Teknologi Pendidikan Untuk Indonesia yang Murah, Terjangkau, dan Mudah Digunakan: Mungkinkah?
"Merevolusi Pendidikan Dasar untuk Indonesia Emas 2045" adalah tema diskusi Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) yang diadakan pada Rabu, 6 November 2024 lalu. Pak Ahmad Rizali (Nanang) menyampaikan presentasi tentang perlunya kebijakan yang fokus pada peningkatan mutu SD/MI, salah satunya melalui peningkatan mutu pendidikan guru, mulai saat calon guru berkuliah S1 di LPTK dan pendidikan guru yang sudah jadi guru.
Tampaknya, hampir semua peserta setuju bahwa peningkatan mutu guru adalah salah satu kebijakan strategis.
Namun, salah satu peserta lain, Prof Iwan Pranoto, mengingatkan bahwa peningkatan mutu guru itu ideal, tetapi dalam kondisi Indonesia saat ini, strategi itu tidak cukup. Kondisi riil, masih ada sekolah-sekolah yang tidak ada gurunya. Juga, ada kalanya gurunya harus meninggalkan siswa untuk mengikuti berbagai program pelatihan guru. Akhirnya, siswa ditinggal. Jelas, siswa dirugikan. Maka Pak Iwan Pranoto menganggap, meningkatkan mutu guru saja itu tak cukup untuk menyelesaikan masalah pendidikan yang ada saat ini.
Pak Iwan Pranoto percaya bahwa perlu penggunaan teknologi agar siswa dan guru bisa belajar bersama-sama meningkatkan mutunya. Menurut Pak Iwan, teknologi sederhana yang bisa digunakan adalah Whats App, bukan berbagai aplikasi yang canggih-canggih. Setiap hari guru bisa memperoleh video pendek yang membantunya meningkatkan pengetahuannya yang diperlukan untuk mengajar. Biayanya murah, terjangkau, dan mudah diakses oleh banyak guru.
Saya setuju dengan gagasan Pak Iwan. Di Gernas Tastaka dan Gernas Tastaba sendiri ada relawan blast yang tugasnya blasting video/bahan pembelajaran bagi teman-teman guru melalui WA. Tentu saja sumber daya yang terbatas menyebabkan ini belum bisa dilakukan serutin yang diinginkan.
Saya juga jadi teringat pendidikan seni di Kuba. Di sana setiap siswa SD-nya harus belajar berbagai lagu anak dan tradisional. Maka pemerintahnya menyediakan TV di setiap kelas. Siswanya bersama dengan gurunya belajar lagu-lagu tersebut bersama-sama. Saat itu teknologi untuk pendidikan yang ada adalah TV, sekarang ada pilihan-pilihan lainnya. Namun di antara berbagai pilihan tersebut memang perlu dipilih yang terjangkau dan mudah digunakan oleh nyaris semua guru di Indonesia.
Saya teringat bahwa Pak Iwan pernah menjadi atase pendidikan dan kebudayaan Indonesia untuk India dan Bhutan di Kedutaan Besar RI di New Delhi India. Saat melakukan tugas kenegaraan tersebut, Pak Iwan menyempatkan diri untuk berkeliling ke beberapa komunitas pendidikan di India dan sekitarnya seperti mengunjungi Barefoot College, Riverside School tempatnya Kiran Sir Bethi memulai program Design for Change, dan beberapa tempat lainnya. Dalam proses tersebut, Pak Iwan mempelajari berbagai teknologi-teknologi pendidikan yang diterapkan di India, tapi yang murah, terjangkau, dan mudah digunakan.
Tahun 2014, Pak Iwan sedang ada urusan di Indonesia. Beliau meminta tolong saya membuat acara di ruang Kemendikbud RI untuk mendiseminasikan temuannya tentang teknologi pendidikan ini.
Hari ini pandangan Pak Iwan masih sama. Menurutnya, kondisi Indonesia saat ini sumber dayanya terbatas. Jangankan guru yang berkualitas, masih juga ada sekolah yang tidak ada gurunya. Teknologi harus digunakan untuk mempercepat peningkatan mutu pendidikan, tetapi teknologinya harus murah, terjangkau, dan mudah digunakan. Soal itu, saya setuju!
Oh iya, saya nemu beberapa foto saat acara diseminasi temuan tentang teknologi pendidikan di India. Fotonya masih blurry. Kamera hp di zaman itu belum secanggih sekarang. :)
Comments
(Agung-GernasTastaka)