Guru Bukan Robot

Guru Bukan Robot

Oleh Dhitta Puti Sarasvati


… Education inevitably creates friction regarding aims, priorities and control. We should not deplore this, but rather welcome this debate, because it confirms that some educators are thinking about their roles, not simply doing what they are told (Jeffs 2001 in Linda and Wolf (Eds.), p.36)

Saat saya sedang membaca kalimat di atas, saya langsung teringat obrolan saya dengan beberapa guru sekolah negeri. Saat itu sedang ada acara mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Kementerian Pendidikan mengenai apakah RSBI telah dikomersialisasikan. Saat itu saya sudah mendengar bahwa banyak sekolah RSBI memungut biaya hingga puluhan juta rupiah. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah negeri. Tadinya saya sempat hampir menyalahkan pihak sekolah karena melakukan pungutan-pungutan semacam ini tetapi ketika saya mendengar curahan hati seorang kepala sekolah bahwa ia mendapat paksaan dari pusat untuk memenuhi beberapa persyaratan agar sekolahnya dapat menjadi RSBI (termasuk memperbaiki berbagai fasilitas dan sebagainya). Sekolah tersebut ditunjuk langsung oleh pusat dan syaratnya ditentukan oleh pusat. Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai bantuan dana, ternyata untuk memenuhi semua syarat yang ditentukan oleg pemerintah biaya yang diperlukan masih sangat besar dan sekolahpun kebingungan dari mana harus mencari dana, “terpaksa kami memungut bayaran dari siswa,” katanya pada saya.

“Kami ditunjuk oleh pemerintah dan diminta segera memenuhi syarat,” tambahnya pada saya menggambarkan bagaimana kebijakan pemerintah, seperti sebelumnya selalu bersifat top-down tanpa adanya proses assessment mengenai kebutuhan dan kapasitas sekolah.

Saya pernah menjadi seorang guru di sebuah madrasah dan mengerti sekali dilemma yang dihadapi seorang guru. Seringkali guru harus berbenturan dengan berbagai kepentingan termasuk diantaranya kepentingan penguasa, kepentingan pasar kerja, dan berbagai kepentingan lainnya yang tidak selalu sejalan dengan berbagai filosofi pendidikan. Banyak diantara kita yang tidak setuju pada Ujian Nasional (UN) karena kita memaknai proses belajar lebih luas daripada sekedar untuk mengikuti sebuah ujian.

Saya misalnya, lebih berpegang pada prinsip assessment for learning. Apapun bentuk sebuah assessment termasuk diantaranya ujian harus digunakan untuk merancang program pembelajaran yang terbaik untuk siswa di kemudian hari. Binet misalnya, saat pertama merancang test IQ , ia memang menilai kemampuan siswa tetapi hal ini digunakan agar siswa-siswa yang memiliki IQ di bawah rata-rata bisa memperoleh pendidikan yang lebih khusus, sehingga kebutuhan mereka terpenuhi. Ujian Nasional tidak digunakan untuk tujuan ini (merancang program terbaik untuk siswa). Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan assessment yang saya percaya. Sebagai seorang pendidik, terutama di sekolah formal, mau tidak mau saya harus berhadapan dengan berbagai keputusan yang dbuat oleh pemerintah yang menyangkut kinerja saya. Meskipun begitu, saya percaya bahwa saya memiliki hal untuk merefleksikan kembali berbagai kebijakan yang menyangkut dunia pendidikan, pendidik, dan siswa. Meskipun saya harus mengajarkan siswa saya menghadapi berbagai realita yang ada dalam dunia pendidikan, saya merasa saya perlu menggunakan akal pikiran saya untuk menganalisa dan mengkritisi berbagai situasi dan kebijakan pendidikan yang dibebankan kepada saya, setidaknya melalui tulisan dan juga diskusi.


Meskipun untuk menjadi seorang pendidik [professional] diperlukan berbagai penguasaan ilmu pengetahuan (teruutama bidang studi yang diajarkan) serta berbagai keterampilan lainnya seperti kemampuan menggunakan teknologi (termasuk di antaranya ICT), kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan numeracy dan literacy, tetapi itu saja tidak cukup.

Bagi saya salah satu keterampilan yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah kemampuan untuk berpikir kritis dan mempertanyakan berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita, mulai dari fenomena yang paling sederhana yang terjadi di sekitar kita, misalnya di lingkungan kelas atau sekolah hingga isu-isu yang lebih besar termasuk berbagai isu nasional dan internasional, tentu termasuk diantaranya mengenai berbagai kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Hal tersebut berhubungan langsung dengan pendidik dan siswa. Kepedulian terhadap berbagai isu mengenai kebijakan pendidikan menunjuka bahwa kita, para pendidik sangat peduli terhadap apa yang akan dihadapi oleh siswa. Apa efeknya sebuah kebijakan terhadap proses pembelajaran di sekolah Bagaimana sikap kita seharusnya? Seorang pendidik yang baik pasti akan khawatir apabila suatu kebijakan hanya dijalankan untuk kepentingan penguasa ataupun bisnis. Bagi seorang pendidik yang paling utama adalah kepentingan siswa.

Menurut saya, seorang pendidik, harus mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis dan kemampuan untuk bertanya, mencari, berefleksi, terus bertanya, dan berpikir. Seorang pendidik mungkin saja harus terlimitasi oleh berbagai kebijakan dan aturan yang mengekangnya, tetapi seorang pendidik tidak boleh terkekang pemikirannya. Ia harus bebas dalam menggunakan pemikirannya yang bisa dituangkan melalui tulisan, diskusi, dan tentunya lebih baik lagi diaplikasikan. Seroang pendidik harus menggunakan segenap pemikiran dan hati saya untuk memaknai segala yang terjadi disekitar. Kemampuan untuk menggunakan pemikiran saya untuk mencari makna merupakan salah satu roh yang paling utama bagi seorang pendidik, tentunya ditambah rasa cinta terhadap ilmu, profesi, maupun siswa-siswinya.

Sumber:

1) Jeffs, Tony. First lessons : historival perspectives on informal education in Richardson, Linda Deer and Mary Wolfe. (2001). Principles and Practices of Informal Education: Learning Through Life, Routledge, Oxon : 2001

2) IQ Tests : Where Does It Come From, http://iq-test.learninginfo.org/iq01.htm

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)