Cuplikan dari “The Happy Child: Changing the Heart of Education” karya Steven Harrison (2002) dari Bab “Testing… Testing…” halaman 37 – 38
*Diterjemahkan oleh: Dhitta Puti Sarasvati
Ketika saya sedang menulis buku ini (The Happy Child: Changing The Heart of Education), saya diundang untuk menjadi dosen tamu untuk memberikan kuliah mengenai Teori Pendidkan kepada sejumlah mahasiswa S1 di sebuah Universitas Midwestern. Topiknya adalah learner-directed education (pendidikan yang diarahkan oleh siswa sendiri). Mahasiswa-mahasiswa berasal dari jurusan pendidikan, tanpa diragukan saya rasa mereka pasti akan tertarik pada kuliah saya. Saya pun tidak sabar untuk mengetahui pandangan para pendidik muda mengenai kuliah yang saya sampaikan. Tepat sebelum kelas dimulai, saya belajar bahwa kebanyakan siswa mengambil mata kuliah ini sekadar sebagai syarat agar bisa memenuhi jumlah sks wajib yang diperlukan di bidang humanities. Kebanyakan tidak punya minat terhadap mata kuliah ini, tapi mengambil mata kuliah ini karena menganggap bisa lulus dengan mudah.
Saya merasa bahwa situasi ini sangat mencengangkan. Saya punya kewajiban untuk menghabiskan beberapa jam untuk berbicara pada siswa yang tidak punya ketertarikan terhadap apa yang ingin saya sampaikan mengenai interest-based learning (pembelajaran yang berbasis minat). Saya pun ragu, apakah saya memang ingin menyampaikan sesuatu pada orang-orang yang sebenarnya tidak peduli terhadap apa yang ingin saya sampaikan. Apakah saya harus menarik perhatian dengan bersikap menghibur (lucu)? Saya berada di sebuah aula universitas di mana mahasiswanya tidak pernah ditanyakan apa minatnya maka apakah saya cukup sekadar mengajar dan menyampaikan materi saja? Apakah saya harus menghadapi situasi ini dengan memilih walk out (keluar kelas)? Atau saya harus menuntut mahasiswa untuk berpartisipasi?
Seperti situasi-situasi lainnya, kuliah kali ini merupakan situasi yang kaya yang punya konten pembelajarannya sendiri serta bisa menimbulkan rasa ingin tahu. Kelas ini sendiri, dengan dinamikanya yang kompleks, dengan struktur-strukturnya yang hirarkis, dengan adanya ketidaktertarikan pada belajar, dan adanya rasa ingin tahu yang palsu, penuh dengan siswa-siswa yang merupakan produk dari pengkondisian bertahun-tahun yang mengkondisikan meraka agar bisa sekadar lolos dari proses persekolahan. Justru mereka, para mahasiswa ini yang menjadi bidang ketertarikan saya.
Terlepas dari peran yang kami mainkan, saya, selaku pemegang otoritas, dan para mahasiswa, dengan karakter yang mereka miliki – yang humoris, yang ambisius mengejar prestasi, pemarah yang malas berpartisipasi , para pemimpi - bersama mulai memahami the nature of learning (bagaimana proses belajar terjadi secara alami).
Beginilah cara saya memulai hari tersebut: “Kelas ini akan menjadi kelas yang tidak biasa, caranya begini: ujian akan saya berikan di awal. Sekarang, cobalah lihat ke dalam dirimu sendiri, pada saat ini? Apa yang memotivasimu? Apa yang kamu takutkan? Apakah kamu melihat sesuatu yang menarik bagimu? Apakah kamu bisa melihat apa passion-mu? Ujian ini adalah: Siapakah kamu? Itu akhir dari ujian ini. Kamu tidak perlu mencatat; tidak akan ada ujian lagi. Apakah ini membuatmu tertarik?
Kebanyakan mahasiswa menemukan bahwa mereka, akhirnya mulai tertarik terhadap diskusi. Pertanyaan-pertanyaan saya mulai menjadi pertanyaan mereka. Kami lalu mulai mengeksplorasi dilemma-dilema yang kita temui pada hari itu: bagaimana minat secara alami mempengaruhi belajar, betapa tidak efektifnya memaksakan orang lain untuk menjadi tertarik dengan menjadi sok menarik, dilemma dari mengajar orang-orang yang tidak tertarik pada apa yang kita ajarkan, bahwa kenosanan punya nilai lebih karena bisa mendorong kreativitas, dan mengenai anak-anak yang awalnya merupakan manusia yang penuh rasa ingin tahu tapi lalu tumbuh menjadi orang dewasa yang pasif. Bukanlah teori pendidikan yang menjadi ketertarikan para siswa, atau bahkan bukan teori apapun juga. Sama seperti siapapun juga, mereka tertarik pada apa yang sedang berlangsung dalam hidup mereka, termasuk apa yang sedang berlangsung di aula kuliah tersebut. Adanya kontak, hubungan yang terbuka dan apa adanya, inquiry (proses terus mencari tahu), dan terbangunnya relasi antar manusialah yang memungkinkan kami ‘menemukan’ satu sama lain, menyentuh hati satu sama lain (meskipun hanya sesaat), dan menemukan kembali apa yang penting, jantung (esensi) dari belajar.
Comments