Ada kesedihan saat saya mendengar kabar duka dari Ibu Pangesti Wiedarti, dosen UNY. Suaminya, Dr. Marjono. Padahal, saya belum pernah bertatap muka dengan keduanya. Saya mengenal Ibu Pangesti mengenai dunia maya. Dari tulisan-tulisannya saya tahu dia adalah orang yang sangat haus dan mencintai ilmu pengetahuan. Setiap kali berkesempatan ke luar negeri misalnya untuk konferensi atau belajar atau apapun, dia akan menyempatkan diri mengambil brosur-brosur dan membawanya pulang untuk dipelajari mahasiswanya. Brosur-brosur itu murah meriah tetapi bisa digunakan untuk pembelajaran bahasa.

Dia juga memberikan tips bagaimana menggunakan peralatan elektronik seperti BB untuk belajar (bukan hanya untuk chatting dan facebookan), misalnya dengan memasukkan jurnal-jurnal ilmiah PDF ke dalamnya sehingga bisa dibaca saat di jalan.

Suatu hari ntah kenapa, saya pernah berbincang-bincang mengenai kesehatan kepada Ibu Pangesti. Ternyata Ibu Pangesti pernah terkena kanker, penyakit yang juga sempat menimpa almarhum ibu dan nenek saya. Dia mengirimkan tulisannya yang pernah dimuat di majalah Cosmopolitan kepada saya yang berisi ceritanya mengenai penyakitnya. Baginya berbagi pengetahuan adalah kewajiban, termasuk melalui media populer semacam Kosmopolitan sekalipun. Ia mengalami kanker saat sedang menyelesaikan thesis (kalau tidak salah S3) di Sidney. Pasti sulit sekali menulis thesis sembari harus terus bolak-balik ke rumah sakit untuk kemoterapi.

Bidang yang diambil Bu Pangesti adalah linguistik. Baginya, penyakitnya adalah berkah. Dia akhirnya menjadi spesialis linguistik dalam bidang kesehatan, khususnya kanker. Ia pun sering memberikan ceramah mengenai penyakit kanker di berbagai tempat di Indonesia.

Saya sama sekali belum pernah mengenal suami dari Ibu Pangesti, hanya mendengar ceritanya sekilas. Tetapi kemarin, ketika saya mendengar kabar dukanya, ada perasaan sedih yang hinggap di dada saya. Bagaimana mungkin saya merasakan kesedihan ditinggal orang yang tidak pernah saya kenal?

Yang jelas, kepergian Dr. Marjono menyentuh hati saya, salah satunya adalah karena dia menyumbangkan jasadnya ke fakultas kedokteran UGM untuk dijadikan sumber pembelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran di Indonesia. Beritanya bisa dilihat di sini :

Di negara seperti Indonesia, isu-isu seperti ini bisa menjadi kontroversi (tidak memakamkan mayat). Tentu melakukan hal seperti ini memerlukan keberanian dan mungkin itu yang membuat hati saya tersentuh oleh seorang yang bahkan tidak pernah saya kenal secara langsung, Dr. Marjono.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)