Tentang Membacakan Cerita di Rumah Mentari
Saya biasanya jarang datang ke Rumah Mentari di hari Minggu pagi. Biasanya saya datang, di hari Sabtu, itu pun dua minggu sekali. Di hari Sabtu, ada kelas bahasa Inggris untuk siswa SMP dan SMA. Saya biasanya suka menyempatkan mengajar di kelas tersebut. Kak Arfah, Kak Anug, ataupun Kak Angga juga kadang mengajar di kelas tersebut.
Pada hari Minggu kebanyakan anak yang datang ke Rumah Mentari adalah siswa SD, ada juga yang TK. Yang datang biasanya 20 anak, tapi kadang bahkan bisa lebih dari 50. Kini, kakak-kakak yang bertanggung jawab mengatur kegiatan di hari Minggu adalah Kak Hipna dan Kak Santi.
Kak Hipna adalah siswa Rumah Mentari yang kini telah menjadi pengjar di Rumah Mentari. Hipna telah bergabung di Rumah Mentari sejak awal Rumah Mentari didirikan, tahun 2007. Waktu itu usia Hipna sekitar 15 tahun.Bersama dengan Sri Mulyani, Sri Astuti, Dendi, dan Siti, Hipna belajar di Mentari untuk mempersiapkan diri mengikuti Ujian Kejar Paket B dan belajar hal-hal lain seperti sastra bersama Pak Gamesh.
Setamat dari program kejar paket B, Hipna melanjutkan sekolah SMK jurusan Tata Boga dan kini menjadi chef di Wisma Joglo, Bandung. Sambil menjadi chef, kini Hipna senantiasa menyempatkan diri untuk kembali ke Rumah Mentari, setiap hari Minggu, untuk mengajar.
Kak Santi, yang menemani Hipna mengajar di hari Minggu adalah lulusan SMK Farmasi yang kini bekerja di sebuah Apotek di Dipati Ukur dan kini sedang menyiapkan diri untuk bisa melanjutkan kuliah S1 di bidang Farmasi (mohon doanya agar tahun depan santi diterima di universitas yah!).
Kegiatan hari Minggu biasanya dimulai pukul8 pagi. Baik Hipna maupun Santi nyaris tidak pernah absen untuk datang mengajar. Anak-anak diajak belajar berbagai hal, kadang matematika, bahasa Inggris, menggambar, mengarang, dan juga memasak. Anak-anak pernah diajak oleh Kak Hipna belajar membuat pecel dan donat. Karena keterbatasan alat untuk memasak, biasanya kegiatan memasak diusahakan tanpa menggunakan api. Sesekali Kak Hipna dan Kak Santi, bekerja sama dengan kakak-kakak yang lain mengajak anak jalan-jalan. Anak-anak pernah diajak ke Museum Geologi, Kebun Binatang, dan yang terakhir berenang di Sabuga. Agar bisa berenang di Sabuga, anak-anak diminta menabung sehingga bisa membeli tiket masuk kolam.
Beberapa minggu yang lalu, pada suatu Minggu pagi, saya mampir ke kegiatan Rumah Mentari. Kebetulan sehari sebelumnya saya menemukan sebuah potongan cerita anak dari Koran Kompas, judulnya, "Rambas Tidak Sedih Lagi" karya Iwok Abqory. Cerita tersebut sebenarnya juga bisa didapatkan online melalui website Nusantara Bertutur di http://nusantara-bertutur.org/#dongeng
Ketika saya membaca cerita tersebut saya pikir, "Asyik nih kalau dibacakan ke anak-anak Rumah Mentari."
Saya tak punya niat khusus selain berbagi keasyikan membaca cerita.
Minggu pagi tersebut, saya izin pada Kak Hipna dan Kak Santi, "Bolehkah saya membacakan cerita ini untuk anak-anak?"
Mereka membolehkan. Saya ambil sebuah kursi dan duduk dan mulai membacakan cerita tersebut. ada dua puluhan anak duduk mendengarkan. Semua serius. Sesekali saya mengajukan pertanyaan terkait cerita, "Siapa tokoh utamanya?", "Apa yang terjadi pada Burung Kasuarinya?", "Kalian pernah tidak merasa minder, seperti burung Kasuari?".
Cerita tersebut adalah cerita tentang burung Kasuari yang minder karena dia tidak secantik Burung Cendrawasih, tak setampan Kakak Tua Raja, dan suaranya sama sekali tidak merdu seperti burung-burung lainnya. Namun ternyata kakinya burung kasuari kuat dan larinya kencang. Kelebihannya ini yang membuatnya mampu menyelamatkan seorang anak Kangguru yang tersangkut semak-semak.
Sambil membaca cerita, kadang saya mengajak anak-anak ngobrol misalnya tentang Indonesia. Apakah mereka tahu Papua ada di mana? Sayangnya waktu itu saya tidak membawa peta tapi saya katakan bahwa Papua ada di Timur Indonesia. Saya juga menerangkan apa yang dimaksud dengan Taman Nasional, yakni semacam hutan yang dilindungi.
Cerita "Rambas Tak Sedih Lagi" sebenarnya cerita yang sederhana, tapi banyak hal baru yang bisa dipelajari dari cerita tersebut. Hal menarik yang sempat diobrolkan adalah mengenai kangguru. Saya tanyakan, "Tahu tidak kangguru seperti apa?"
Ada anak-anak yang bisa menjawab, bahwa kangguru adalah binatang yang suka melompoat-lompat dan punya kantung. Ibu kangguru punya kantong yang membawa anak-anaknya.
Saya sempat bertanya, "Di Indonesia ada kanguru tidak?"
Terdengar teriakan dari anak-anak, "Tidaaak!"
Ada satu anak yang menjawab, "Adanya di Australia.
Saya ceritakan bahwa di Indonesia juga ada kanguru, salah satunya di Papua (lihat : https://www.youtube.com/watch?v=tmXDG-eCbUY). Beberapa daerah di Indonesia, khususnya di daerah Indonesia Timur punya binatang-binatang yang mirip dengan di Australia.
Niat saya membacakan cerita sebenarnya tak muluk. Hanya berbagi kesenangan terhadap cerita. Waktu yang saya perlukan untuk kegiatan tersebut juga tidak banyak, sekitar 15 menit. Namun kegiatan sederhana tersebut, bisa membuat anak belajar beberapa fakta baru, mendiskusikan perasaan, dan juga menarik minat mereka terhadap bacaan.
Kemarin, Minggu 11 Januari 2015, pk 12.30, saya datang ke Rumah Mentari untuk suatu keperluan. Anak-anak TK dan SD kebanyakan sudah pulang tapi ada Dela. Dela merupakan siswa kelas satu SD. Selain Dela, ada juga Salwa dan Salma. Salwa dan Salma adalah anak dari Bu Dewi dan Pak Lala, yang memiliki rumah yang menjadi basis kegiatan Rumah Mentari. Baik Dela, Salma, dan Salwa sedang mengelilingi sebuah buku, judulnya "Rahasia Putri yang Suka Kentut" karya Kee Sun Jang, terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Sambil membuka-buka buku mereka tertawa-tawa sendiri. Dela berkata, "Ini buku tentang putri yang suka kentut. Wah banyak sekali kentutnya!"
Salma menambahkan, "Kalau dia makan telur, kentutnya suka bau telur."
Kenapa buku itu yang dibuka? Ternyata paginya, Kak Hipna membacakan buku tersebut untuk anak-anak. Kata Kak Hipna, "Sekarang anak-anak ketagihan, setiap kita datang, mereka minta dibacakan cerita. Tadi pagi, itu cerita yang dibacakan"
Buku "Rahasia Putri yang Suka Kentut" sebenarnya cerita tentang pengaruh makanan terhadap pencernaan. Makanan-makanan tertentu meningkatkan kadar gas di dalam perut. Secara tidak langsung buku tersebut mengajarkan anak-anak untuk aware terhadap apa yang dimakannya.
Tentu kalau membacakan cerita bagi anak, kita tidak bisa mengharapkan mereka langsung memahami semua yang ada dalam cerita. Salma misalnya selalu mengingat bahwa telur membuat kentut putri berbau seperti telur, Dela menginga bahwa putrinya suka kentut. Cerita boleh sama, tapi apa yang berkesan bagi masing-masing anak belum tentu sama. Tentu, mengajak anak membahas cerita, misalnya dengan tanya-jawab, bisa membantu anak untuk lebih memahami isi cerita. Namun, untuk langkah awal, rasanya kita sebagai orang dewasa tidak perlu terlalu ambisius bahwa anak harus paham semua bagian dalam cerita. Mengajak mereka menikmati cerita saja dulu pun tidak apa-apa!
Anak-anak di Rumah Mentari Sumber gambar : Larasati Putri Purwono |
Pada hari Minggu kebanyakan anak yang datang ke Rumah Mentari adalah siswa SD, ada juga yang TK. Yang datang biasanya 20 anak, tapi kadang bahkan bisa lebih dari 50. Kini, kakak-kakak yang bertanggung jawab mengatur kegiatan di hari Minggu adalah Kak Hipna dan Kak Santi.
Kak Hipna adalah siswa Rumah Mentari yang kini telah menjadi pengjar di Rumah Mentari. Hipna telah bergabung di Rumah Mentari sejak awal Rumah Mentari didirikan, tahun 2007. Waktu itu usia Hipna sekitar 15 tahun.Bersama dengan Sri Mulyani, Sri Astuti, Dendi, dan Siti, Hipna belajar di Mentari untuk mempersiapkan diri mengikuti Ujian Kejar Paket B dan belajar hal-hal lain seperti sastra bersama Pak Gamesh.
Setamat dari program kejar paket B, Hipna melanjutkan sekolah SMK jurusan Tata Boga dan kini menjadi chef di Wisma Joglo, Bandung. Sambil menjadi chef, kini Hipna senantiasa menyempatkan diri untuk kembali ke Rumah Mentari, setiap hari Minggu, untuk mengajar.
Kak Santi, yang menemani Hipna mengajar di hari Minggu adalah lulusan SMK Farmasi yang kini bekerja di sebuah Apotek di Dipati Ukur dan kini sedang menyiapkan diri untuk bisa melanjutkan kuliah S1 di bidang Farmasi (mohon doanya agar tahun depan santi diterima di universitas yah!).
Kegiatan hari Minggu biasanya dimulai pukul8 pagi. Baik Hipna maupun Santi nyaris tidak pernah absen untuk datang mengajar. Anak-anak diajak belajar berbagai hal, kadang matematika, bahasa Inggris, menggambar, mengarang, dan juga memasak. Anak-anak pernah diajak oleh Kak Hipna belajar membuat pecel dan donat. Karena keterbatasan alat untuk memasak, biasanya kegiatan memasak diusahakan tanpa menggunakan api. Sesekali Kak Hipna dan Kak Santi, bekerja sama dengan kakak-kakak yang lain mengajak anak jalan-jalan. Anak-anak pernah diajak ke Museum Geologi, Kebun Binatang, dan yang terakhir berenang di Sabuga. Agar bisa berenang di Sabuga, anak-anak diminta menabung sehingga bisa membeli tiket masuk kolam.
Beberapa minggu yang lalu, pada suatu Minggu pagi, saya mampir ke kegiatan Rumah Mentari. Kebetulan sehari sebelumnya saya menemukan sebuah potongan cerita anak dari Koran Kompas, judulnya, "Rambas Tidak Sedih Lagi" karya Iwok Abqory. Cerita tersebut sebenarnya juga bisa didapatkan online melalui website Nusantara Bertutur di http://nusantara-bertutur.org/#dongeng
Ketika saya membaca cerita tersebut saya pikir, "Asyik nih kalau dibacakan ke anak-anak Rumah Mentari."
Saya tak punya niat khusus selain berbagi keasyikan membaca cerita.
Minggu pagi tersebut, saya izin pada Kak Hipna dan Kak Santi, "Bolehkah saya membacakan cerita ini untuk anak-anak?"
Mereka membolehkan. Saya ambil sebuah kursi dan duduk dan mulai membacakan cerita tersebut. ada dua puluhan anak duduk mendengarkan. Semua serius. Sesekali saya mengajukan pertanyaan terkait cerita, "Siapa tokoh utamanya?", "Apa yang terjadi pada Burung Kasuarinya?", "Kalian pernah tidak merasa minder, seperti burung Kasuari?".
Cerita tersebut adalah cerita tentang burung Kasuari yang minder karena dia tidak secantik Burung Cendrawasih, tak setampan Kakak Tua Raja, dan suaranya sama sekali tidak merdu seperti burung-burung lainnya. Namun ternyata kakinya burung kasuari kuat dan larinya kencang. Kelebihannya ini yang membuatnya mampu menyelamatkan seorang anak Kangguru yang tersangkut semak-semak.
Sambil membaca cerita, kadang saya mengajak anak-anak ngobrol misalnya tentang Indonesia. Apakah mereka tahu Papua ada di mana? Sayangnya waktu itu saya tidak membawa peta tapi saya katakan bahwa Papua ada di Timur Indonesia. Saya juga menerangkan apa yang dimaksud dengan Taman Nasional, yakni semacam hutan yang dilindungi.
Cerita "Rambas Tak Sedih Lagi" sebenarnya cerita yang sederhana, tapi banyak hal baru yang bisa dipelajari dari cerita tersebut. Hal menarik yang sempat diobrolkan adalah mengenai kangguru. Saya tanyakan, "Tahu tidak kangguru seperti apa?"
Ada anak-anak yang bisa menjawab, bahwa kangguru adalah binatang yang suka melompoat-lompat dan punya kantung. Ibu kangguru punya kantong yang membawa anak-anaknya.
Saya sempat bertanya, "Di Indonesia ada kanguru tidak?"
Terdengar teriakan dari anak-anak, "Tidaaak!"
Ada satu anak yang menjawab, "Adanya di Australia.
Saya ceritakan bahwa di Indonesia juga ada kanguru, salah satunya di Papua (lihat : https://www.youtube.com/watch?v=tmXDG-eCbUY). Beberapa daerah di Indonesia, khususnya di daerah Indonesia Timur punya binatang-binatang yang mirip dengan di Australia.
Niat saya membacakan cerita sebenarnya tak muluk. Hanya berbagi kesenangan terhadap cerita. Waktu yang saya perlukan untuk kegiatan tersebut juga tidak banyak, sekitar 15 menit. Namun kegiatan sederhana tersebut, bisa membuat anak belajar beberapa fakta baru, mendiskusikan perasaan, dan juga menarik minat mereka terhadap bacaan.
Kemarin, Minggu 11 Januari 2015, pk 12.30, saya datang ke Rumah Mentari untuk suatu keperluan. Anak-anak TK dan SD kebanyakan sudah pulang tapi ada Dela. Dela merupakan siswa kelas satu SD. Selain Dela, ada juga Salwa dan Salma. Salwa dan Salma adalah anak dari Bu Dewi dan Pak Lala, yang memiliki rumah yang menjadi basis kegiatan Rumah Mentari. Baik Dela, Salma, dan Salwa sedang mengelilingi sebuah buku, judulnya "Rahasia Putri yang Suka Kentut" karya Kee Sun Jang, terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Sumber gambar : http://old.bukabuku.com/browse/bookdetail/71466/seri-ilmuwan-cilik-pencernaan-rahasia-putri-yang-suka-kentut.html |
Sambil membuka-buka buku mereka tertawa-tawa sendiri. Dela berkata, "Ini buku tentang putri yang suka kentut. Wah banyak sekali kentutnya!"
Salma menambahkan, "Kalau dia makan telur, kentutnya suka bau telur."
Kenapa buku itu yang dibuka? Ternyata paginya, Kak Hipna membacakan buku tersebut untuk anak-anak. Kata Kak Hipna, "Sekarang anak-anak ketagihan, setiap kita datang, mereka minta dibacakan cerita. Tadi pagi, itu cerita yang dibacakan"
Buku "Rahasia Putri yang Suka Kentut" sebenarnya cerita tentang pengaruh makanan terhadap pencernaan. Makanan-makanan tertentu meningkatkan kadar gas di dalam perut. Secara tidak langsung buku tersebut mengajarkan anak-anak untuk aware terhadap apa yang dimakannya.
Tentu kalau membacakan cerita bagi anak, kita tidak bisa mengharapkan mereka langsung memahami semua yang ada dalam cerita. Salma misalnya selalu mengingat bahwa telur membuat kentut putri berbau seperti telur, Dela menginga bahwa putrinya suka kentut. Cerita boleh sama, tapi apa yang berkesan bagi masing-masing anak belum tentu sama. Tentu, mengajak anak membahas cerita, misalnya dengan tanya-jawab, bisa membantu anak untuk lebih memahami isi cerita. Namun, untuk langkah awal, rasanya kita sebagai orang dewasa tidak perlu terlalu ambisius bahwa anak harus paham semua bagian dalam cerita. Mengajak mereka menikmati cerita saja dulu pun tidak apa-apa!
Comments