Kisah Mengenai Buku Non-Mainstream
Belum lama ini saya bertemu seseorang yang sempat bekerja di konsulat Jepang. Dia bercerita mengenai pekerjaannya saat itu. Dia diminta untuk berkeliling pasar-pasar di Jawa untuk membeli buku-buku non stream yang dijual di pasar. Buku-buku murah meriah dari yang berharga Rp500,- sampai Rp.5000,-. Buku-buku ini diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan tidak dijual di toko-toko buku pada umumnya. Membelinya memang harus ke pasar.
Pekerjaannya adalah naik turun dari bus, keluar masuk pasar, mendatangi pasar loak dan pasar malam dan memborong semua buku-buku ini. Setelah itu, ia akan mendatangi penulis buku (dan penerbit buku) dan mewawancara mereka satu-satu (semacam penelitian).
Menurutnya, ternyata di pasar, yang dijual bukan hanya barang tetapi juga pengetahuan. Ada berbagai jenis buku, mulai dari buku-buku mengenai agama, buku-buku humor, dan beberapa buku lainnya. Beberapa buku malah cukup berat sebenarnya. Ia menemukan karya-karya sastra Rusia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia ataupun karya-karya Al Ghazali lengkap. Perbedaannya adalah bahwa karya-karya ini dipecah menjadi buku-buku yang tipis (dijual per bagian). Mungkin tujuannya adalah untuk menghemat biaya produksi dan menarik minat pembeli.
Menurut orang tersebut, ia belajar bahwa penerbit-penerbit non-mainstream ini punya peran yang cukup besar dalam mencerdaskan masyarakat.
Untuk apakah konsulat Jepang membiayai prorgram memborong buku non-mainstream ini? Ternyata ada satu seksi di sebuah perpustakaan di sebuah kota di Jepang yang dibuat khusus untuk buku-buku non-mainstream di Indonesia. Konsulat Jepang tersebut percaya bahwa mendokumentasikan buku-buku non-mainstream tersebut pasti ada manfaatnya. Suatu saat nanti, pasti ada yang membutuhkan.
Pekerjaannya adalah naik turun dari bus, keluar masuk pasar, mendatangi pasar loak dan pasar malam dan memborong semua buku-buku ini. Setelah itu, ia akan mendatangi penulis buku (dan penerbit buku) dan mewawancara mereka satu-satu (semacam penelitian).
Menurutnya, ternyata di pasar, yang dijual bukan hanya barang tetapi juga pengetahuan. Ada berbagai jenis buku, mulai dari buku-buku mengenai agama, buku-buku humor, dan beberapa buku lainnya. Beberapa buku malah cukup berat sebenarnya. Ia menemukan karya-karya sastra Rusia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia ataupun karya-karya Al Ghazali lengkap. Perbedaannya adalah bahwa karya-karya ini dipecah menjadi buku-buku yang tipis (dijual per bagian). Mungkin tujuannya adalah untuk menghemat biaya produksi dan menarik minat pembeli.
Menurut orang tersebut, ia belajar bahwa penerbit-penerbit non-mainstream ini punya peran yang cukup besar dalam mencerdaskan masyarakat.
Untuk apakah konsulat Jepang membiayai prorgram memborong buku non-mainstream ini? Ternyata ada satu seksi di sebuah perpustakaan di sebuah kota di Jepang yang dibuat khusus untuk buku-buku non-mainstream di Indonesia. Konsulat Jepang tersebut percaya bahwa mendokumentasikan buku-buku non-mainstream tersebut pasti ada manfaatnya. Suatu saat nanti, pasti ada yang membutuhkan.
Comments