Cerita Diwawancara Siswa kelas 5 SD tentang Isu Pendidikan
Sumber: http://transom.org/2013/katie-davis-kids-guide-recording/ |
Sekali lagi saya dapat kesempatan mengunjungi Bandung
International School (BIS). Cerita tentang kunjungan sebelumnya bisa di baca disini. Kali ini saya diwawancarai oleh dua orang siswa kelas 5 mengenai isu-isu
pendidikan. Ceritanya, siswa-siswa kelas 5 diminta untuk membuat artikel
terkait isu-isu tertentu. Siswa dibagi ke beberapa kelompok, lalu mereka
diminta membuat sebuah artikel. Ada yang membuat artikel terkait isu ekonomi,
isu lingkungan, isu pendidikan dan lain-lain.
Untuk membuat sebuah artikel, tentu saja para siswa perlu
mencari tahu mengenai isu yang ditulisnya. Selain melalui bacaan, mereka juga
diminta untuk mewawancarai orang yang dianggap paham mengenai isu itu. Karena
saya dianggap banyak bergerak di bidang pendidikan, maka saya diundang untuk
diwawancarai terkait isu pendidikan.
Saya tiba di BIS, lalu Mbak Any, pustakawan dan sekaligus
pengajar information literacy di BIS,
memperkenalkan saya kepada dua orang siswa yang mau mewawancarai saya. Saat itu
15 menit menjelang makan siang. Setelah
izin dengan guru kelas, kami keluar kelas.
“Bagaimana kalau kita ke kantin dulu,” kata Mbak Any, “Sekalian pesan makanan, kita
bisa melakukan proses wawancara.
Mbak Any, kedua siswa, dan saya berjalan menuju kantin. Di
perjalanan, kami sempat mengobrol, “Waktu itu kita coba menelepon Dinas
Pendidikan Kota Bandung untuk melakukan wawancara tapi gak diangkat-angkat, ”
“Karena gak diangkat-angkat, kita bahkan mencoba menelepon
Dinas Pendidika Kota Medan. Itu juga tidak diangkat lama sekali,” kata siswa
yang lain.
Tampaknya mereka mau mencoba mewawancarai beberapa orang di
Dinas Pendidikan, yang mereka tahu nomor telepon dinas pendidikan kota Bandung
dan Medan. Mereka menelepon ke sana. Mereka juga menanyakan saya apakah saya
kenal orang yang bekerja dengan Dinas Pendidikan (atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ) yang
bisa diwawancara. Saya katakana bahwa saya kenal beberapa orang tapi tidak tahu
apakah saya bisa memberikan nomor telepon mereka. Tentu harus saya tanyakan
dulu.
Di kantin kami duduk di sebuah meja. Mbak Any di sebelah
saya, dan di seberang ada kedua orang siswa. Mereka lalu membuka buku catatan
mereka. Ternyata mereka telah merancang beberapa pertanyaan. Secara bergantian
keduanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepada saya. Mereka merekamnya dengan
perekam suara. Mungkin mereka sudah belajar mengenai etika melakukan wawancara,
dengan sopan salah satu diantara mereka bertanya, “Apakah kami boleh merekam
hasil wawancara ini?”
“Selain wawancara mengenai pendidikan, kami juga akan menanyakan biodata kak Puti. Apa boleh? Kami tidak akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terlalu personal,” tambahnya.
“Selain wawancara mengenai pendidikan, kami juga akan menanyakan biodata kak Puti. Apa boleh? Kami tidak akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terlalu personal,” tambahnya.
Kami pun memulai wawancara.
Seorang siswa memulai pertanyaannya, “Apakah kak Puti tahu
program-program pemerintah yang bertujuan untuk menolong siswa-siswa yang
kekurangan secara ekonomi agar bisa memperoleh pendidikan?”
Saya katakan ada beberapa program diantaranya dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), program beasiswa untuk siswa yang memerlukan, dan
juga ada program menggratiskan biaya pendidikan di sekolah negeri. Dulu pernah
ada program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), di mana seseorang diajak
oleh pemerinta untuk membantu pendidikan siswa yang membutuhkan, setidaknya
secara finansial. Saya katakana bahwa saya tidak tahu apakah program GNOTA
masih berjalan atau tidak.
Meskipun begitu, pada faktanya masih ada siswa yang tidak
memperoleh pendidikan. Misalnya masih banyak siswa yang membutuhkan beasiswa
tapi tidak memperolehnya dan masih ada juga siswa yang tidak memperoleh pendidikan.
“Kenapa masih tidak semua anak yang membutuhkan memang
mendapatkan beasiswa?” tanya seorang siswa.
Pertanyaan tersebut bagi saya sulit dijawab. Kata saya, “Bisa jadi jumlah beasiswanya terbatas.
Sehingga hanya anak-anak tertentu saja yang memperolehnya.”
“Memangnya bagaimana caranya siswa dipilih untuk memperoleh
beasiswa?” tanya siswa yang lain.
“Bervariasi, ada yang berdasarkan prestasi, ada yang
diberikan kepada siswa yang memang ekonominya lemah, meskipun prestasinya
biasa-biasa saja,” jawab saya. Menurut saya beasiswa tidak sepenuhnya
menyelesaikan masalah pendidikan untuk siswa yang berasal dari ekonomi lemah
dan hanya membantu sebagian siswa saja. Namun tidak sempat saya jelaskan.
Mereka juga mulai beralih ke pertanyaan berikutnya.
“Katanya pendidikan di sekolah negeri (seperti di SD) sudah
gratis, tapi masih ada siswa yang tidak bisa bersekolah. Kenapa itu terjadi?”
tanya salah satu siswa.
“Alasannya bervariasi. Meskipun biaya sekolah gratis, masih
ada biaya-biaya lainnya, misalnya seragam, buku, dan juga biaya transportasi.
Untuk banyak keluarga di Indonesia, biaya-biaya ini cukup memberatkan. Kadang,
masalahnya juga bukan sekadar masalah finansial. Misalnya di daerah tertentu di
Indonesia ada tempat di mana jarak ke sekolah sangat jauh, misalnya butuh 5 jam
atau bahkan 8 jam untuk sampai ke sekolah, misalnya dengan berjalan kaki.
Artinya kalau siswa berangkat pagi, misalnya jam 5, dia akan tetap terlambat
sampai di sekolah,” jawab saya.
Sebenarnya ada alasan-alasan lain misalnya jam
sekolah bertabrakan dengan waktu anak membantu orang tua bekerja, misalnya.
Tapi hanya jawaban itu yang saya berikan.
Ada pertanyaan yang cukup kritis yang diaujukan para siswa,
“Pemerintah mengatakan bahwa mereka sudah memberikan cukup uang pada sekolah,
tapi kadang sekolah mengatakan belum memperoleh cukup uang dari pemerintah
untuk memberikan pendidikan? Yang mana yang benar? Siapa yang sesungguhnya
berbohong?”
Nahlo! Apa jawabnya? Siapa yang sedang berbohong yah? Saya
katakana bahwa saya tidak tahu. Dalam beberapa situasi ada oknum-oknum pemerintah
yang mengkorupsi dana pendidikan, tapi di sisi lain kadang ada juga
sekolah-sekolah ‘nakal’ yang menggunakan dana dengan tidak semestinya. Kondisi
sesunggunya memang cukup kompleks.
“Kira-kira kalau pemerintah membuat peraturan agar dana
tidak digunakan untuk sewenang-wenang apakah itu akan membantu? Apakah itu akan
membantu agar dana pendidikan digunakan sebagaimana mestinya?” tanya siswa.
“Bisa iya, bisa tidak. Kalau peraturannya tepat mungkin bisa
membantu kalau pemerintahnya juga menjalankan peraturan itu dengan
sebaik-baiknya. Kalau mereka sendiri melanggar, tidak akan terlalu membantu,”
jawab saya.
“Berapa sih, dana yang dihabiskan oleh pemerintah untuk
pendidikan?”tanya seorang siswa.
Saya tidak ingat angkanya, maka saya katakana, “Saya tidak
tahu angkanya. Tapi seharusnya dana yang dialokasikan adalah 20% dari APBN.
Jadi, 20 % dari seluruh dana pemerintah
yang digunakan untuk kepentingan negara,” jawab saya.
“Berapa nilai APBN-nya?” tanya siswa.
“Saya lupa angkanya,” jawab saya.
Setelahnya, mereka menanyakan beberapa data saya, seperti
nama, tanggal lahir, jumlah adik atau kakak, tempat tinggal, pekerjaan, latar
belakang pendidikan. Selain menulis artikel mengenai pendidikan, mereka juga
harus menuliskan detil mengenai orang yang diwawancaranya.
Setelah wawancara, saya meminta izin para siswa untuk
melihat catatan mereka, terutama pertanyaan-pertanyaan yang telah mereka
siapkan. Tadinya ingin saya potret, tapi
karena baterei telepon genggam mati, saya tidak bisa memotretnya, jadi saya
memilih untuk mencatat ulang pertanyaan mereka.
Namanya juga masih belajar, ada
juga beberapa kesalahan dalam catatn mereka, misalnya kalimat yang tidak
lengkap, ataupun urutan pertanyaan yang sedikit acak. Saat melakukan wawancara
pun tidak semua pertanyaan yang direncanakan ditayakan. Ada juga improvisasi
yang dilakukan. Mungkin bisa dikatakan bahwa model wawancara yang mereka
lakukan adalah semi-structured interview. Ketika melakukan wawancara pun kadang pertanyaan diajukan dengan terburu-buru, saya belum selesai menjawab sebuah pertanyaan, eh sudah ada pertanyaan berikutnya. Meskipun begitu saya maklum. Siswa-siswa ini masih dalam proses belajar. Kesalahan-kesalahan kecil seperti itu tidak terlalu berarti dan seiiring dengan waktu, pasti akan mereka perbaiki.
Untuk siswa kelas 5 SD, beberapa pertanyaan mereka sudah cukup kompleks. Untuk menjawab beberapa pertanyaan butuh pemikiran yang cukup mendalam. Saya juga menghargai usaha yang mereka lakukan untuk membuat artikel sebaik mungkin, yang mereka bisa. Mereka membaca
informasi-informasi terkait dengan isu yang ingin didalami, mencari informan yang bisa diwawancarai agar bisa memberikan data mengenai artikel, merancang pertanyaan, melakukan wawancara, lalu menuliskan kembali
data-data yang diperoleh dalam bentuk artikel. Mereka
belajar mewawancara dengan sopan, termasuk meminta izin untuk merekam hasil
wawancara. Melalui proses diwawancarai oleh anak-anak ini saya pun belajar, bahwa dasar-dasar riset seperti mencari informasi dan mengumpulkan data melalui bacaan, wawncara, dan sebagainya, melakukan wawancara, mendokumentasikan data, menuliskan hasil temuan, bahkan etika riset bisa diajarkan sejak usia belia. Tentu tidak seribet orang yang membuat skripsi, disertasi, ataupun tesis.
Saya sempat ngobrol-ngrobrol dengan Mbak Any mengenai bagaimana dia mengajarkan siswanya melakukan riset. Menurut Mbak Any, riset tidak selalu harus dalam bentuk masalah, observasi, hipotesa, eksperimen, dan kesimpulan seperti yang dilakukan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Saya jadi ingat seseorang yang berkata bahwa riset berasal dari kata re- dan search yang artinya kembali mencari. Hasil dari sebuah riset tidak selalu harus berupa makalah bisa juga dalam bentuk yang lainnya. Untuk anak-anak, hasil riset bisa dituliskan dalam bentuk artikel, dibuat menjadi poster, dan sebagainya. Yang penting secara esensial anak-anak belajar untuk terus mencari data, melihat lebih dalam, dan mempertanyakan kembali apa-apa yang sudah diketahuinya sehingga akhirnya membentuk suatu pemahaman baru.
Comments