(Alm) Ali Sadikin dan Pendidikan di DKI Jakarta






Meskipun kini saya tinggal di Jakarta, saya tidak sempat merasakan kepemimpinan (alm) Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI. Pak Ali Sadikin memang menjadi gubernur Jakarta pada tahun 1966 - 1977 dan saat itu saya belum lahir. Saya lebih banyak mendengar cerita tentang Pak Ali Sadikin dari keluarga yang memang sudah hidup pada zaman itu. Konon, katanya Pak Ali Sadikin galaknya ampun-ampun. Pak Ahok, wagub DKI yang terkenal tegas dan ceplas-ceplos, dan kadang dicap galak, masih  kalah galak.

"Ali Sadikin itu dulu bekas tentara. Kalau dia di lagi mobil dan, di depan dia lihat ada  mobil yang melanggar lalu lintas, dia akan turun, menegur, bahkan bisa menendang orang yang melanggar lalu lintas," cerita seseorang kepada saya tentang Ali Sadikin.

Meskipun sangat galak, saya dengar Pak Ali Sadikin sangat visioner, termasuk di bidang pendidikan. Dia mendirikan begitu banyak sekolah negeri di Jakarta, diantaranya SMAN 70 di Bulungan, tempat saya bersekolah dulu.

"Kalau gak ada Ali Sadikin, gak ada itu sekolah-sekolah negeri di Jakarta. Orang-orang yang suka judi, dikumpulkan oleh Ali Sadikin di suatu tempat, lalu hasilnya digunakan untuk bikin berbagai fasilitas pendidikan di Jakarta," begitu cerita seorang anggota keluarga saya.

 Memang, Pak Ali Sadikin punya sisi yang kontroversial. Salah sumber dana yang digunakan untuk membangun Jakarta adalah melalui Nasional Lotrei dan Kasino. Sebagian orang menentang hal ini karena dianggap sebagai bentuk judi. Saya tidak dalam posisi mau menilai apakah 'sumber dana' seperti ini tepat atau tidak. Proyek-proyek yang berlangsung di Indonesia sekarang sumber dananya juga tidak selalu sepenuhnya bersih atau juga berdasarkan pinjaman luar negeri, yang dalam jangka panjang juga bisa menyengsarakan rakyat Indonesia. Yang pasti, oleh Pak Ali Sadikin dana ini digunakan untuk membangun banyak hal-hal bermanfaat di Indonesia, termasuk di bidang pendidikan.

Ali Sadikin membuat banyak tuang publik, termasuk Taman Ismail Marzuki (TIM), Kebun Binatang Ragunan, Gelanggang Olahraga (GOR), dan sebagainya. Ruang publik sangat penting sebaga sarana tempat masyarakat bisa berkegiatan dan belajar.




Misalnya, dibuatnya GOR. Menurut saya itu sangat visioner. Konsep GOR mirip seperti youth center di mana itu merupakan tempat berkumpulnya anak muda untuk berkegiatan baik olahraga maupun berkesenian. Di Singapura, youth centre  dibuat di hampir semua rumah susun. Di sana para remaja bisa mengisi waktu dengan kegiatan positif sekaligus dibimbing oleh pendidik-pendidik yang ada di masyarakat (pelatih olahraga, dll). Saya sendiri pernah bekerja di youth centre  di Inggris. Di sana saya mengajar anak-anak dan remaja membuat berbagai keterampilan sederhana, menari, memasak makanan sehat, dan sebagainya. Konsep GOR mirip seperti itu. Meskipun namanya gelanggang olahraga, sebenarnya kegiatannya bisa lebih dari sekadar olahraga. Di GOR biasanya ada kegiatan belajar olah raga, bela diri, musik, bahasa Inggris, berlatih menjadi penyiar radio, teater, menari, dan sebagainya.  Anak muda memang perlu menyalurkan energinya di berbagai kegiatan yang positif.


Ide cemerlang Ali Sadikin yang lain adalah membuat Taman Ismail Marzuki (TIM). Di sanalah para seniman berkumpul dan akhirnya belajar bersama, dan juga menghasilkan karya yang bisa ditonton oleh masyarakat. Menurut saya, ide seperti TIM sangat visioner. Proses pendidikan selain lewat sekolah juga perlu terjadi di masyarakat. Dengan menyediakan ruang publik tempat masyarakat bisa berkegiatan seperti TIM, maka lama kelamaan akan ada  proses pendidikan bisa terjadi.

Kisah Pak Ali Sadikin di atas saya dapatkan dari mulut ke mulut, khususnya cerita orang-orang yang hidup di era 70-an. Namun, saya baru saja membaca sebuah peninggalan tertulis dari Ali Sadikin.

Belakangan, saya menemukan buku GITA JAYA: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966 - 1977. Buku terbutan tahun 1977 tersebut merupakan catatannya selama menjadi gubernur DKI. Salah satu bab di dalam buku tersebut berjudul "Pelayanan Masyarakat". Di dalamnya, ada satu sub-bab khusus tentang pendidikan. Saya mulai membukanya. Dari situ saya membaca bagaimana jumlah SD, SLP (SMP), dan SLA (SMA)  di zaman itu sangat minim dan banyak siswa usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah.

Karena daya tampung sekolah yang terbatas, Pak Ali Sadikin membatasi usia masuk SD adalah 7 tahun. Dia juga mengusulkan pendayagunaan sekolah untuk sekolah pagi dan sore. Pihak swasta juga dilibatkan untuk membantu berdirinya sekolah-sekolah baru. Dalam catatannya dia berkata :

"... kepada pihak swasta dan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan yang sanggup menyediakan gedung sekolah seluas minimal 2.000 meter persegi diberikan bantuanan bangunan gedung sekolah."
Pada tahun 1967 - 1969, Pak Ali Sadikin pun membangun banyak 124 SD Negeri baru, 13 Sekolah Lanjutan baru. Tahun 1969 - 1974 dia membangun 230 SD baru dan 95 Sekolah Lanjutan baru. Pada tahun 1974 - 1976, dia membangun 52 SD baru dan 180 sekolah lanjutan baru.

Yang menarik, ternyata Pak Ali Sadikin mengerti bahwa sekolah-sekolah favorit bisa menimbulkan kesenjangan pendidikan. Untuk itu dia mencetuskan sistem rayonisasi. Idenya, siswa sebaiknya bersekolah di lingkungan yang dekat dengan rumahnya. Katanya:

"Timbulnya sekolah-sekolah pilihan (favorit), dan tidak meratanya penyebaran murid antar sekolah-sekolah di pusat kota dengan sekolah-sekolah di pinggiran, dapat mempertajam perbedaan sosial di kalangan anak didik. Hal ini dapat menganggu usaha-usaha pelayanan di bidang pendidikan."

Selain sekolah, Pak Ali Sadikin juga paham pentingnya perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan keliling. Selama kepemimpinannya diselenggarakan 935 perpustakaan menetap dan 5 buah perpustakaan keliling.

Dalam catatannya Pak Ali Sadikin tidak melulu bicara angka. Dia juga menceritakan tentang pentingnya usaha peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru misalnya dengan mengadakan berbagai lokakarya.

Anak-anak yang putus sekolah pun dipikirkannya. Dia membangun berbagai Panti Latihan Karya (PLK) untuk menampung masyarakat putus sekolah dan menganggur. Di sana, mereka belajar beberapa keterampilan praktis.

Melalui catatan-catatan Pak Ali Sadikin, saya jadi punya bayangan tentang kondisi pendidikan di Jakarta sebelum tahun 60-an. Mungkin lulusan setingkat SMP ataupun SMA saja tidak banyak. Kalau ada yang bisa melanjutkan sampai kuliah pun, artinya mereka termasuk orang-orang yang sangat beruntung. Di Jakarta, sekarang sekolah bertebaran di mana-mana. Kalau dulu, boro-boro bicara kualitas, kuantitas saja tidak ada. Kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pendidikan di Jakarta di zaman sekarang tentunya banyak dipengaruhi oleh peran Pak Ali Sadikin. Tentu masih banyak hal lain yang perlu dilakukan agar pendidikan di Jakarta bisa lebih baik bukan hanya jumlah lembaga pendidikannya, tapi juga kualitasnya, baik melalui pendidikan formal seperti sekolah, pendidikan di masyarakat, pendidikan di keluarga, juga pendidikan melalui berbagai media.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)