Bertemu Icha di Selasar Sunaryo

Sabtu, 17 Januari 2015 beberapa keluarga saya berkumpul di Bandung karena sepupu saya akan melamar seorang perempuan Bandung keesokan harinya. Kami ke Bandung dalam rangka menghadiri upacara lamaran tersebut.

Sabtu sore, kami tak begitu banyak kerjaan. Sepupu saya Hanny dan ibunya, Bule Dian ingin jalan-jalan ke museum. Karena kami menginap di sekitar Dago atas, jadi salah satu museum terdekat yakni Selasar Sunaryo (lihat: http://www.selasarsunaryo.com/ ). Kami pun pergi ke sana.

Saat masuk ke Selasar Sunaryo,  saya bercerita pada Hanny, "Saat krisis moneter tahun 1998, sebagai ekspresi kritik Sunaryo terhadap kondisi Indonesia di masa tersebut, semua karya-karya Sunaryo dibungkus dengan kain hitam. Semacam ekspresi duka terhadap kondisi Indonesia saat itu. Sekarang sudah ada beberapa karya yang tidak dibungkus dengan kain hitam."

Tak lama kemudian saya mendengar seseorang memanggilku, "Kakak! Apa kabar?"

Ternyata yang memanggilku adalah Icha.  Icha dulu suka ikut kelas bahasa Inggris di Rumah Mentari tapi sekarang sudah jarang karena sibuk bekerja.

"Sekarang di sini?" tanya saya.

"Iya, sekarang saya di sini, ngurusin administrasinya begitu. Kalau mau, tanggal 23 Januari 2015 kita ada acara juga. Kalau mau, bisa ajak anak-anak Rumah Mentari."

Icha pun menemani kami  beberapa karya di Selasar Sunaryo.

"Ini pohon beton, "kata Icha menunjuk sebuah karya yang bagian akar dan batangnya terlihat seperti pohon tapi bagian atasnya bukan daun melainkan semacam tiang-tiang beton. Mungkin karya itu merupakan kritik Sunaryo terhadap pembangunan yang terus-menerus tanpa mempertimbangkan faktor keberlanjutan alam.


Lalu Icha mengajak kami mengintip suatu ruangan. RDinding dan langit-langit ruangan tersebut didominasi warna hitam. Lalu terlihat banyak instalasi yang bentuknya seperti pohon yang baru ditebang.

“Ini namanya ruang ‘Titik Bumi. Itu pakai kaca (cermin) untuk memberikan efek pohonnya banyak,” kata Icha. Untuk tahu lebih lanjutr tentang instalasi Titik bumi, bisa lihat di http://properti.kompas.com/read/2010/11/21/13074834/Mendengar.Suara.Alam.yang.Sakit 

Kami lalu mengintip ruangan di sebelahnya. Lantainya seperti retak-retak, "Ini apa ceritanya?"

"Itu menggambarkan lumpur Lapindo," Icha menjelaskan.
Setelah melihat instalasi-instalasi seni, kami menuju teras.
"Kerja di sini, pasti banyak belajar hal baru yah?" tanya saya.
"Iya, senang kalau di sini rasanya belajar terus," jawab Icha. Lalu dia menambahkan,"Kapan-kapan mau belajar bahasa Inggris lagi di Rumah Mentari. Tapi jadwal belajarnya belum pas karena saya biasanya pulang kerja jam 5. Yang datang ke sini seringkali orang-orang dari berbagai negara. Kadang butuh bahasa Inggris untuk komunikasi dengan mereka."

Sebelum pulang, saya ajak Icha berfoto. Buat kenang-kenangan. :)


Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)