Label 'Sekolah Inklusi'

An ‘inclusive’ education system can only be created if ordinary schools become more inclusive – in other words, if they become better at educating all children in their communities.

Sebuah sistem pendidikan yang ‘inklusif’ hanya bisa diciptakan apabila sekolah-sekolah umum menjadi lebih inklusif - dengan kaya lain, mereka menjadi lebih baik dalam mendidik semua anak di dalam komunitas mereka.

(UNESCO di dalam Policy Guidelines on Inclusion in Education, 2009)

Saya bukan ahli dalam bidang pendidikan luar biasa, bukan juga dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dan saya tidak memiliki kualifikasi apapun di bidang pendidikan inkulusi. Tetapi saya tahu bahwa pendidikan inklusi bukan sekadar menerima siswa yang berkebutuhan khusus seperti anak yang mengalami down syndrome, autis, tuna netra, tuna grahita, dan sebagainya ke dalam sekolah umum. Apalagi tanpa persiapan khusus.

Bukan hanya sekali, saya mendengar mengenai sekolah-sekolah negeri yang berlabel ’sekolah inklusi’ tetapi hanya sekadar menerima siswa yang berkebutuhan khusus, tanpa persiapan. Seperti cerita seorang guru pada saya hari ini. Dia mengajar di sebuah SD Negeri di Jakarta Selatan. Sekolahnya berlabel sekolah inklusi. Artinya, mereka harus menerima siswa-siswi yang memiliki kebutuhan khusus. Sayangnya, di sekolah tersebut tidak ada guru yang bertugas khusus untuk menangani siswa-siswi yang berkebutuhan khusus. Tidak ada psikolog yang berpartner dengan sekolah, sehingga guru-guru bisa berkonsultasi. Satu guru harus memegang 40 siswa sekaligus, termasuk siswa-siswa berkebutuhan khusus. Dan, kebijakan sekolah pun tidak ramah terhadap siswa-siswi yang berkebutuhan khusus. Misalnya seorang siswa yang mengalami kesulitan belajar karena IQ-nya 60 tetap diwajibkan untuk mengikuti ujian nasional!

*
Seorang teman saya yang berkebangsaan Thailand, pernah bersekolah di sebuah sekolah inklusi. Dia pernah bercerita pada saya, bahwa sekolah-sekolah inklusi di Thailand memang menerima siswa-siswa yang berkebutuhan khusus untuk sekolah di sana. Tetapi, bedanya dengan sekolah di atas adalah bahwa sekolahnya benar-benar dipersiapkan untuk menerima siswa yang berkebutuhan khusus. Masing-masing siswa dibuatkan yang disebut Individual Educational Plan (IEP). Yang berarti kebutuhan siswa dianalisa sedetail mungkin, dan program pembelajarannya pun dedesain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Di dalam IEP diatur, misalnya, si A akan belajar bersama kalau pelajaran X di kelas ini, tetapi untuk mata pelajaran yang berbeda dia akan memiliki guru khusus. IEP bagi satu anak bisa berbeda dengan anak yang lainnya. Ketika merancang IEP pun banyak pihak yang dilibatkan, dan proses ini dipersiapkan dengan sangat matang, seperti yang bisa dilihat di http://www.rism.ac.th/ris/inner342.php?p=342 . Orang-orang yang terlibat diantaranya siswa, orang tua, guru kelas/wali kelas, kepala sekolah, guru BK, dan psikolog.

“Seorang teman sekelas saya yang berkebutuhan khusus, sampai sekarang masih menjadi semacam asisten untuk membantu siswa-siswa lain yang berkebutuhan khusus yang lebih muda,” ceritanya pada saya.

**

Bagi saya, sekolah inklusi hanyalah salah satu pendidikan dari berbagai bentuk pendidikan yang ada di Indonesia. Seorang yang berkebutuhan khusus tetap berhak mendapatkan pendidikan, dan mungkin sekolah inklusi bisa menjadi pilihan. Yang menjadi kegelisahan saya adalah ketika sekolah-sekolah inklusi ini hanya label.

Seorang murid (privat) saya pernah bercerita bahwa sekolahnya, yan terdapat di daerah Jakarta Timur, adalah sebuah SMUN yang berlabel inklusi. Teman sekelasnya ada yang menderita Autis. Siswa ini dibully oleh teman-temannya. Bukan secara fisik, memang tetapi secara verbal, diejek, ditepuk-tepuki, diteriaki. Anehnya, gurunya juga bertepuk tangan ketika siswa ini sedang di-bully.

Di Bandung pun, seorang teman saya yang tuna netra bersekolah di sebuah sekolah negeri inklusi. Tetapi bagi teman-teman tuna netra, tidak ada peraga khusus. Kalau gurunya menerangkan mengenai grafik x-y misalnya, dia akan menerangkannya seakan-akan semua anak bisa melihat.

Saat hal-hal ini terjadi, sebaiknya kita kembali bertanya, apa tujuan dari sebuah sekolah inklusi? Apakah hanya memasukkan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas normal? Ataukah ada tujuan yang lebih mulia dari itu? Bukankah tujuan sekolah inklusi adalah membantu agar semua anak bisa berkembang potensinya? Tentunya untuk mencapai ini perlu ada kesiapan dari setiap elemen yang ada di sekolah, baik siswa yang lain, guru, maupun kepala sekolah.

Saya setuju bahwa setiap anak di Indonesia, termasuk siswa-siswa yang berkebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak lain, tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa kebutuhan mereka, boleh diabaikan. Kalau memang mau mendirikan sekolah inklusi, sebaiknya sekolah tersebut dirancang dengan sebaik-baiknya. Apabila memang ingin mendirikan sekolah yang bertujuan menampung anak berkebutuhan khusus, pertama, sekolah harus paham kebutuhan siswa tersebut apa. Kedua, sekolah tersebut harus siap, baik secara untuk memenuhi kebutuhan siswa tersebut. Tentunya, seperti yang disampaiakan oleh UNESCO, sekolah tersebut harus menjadi lebih baik dalam mendidik semua anak di dalam komunitas mereka.

Comments

Lensky! said…
benar sekali Put, sedih rasanya saat melihat langsung sekolah2 yang ber'label' inklusi tapi sebenarnya kurang (jika tidak sama sekali) memiliki kapasitas untuk kesana... terus, sekolah mana itu yang gurunya ikut bertepuk tangan ketika siswa autism sedang di-bully? ihhhh ga habis pikir deh T_____T

-lenny-

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)