Berbagai bahasan mengenai pendidikan karakter: mencari akar kebingungan

Sudah hampir dua bulan saya berkutat dengan pembelajaran mengenai diskusi karakter. Awalnya karena saya diminta mengkritisi kebijakan pendidikan untuk tahun 2011 yang menyatakan salah satu program terbaru pemerintah adalah mengenai pendidikan karakter.

Terus terang, meskipun saya mengerti bahwa yang membedakan pendidikan (education) dengan pengajaran (training) adalah bahwa dalam pendidikan ada yang disebut penanaman value, tetapi sungguh pendidikan karakter yang diusung oleh pemerintah membuat saya bingung. Bagi saya pibadi, meaningless. Kenapa? Saya belum bisa menjawab.

Saya tidak menampik pentingnya pendidikan karakter, tapi masih ada yang belum sreg dalam hati saya mengenai pendidikan karakter yang diusung pemerintah. Sampai sekarang saya mesih belum bisa mendefinisikan dengan jelas kebingungan saya. Saya terus mencari. Saya bolak-balik berdiskusi dengan para guru, praktisi, pengamat, teman-teman aktivis pendidikan dan lain-lain. Tulisan saya dibawah tidak bertujuan untuk menarik kesimpulan hanya merangkum berbagai pendapat yang saya dengar mengenai pendidikan karakter. Saya masih mencoba mengurai benang kusut dalam pikiran saya.

Beberapa hal yang menarik yang saya temui dalam dua bulan terakhir ini, pertama adalah tulisan Doni Koesoema(Kompas, 19 Juli 2010, h 7)* yang menuliskan bahwa pendidikan karakter baginya bagiakan kucing hitam. Saya memaknai bahwa pendidikan karakter bagai kucing hitam itu berarti pendidikan karakter, meskipun secara normatif merupakan hal yang baik, sebenarnya konsepnya masih belum jelas (vague).

Kedua, adalah bahasan saya dengan teman saya yang berlatar belakang antropologi. Menurutnya, di level pemerintah, program besar pemerintah seharusnya bukan membicarakan mengenai pendidikan karakter tetapi mengenai berbagai program seperipemetaan kualitas pendidikan, program peningkatan kualitas guru, dan sebagainya.

Saya katakan padanya,
"Tidak bisa, bagi seorang guru, pendidikan karakter itu merupakan hal yang sangat esensial dalam proses pendidikan itu sendiri. Kalau pemerintah mencanangkan program semacam pendidikan karakter, tentu saja guru senang. Ini isu yang menyenangkan untuk guru"

Teman saya lalu menjawab, "Kalau isu-isu semacam pendidikan karakter didiskusikan oleh guru (secara kultural), bukan karena isu ini dibuat oleh pemerintah, saya akan senang sekali. Tetapi isu ini seakan-akan menutupi berbagai PR besar lainnya yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah belum mampu melakukan pemetaan pendidikan, saat mereka mencanangkan pendidikan karakter, itu menjadi suatu program yang aman, seakan-akan mereka sudah mengerjakan sebuah proyek besar tapi PR sesungguhnya belum diselesaikan."


* Doni Koesoema menuliskan 2 buku mengenai pendidikan karakter diantaranya "Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter" yang menurut saya sangat inspiratif dan juga buku "Pendidikan Karakter"

Saya lalu berdiskusi dengan seorang praktisi pendidikan yang biasa menghadapi anak-anak yang terlibat proses kriminal. Bahasan menarik bersamanya adalah bahwa dalam dokumen pemerintah (mengenai pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang dibuat oleh Puskur) tidak ada hal baru. Misalnya melatih kedisiplinan dengan upacara. Bukankah bahkan di zaman orde baru sudah begitu?

Kami pun berdebat mengenai pentingnya pendidikan karakter. Saya mengatakan bahwa dari sudut pandang guru, pasti perlu. Apalagi dengan kondisi sekarang bahwa ada berbagai masalah misalnya obat-obatan terlarang, seks bebas, dan berbagai isu-isu moral lainnya. Justru perlu pendidikan karakter.

Menurutnya, permasalahannya belum tentu di sekolah atau kurikulum.

Dia lalu bertanya :
"Apakah di sekolah (secara umum) guru mengajarkan untuk melakukan berbagai hal tersebut, kekerasan, seks bebas, obat-obatan terlarang?"
Saya katakan, meskipun ada, secara umum tidak.
Katanya lagi,
"Ngak diajarkan kok, tapi masih terjadi. Artinya, kesalahannya bukan terjadi di sekolah tetapi di masyarakat. Pemerintah tidak mampu menyelesaikan berbagai kerusakan yang terjadi di masyarakat, lalu ia membebankannya pada sekolah. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan pemerintah DKI saat menghadapi kemacetan. Jakarta macet, sebenarnya sumber masalahnya bukan siswa, tetapi siswa sekolahnya dimajukan hingga lebih pagi. Tetapi permasalahannya tidak selesai. Kenapa siswa yang diberi kebijakan? Karena menurut teori kekuasaan, mereka yang tidak akan protes."

Kami juga berbicang-bincang bahwa salah satu permasalahan mengenai pendidikan karakter yang dirancang pemerintah adalah bahwa di sana siswa-siswa diharapkan belajar dari berbagai nilai yang dihasilkan oleh masyarakatnya. Sudut pandang ini sudah kuno menurut beberapa pemikir pendidikan, karena yang seharusnya diharapkan adalah bahwa siswa-siswi mampu mengkritisi nilai-nilai yang ada dimasyarakatnya.

Saya membahas ini dengan dua orang teman saya yang berbeda. Yang satu aktivis pendidikan yang satu anak hukum, dan hasilnya adalah bahwa justru dalam kondisi masyarakat yang sangat kacau balau sekolah memerlukan yang disebut pendidikan karakter. Karena sekolah seharusnya merupakan pusat-pusat pembudayaan.
Benar menurut saya, kalau seorang guru yang baik, pasti berpikirnya begitu, tapi terus terang saja kepala saya masih pusing. Masih ada yang mengganjal di hati saya.

Belum lama ini saya mengunjungi sebuah sekolah yang cukup menarik. Guru-gurunya sangat tulus. Sekolah ini menekankan bahwa pendidikan yang baik adalah menghasilkan manusia yang berkarakter. Nanti saya akan ceritakan lebih lanjut. Sekolah ini mnarik sekali dan sangat teratur. Siswa-sisw di sini kala makan tidak menyisakan nasi satu pun, kerja sama terbangun dengan baik, dan dalam setiap pelajaran setiap value dibahas, sehingga ada kesimpulan-kesimpulan mengenai berbagai value secara ekplisit.

Entah kenapa, meskipun sangat menarik, saya masih kurang sreg. Saya pikir apa saya yang aneh atau bagaimana. Pertama, saya tidak tahu apakah sebuah value misalnya mengenai kedamaian, keadilan, kebaikan, dan semuanya harus terungkapkan secara eksplisit (di sini siswa yang mengungkapkan sendiri dan guru hanya menjadi fasilitator)? Saya sendiri dibesarkan dengan mempelajari berbagai nilai secara implisit. Ibu saya hampir tidak pernah menasihati saya apapun secara langsung, hanya memberikan contoh.

Saya dibacakan dongeng setiap hari oleh kedua orang tua saya. Dongeng tersebut tidak eksplisit, seperti :
"Ani adalah anak yang jujur dan rajin menabung , si ini suka berbohong dan akibatnya bla.. bla.. (linear).

Buku-buku yang saya baca sata kecil nilainya hampir selalu sangat implisti, halus tidak terlihat, tapi saya percaya masuk ke alam bawah sadar saya hingga kini. Saat saya besar dan membacanya kembali, baru saya bisa memaknai nilai-nilai yang terkandung dibelakangnya. Terus terang saya kebingungan sendiri.

Saya pun membahas ini dengan teman-teman saya. Yang satu guru di sekolah formal dan satu lagi adalah praktisi di pendidikan non formal. Dari pembahasan kami adalah, kami tidak menyetujui bahwa sekoalh dibuat sesteril mungkin. Seorang teman yang merupakan seorang calon guru di suatu daerah mengatakan, "di keluarga saya saya diajarkan bahwa kita boleh salah. Tidak harus selalu benar." Sekolah-sekolah yang steril adalah sekolah-sekolah yang cenderung berusaha membuat siswa selalu benar. Dan bagi saya menakutkan.

Sepulang dari sekolah tersebut, saya membahas kunjungan tersebut dengan seorang guru lainnya yang menyekolahkan anaknya di sekolah alam. Saya pernah mengunjungi sekolah alam dan melihat bahwa di sana anak-anak berlari kian kemari masuk ke dalam lumpur, berloncat-loncatan. Katanya, " kalau dibandingkan sekolah tadi, sekolah alam tampak seperti 'kebun binatang' karena bebas sekali, meskipun begitu, itu bentuk pendidikan karakter juga meskipun berbeda."

Saya setuju, saya ingat bahwa berbagai model pendidikan memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Saya tidak percaya pada satu cara untuk melakukan pendidikan karakter. Saya ingat cerita-cerita Astrid Lindgren, pengarang favorit saya. Di buku itu ia mengajarkan anak-anak mengenai kebebasan, anak-anak yang bisa dibilang bandel seperti Emil, suatu hari bisa menjadi waikota. Kebebasannya untuk berkespresi membantu membentuk karakternya.

Saya juga teringat pada INS Kayu Tanam dan Kayu Siswa yang memiliki ciri khas pendidikan yang berbeda karena berada di konteks yang berbeda. Interpretasi saya Moehammad Syafei, pendiri INS Kayu Tanam merupakan seorang yang sangat teratur dan terstruktur sehingga itu pun tercermin dalam bentuk pendidikannya. Sedangkan AS Neil misalnya dengan Summer Hill Schoolnya bukan, dan baginya ada nilai yang lebih penting daripada menjadi teratur, misalnya siswa boleh melakukan apapun asalkan bersedia bertanggung jawab terhadap pilihannya.

Dengan praktisi pendidikan non formal, ia sempat menyeletuk, bagus sih menanamkan berbagai nilai-nilai yang baik ke dalam anak. Tetapi ada kalanya nilai-nilai itu harus ditantang. Perlu ada mis-learning. Oke ini nilai-nilai yang saya pegang, tetapi kondisi seperti ini. Apa benar? Proses ragu dan kemudian mencari itu diperlukan.

Ntah apa yang saya cari. Mudah-mudahan dalam merangkum berbagai pembicaraan saya dan teman-teman menyangkut pendidikan karakter saya bisa menemukan titik 'aha'. Kenapa pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah membuat saya bingung dan resah? Saya masih belum tahu jawabannya..

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)