Membahas Kode Etik Guru dengan Pak Doni Koesoema


Sumber: http://www.ei-ie.org/en/news/news_details/2076

Belum lama ini saya bertemu dengan seorang pendidik sekaligus pemerhati pendidikan yang rajin menulis di Kompas bernama Pak Doni Koesoema.  Kami mengobrolkan banyak hal, salah satunya adalah mengenai bimbingan tes (atau yang biasa dikenal dengan bimbingan belajar). Saya ceritakan bahwa banyak sekolah berlabel 'unggulan' di Jakarta yang bekerja sama dengan bimbingan test sejak dulu.

 Di SMA tempat saya sekolah dulu, misalnya, sebuah bimbingan test beroperasi di sekolah sekitar dua kali seminggu di sore hari. Itu tambahan selain materi pengayaan yang resmi diadakan sekolah. Sekolah secara resmi selesai pukul 12.30, tapi siswa wajib mengikuti pengayaan (tambahan pelajaran) yang diselenggarakan oleh guru setiap hari dari jam 13.00 sampai jam 15.30. Lalu, dua kali seminggu sebagian besar siswa ikut lagi program bimbingan tes. Diadakannya di sekolah. Biasanya dari jam 16.00 sampai jam 17.30.

Di kegiatan bimbingan tes tersebut ada dua jam pelajaran per hari.Di sana, siswa-siswa kelas 3 SMA (kelas XII)  pada dasarnya mengulang materi-materi kelas 1, 2, dan 3 dalam setahun.Yang dipelajari adalah pelajaran-pelajaran yang akan diujiankan, khususnya dalam SPMB. Tentu saja bimbingan test ini berbayar. Ada juga sih siswa yang memilih tidak ikut tapi lebih banyak yang memilih ikut. Sekolah ikut mempromosikan bimbingan tes ini. Praktek ini terjadi ketika saya masih sekolah, artinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.

Sekitar setahun lalu, seorang siswa SMA negeri bercerita pada saya bahwa ada himbauan bahwa bimbingan test tidak boleh lagi beroperasi di sekolah. Namun, bukan berarti sekolah tidak bekerja sama dengan bimbingan test lagi. Bimbingan tes tidak lagi berpraktek di sekolah melainkan di luar sekolah. Sekolah tetap mempromosikan bimbingan tes ini. Banyak siswa yang ikut. Bahkan, saat pelajaran di sekolah  berlangsung, siswa secara bergantian dipersilakan untuk keluar kelas untuk mengikuti bimbingan tes. Jadi, bimbingan test-nya berlangsung saat jam pelajaran resmi di sekolah berlangsung. Sulit bagi saya untuk mempercayai ada praktek begitu! Benarkah?

Pak Doni pun berkomentar mengenai bimbingan tes masuk sekolah. Menurutnya, boleh-boleh saja sekolah mengadakan jam belajar tambahan seperti yang dilakukan oleh bimbingan tes, misalnya sebagai bagian dari program sekolah. Namun, kalau siswa dimintai bayaran tambahan untuk mengikutinya, itu tidak etis.

"Kok tidak etis? Sekalipun secara sukarela (maksudnya siswa boleh memilih ikut ataupun tidak)?"

"Tidak etis dong, karena nanti artinya ada konflik kepentingan (antara sekolah, siswa, dan bimbingan tes)," kata Pak Doni. Menurutnya secara etika, praktek-praktek yang menimbulkan konflik kepentingan antara sekolah, siswa, apalagi dengan pihak lain harus dihindari.

Akhirnya kami mulai membahas mengenai kode etik guru, "Seharusnya hal-hal seperti itu dibuat kode etiknya. Organisasi-organisasi guru, termasuk Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan lain-lain, harus mulai membuat kode etik semacam itu," katanya.

Saya katakan, bahwa dulu beberapa teman-teman IGI memang sudah membahas ingin membuat kode etik semacam itu tapi belum terealisasikan. Inginnya bisa serapi apa yang dilakukan oleh dokter, jurnalis, ataupun profesi-profesi lainnya.

"Jadi, guru punya pedoman apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Apa yang etis dan apa yang tidak," kata Pak Doni.

"Benar juga," kata saya menanggapi, "Kadang ada juga guru yang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, bukan karena berniat buruk, tapi karena tidak tahu. Kode etik bisa membantu guru untuk tahu batas-batasnya. Saya jadi ingat perdebatan di facebook group IGI tentang guru yang memotong rambut siswanya yang kepanjangan. Kebetulan, ayah dari siswa adalah preman, yang malah balik ke sekolah memotong rambut gurunya. Apa yang dilakukan sang ayah tentu tidak sepenuhnya benar, tapi gurunya sebenarnya juga salah. Tidak seharusnya dia memotong rambut siswanya. Guru tidak punya hak memotong rambut siswa.  Walaupun thread diskusinya sampai ratusan,  panjang sekali,  kebanyakan guru tidak paham kenapa memotong rambut siswa tidak etis. Kebanyakan guru membela guru yang dipotong rambutnya. Banyak yang tidak paham kenapa sebenarnya guru tersebut juga bersalah dan apa yang dilakukan orang tua siswa adalah efek terhadap apa yang diperbuatnya."

Saya jadi ingat, di Inggris masalah menyentuh anak sangat ketat. Guru tidak boleh menyentuh tubuh siswa bagian manapun, termasuk rambut. Bila ada orang tua yang melapor, guru bisa dipecat. Belakangan di BBC ada berita tentang guru di Inggris yang memplester mulut siswa karena mereka berisik. Guru tersebut akhirnya diberhenti tugaskan. Di salah satu sekolah di Medan, ada guru yang membalsem mata siswanya karena menyangka siswanya mencontek. Saya tidak tahu apakah akhirnya diberhentikan atau sekadar ditegur.

Karena Pak Doni pernah jadi wartawan, saya tanyakan pengalamannya, "Kalau di dunia jurnalis, misalnya bagaimana kode etika tersebut?"


Pak Doni pun mengatakan, "Kalau di bidang jurnalistik, misalnya seorang jurnalis yang menulis di bagian bisnis, tidak boleh punya saham di bisnis yang diliputnya. Nanti kan ada konflik kepentingan," Pak Doni mencontohkan, " Nah, untuk guru, juga perlu seperti itu. Jadi ada buletin rutin untuk membahas kasus-kasus terkait kode etik."

Lalu, Pak Doni menambahkan, "Juga perlu komite kode etik. Jadi, ada sangsi bagi yang melanggar. Kalaupun ada organisasi guru yang mau membuat kode etik, misalnya PGRI, atau IGI, harus melibatkan organisasi-organisasi guru lain  agar kode etik tersebut berlaku untuk semua guru dan bukan hanya anggota organisasi itu saja."

Tampaknya, memang masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Membuat kode etik guru, komite kode etik guru, dan juga membuat tulisan rutin tentang kasus-kasus terkait kode etik guru adalah salah satunya. Setidaknya guru jadi punya pedoman tertulis tentang apa dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Keterangan: Saya menuliskan ini berdasarkan memori. Dialog dengan Pak Doni tidak sama persis kata-katanya, tapi esensinya sama.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)