

Image
Sumber :  http://weknowyourdreams.com/   Saya sudah sering mendengar mengenai empat pillar pendidikan yang dikemukakan oleh Dellors, et.al, (1996) dalam naskah Learning: The Treasure Within . Menurut beliau, ada empat tujuan pendidikan yakni : Learning to know (belajar untuk tahu) Learning to do (belajar untuk bisa melakukan) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) Learning to be (belajar untuk menjadi) Namun, ketika saya mendengarkan salah satu kuliah online " What future for education"  via Coursera.org , saya merasa menemukan sebuah pemaknaan baru, khususnya ketika saya merefleksikan tujuan-tujuan tersebut dengan praktek pendidikan yang terjadi di sekolah. Pada kenyataannya, ada beberapa (banyak?) sekolah yang hanya fokus pada satu atau dua tujuan di atas. Bagaimana pihak sekolah memahami tujuan pendidikan akan berimplikasi pada bagaimana mereka menjalankan proses belajar-mengajar di sekolah. Si beberapa sekolah, tujuan pendidikan han

Kurikulum Terlalu Berat? Kurikulum Manakah yang Dimaksud?

Image
Beberapa kali saya mendengar ada yang berkata, "Kurikulum (sekarang terlalu) berat."  Pernyataan-pernyataan seperti ini biasanya saya dengar dari orang tua yang merasa materi yang dipelajari oleh anaknya di sekolah terlalu berat, jauh lebih berat daripada apa yang dipelajarinya semasa muda, dulu.  Saya sendiri juga beberapa kali menemukan bahwa siswa mempelajari materi yang terlalu berat di sekolah. Misalnya, saya pernah bertemu siswa SD yang diminta oleh gurunya untuk menghafalkan berbagai nama enzim-enzim yang ada dalam tubuh manusia. Halah! Saya juga tidak hafal. Kalau saya jadi siswa SD-nya tentu saya akan menganggap materi tersebut terlalu berat. Meskipun begitu, saya tidak akan langsung mengatakan bahwa "kurikulum terlalu berat". Kenapa? Karena kurikulum ada berbagai jenisnya. Saat mengatakan "kurikulum terlalu berat", kurikulum manakah yang dimaksud? Kurikulum memang ada berbagai jenisnya, berdasarkan http://www.sagepub.com/sites

Workshop Penilaian dan Pembelajaran Autentik (Bagian 1)

Image
Beberapa bulan yang lalu, saya menjadi peserta Workshop "Penilaian dan Pembelajaran Autentik" yang diselenggarakan di Sekolah Madania. Kegiatan tersebut diselenggarakan berkat kerja sama  Foundation for Excellence in Education (FEE),  Alumni Advance Certificate for Teaching and Learning  (ACTL), dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Jumlah peserta  saat itu ada sekitar 150 orang, sebagian besar merupakan guru. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing  kelompok masuk ke kelas yang berbeda-beda untuk mengikuti workshop yang sama-sama bertema "penilaian dan pembelajaran autentik", namun untuk mata pelajaran yang berbeda-beda. Sebenarnya awalnya saya mau masuk ke kelas "penilaian dan pembelajaran autentik matematika" tapi kelas tersebut sudah penuh sehingga saya akhirnya masuk ke kelas "penilaian dan pembelajaran autentik IPS dan PKn". Saya tidak menyesal juga karena ternyata sesinya juga sangat menarik. Di dalam kelas, telah tersedia
Image
Ini ada potongan tulisan dari bukunya Alex Bellos (2010) yang berjudul "Here's looking at Euclid: A surprising Excursion through Astonishing World of Math". Kutipannya tentang bagaimana seekor chimpanzee belajar 'matematika' (lihat video di bawah ini) Cerita ini, membuat saya berefleksi tentang pendidikan. Apakah pendidikan yang kita berikan kepada siswa-siswa kita memang benar-benar pendidikan yang memungkinkan siswa berpikir secara lebih dalam atau 'pendidikan' (atau mungkin lebih bisa disebut pengajaran) yang tidak beda jauh dengan 'pendidikan' yang diberikan pada Ai (chimpanzee yang ada di tulisan di bawah ini). Seperti yang tertulis di dalam tulisan di bawah ini "Even though Ai had learned to manipulate numbers perfectly well, she lacked human depth of understanding." Semoga pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak (didik) kita tidak seperti itu yah, membuat siswa kita 'lacked human depth of understanding'.

Menulis Tentang Bullying dan Menulis untuk Terapi

Sekelompok teman-teman saya sedang membuat kajian komprehensif mengenai bullying di sekolah. Mulai dari teori-teori mengenai bullying, studi komparasi mengenai bullying di negara-negara lain, studi tentang korban-korban yang pernah dibully , studi tentang orang-orang tua yang anaknya di- bully, studi tentang best practices dalam menghadapi bullying, dan sebagainya. Pokoknya lengkap deh dari teori, bukti riil di lapangan, sampai ke solusi. Konteksnya khusus. Konteks di Indonesia. Salah satu seorang teman yang terlibat di dalam penyusunan buku ini waktu itu meminta saya mencarikan beberapa korban bully yang bersedia berbagi ceritanya untuk studi ini. Saya mengatakan bahwa saya juga merupakan korban bullying. "Kalau begitu, kamu ikut cerita saja. Ceritakan bagaimana kamu bertahan, dan sekarang kamu sudah jadi pendidik jadi bagaimana kamu memandang itu," katanya pada saya. Saya tidak pernah menceritakan dengan detil mengenai pengalaman saya kepada siapapun. Tapi saya menyan

PPDB di Kota Bandung dan Pendidikan Komprehensif untuk Semua

Rabu (08/07/2015) puluhan orang tua mendatangi Balai Kota Bandung (Kompas.Com, 08/07/2015). Orang tua-orang tua ini merasa sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ngaco. Tahun ini, PPDB Kota Bandung memang agak berbeda dari sebelumnya. Kalau biasanya PPDB untuk masuk sekolah negeri (khususnya di tingkat SMP dan SMA) biasanya lebih ditentukan oleh prestasi akademis siswa. Kali ini, justru siswa (miskin) yang tinggal di sekitar lokasi sekolah lebih diutamakan untuk masuk sekolah negeri. Siswa ini bisa masuk ke sekolah negeri tanpa mempertimbangkan prestasi akademik mereka. Apabila program ini dijalankan dengan baik, lebih dari 20% siswa miskin bisa masuk ke sekolah negeri terlepas dari apapun perstasi akademik mereka. Beberapa orang tua merasa bahwa sistem ini tidak adil. Mereka merasa bahwa anaknya “pintar” tapi justru tidak diterima di sekolah negeri. Menurut mereka tak ada salahnya menerima siswa miskin di sekolah negeri, tapi yang harus diutamakan adalah siswa miskin yang

Wajib Belajar 12 Tahun, Hak Akan Pendidikan, dan Sekolah Komprehensif

 Semenjak tahun 1994, Indonesia menerapkan Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Namun, akan terjadi perubahan dalam waktu dekat. ‘Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memulai rintisan Wajib Belajar atau Wajar 12 tahun pada 2016’ (ANTARA News, 23/06/2015)[1]. Wajar adalah ‘program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah’ (Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008).  Ketika Pemerintah Indonesia berani menyelenggarakan Wajar, maka pemerintah harus berkomitmen untuk menyediakan layanan pendidikan yang memadai sehingga memungkinkan semua warga negara bisa mengakses pendidikan yang disyaratkan dalam program Wajar. Sebagai contoh, apabila pemerintah menerapkan Wajar 9 tahun yang mewajibkan siswa mengikuti pendidikan dari kelas 1 SD sampai kelas 9 SMP maka pemerintah wajib menyediakan layanan pendidikan khususnya pendidikan setingkat SD sampai SMP. Layanan pendidikan ini harus bisa diakses secara mudah oleh setia

Ngobrol (Lagi) dengan Kang Dan Satriana

Sudah lama saya tidak ketemu dengan Kang Dan Satriana. Dua minggu lalu saya sempat menghubungi beliau, "Kang bakal ada orang di Kalyanamandira gak hari Minggu? Saya mau main ke sana". Kalyanamandira adalah salah satu komunitas tempat Kang Dan berkegiatan. Kalau mau tahu lebih lanjut tentang komunitas ini, silakan lihat --> https://kalyanamandira.wordpress.com/  Lokasinya di Buah Batu, Bandung. Waktu mahasiswa dan bahkan sampai sekarang, saya sesekali mampir ke sana untuk ngobrol dengan teman-teman Kalyanamandira.  Akhir pekan kemarin, saat saya ke Bandung. Saya pun menghubungi Kang Dan lagi. Kang Dan mengatakan bahwa beliau habis bersepeda di daerah Dago dan mengajak ketemuan di suatu kedai kopi di Jalan Hasanudin. Akhirnya, bisa juga bertemu dengan Kang Dan. Mbak Danti , yang rumahnya saya tumpangi selama di Bandung pun ikut serta. Jadilah, kami ngobrol bertiga. Rasanya senang sekali bertemu dengan teman lama seperti Kang Dan. Saya mengenal Kang Dan sejak 2

Refleksi tentang Pendidikan Sebagai Hak

Image
Setiap Senin pagi, tukang koran akan mengantarkan koran Media Indonesia ke depan pintu tempat tinggalku. Setiap Senin, di Media Indonesia ada satu halaman penuh yang berisi opini tentang Pendidikan. Pagi ini,  ketika saya membuka koran Media Indonesia, saya menemukan berita ini : Berita lengkapnya bisa dibaca di -->  http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/11494/Ujian-SD-Syarat-Masuk-SMP/2015/05/18 Berita ini menyiratkan bahwa ujian nasional (atau ujian sejenisnya) tetap penting meskipun bukan sebagai penentu kelulusan. Kalau hasil ujian SD seorang siswa baik, maka mereka berhak masuk ke sekolah-sekolah tertentu. Pilihan mereka dalam memilih jenis pendidikan lebih luas daripada siswa yang nilai ujian sekolahnya rendah. Kalau hasil ujian SD seorang siswa kurang baik, maka mereka hanya punya pilihan sedikit dalam menentukan ke mana mereka mau melanjutkan pendidikan. Apabila pelaku pendidikan mempercayai sistem yang semacam ini, artinya mereka belum memandang bahwa pendidikan