Membaca Steve Jobs (Bagian 2)


Membaca "Steve Jobs" (Bagian 2)
Oleh Dhitta Puti Sarasvati

Di bulan Januari, setahun yang lalu, saya beruntung bisa belajar banyak tentang menulis dari seorang sastrawan, Pak Yudhistira Massardi. Pak Yudhistira menjadi fasilitator dalam sebuah kegiatan IGI yakni seminar dan rangkaian workshop “Membangun Kemampuan Menulis Guru.”

Ada hal menarik yang saya dapatkan darinya. Dalam salah satu workshop beliau pernah mengatakan  bahwa sebuah cerita menjadi menarik ketika tokohnya mengalami perubahan karakter. Misalnya, yang tadinya sifatnya pemarah, lalu ada kejadian-kejadian yang membuatnya tidak pemarah lagi. Atau, Yang tadinya baik, ternyata bisa berubah sifatnya karena kondisi-kondisi tertentu. Seringkali dalam sinetron-sinetron, di Indonesia, satu orang tokohnya jahat melulu, atau baik melulu. Cerita seperti ini cenderung membosankan.

Saya setuju. Menurut saya, cerita yang tokohnya selalu baik terus atau jahat terus adalah cerita yang membosankan. Apalagi kalau cerita tersebut berkisah tentang manusia. Menurut saya, manusia adalah makhluk yang begitu kompleks. Sikap dan prilaku seorang manusia dipengaruhi oleh konteks di mana dia berada misalnya kondisi di sekitarnya, orang-orang yang disekelilingnya, dan banyak lagi. Seorang penulis bernama Gretchen Rubin, dalam bukunya “The Happiness Project” (2009) pernah berkata “People’s lives are far more complicated than they appear from the outside

Cerita tentang manusia menarik justru bukan hanya menggambarkan hal-hal yang secara eksplisit terlihat dari luar melainkan apa yang terjadi di dalam serta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Buku biografi “Steve Jobs” karya Walter Isaacson menarik karena dia tidak hanya menggambarkan kelebihan Steve Jobs melainkan juga kekurangannya. Kesuksesan dan kegagalannya. Rasa percaya dirinya maupun rasa rendah dirinya.  

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman menurut hal ini. Dan begini katanya, “Buku biografi Steve Jobs menarik, justru bukan karena menonjolkan intelektualitas dan kejeniusan Steve Jobs, tetapi karena menggambarkan Steve Jobs sebagai seorang manusia. Itu salah satu kelebihannya.”

Steve memang mengatakan pada Isaac bahwa dia boleh menulis buku biografinya apa adanya.
“I’ve done a lot of things I’m not proud of, such as getting my girlfriend pregnant when I was twenty-three and the way I handled that,” he [Steve] said. “But I don’t have any skeletons in my closet that can’t be allowed out.” He didn’t seek any control over what I wrote, or even read it in advance. (p. xix)

“Saya melakukan banyak hal yang tidak saya banggakan misalnya membuat pacar saya hamil saat saya berusia 23 tahun dan bagaimana saya menanganinya,” katanya [Steve],  “Tapi tidak ada hal yang ingin saya tutupi.” Dia tidak mengontrol apapun yang saya tulis, bahkan tidak membacanya dulu. (h. xix)

Istri Steve malah mendorong Isaac untuk menulis sejujur-jujurnya mengenai Steve baik kesuksesan maupun kegagalannya.
His wife also did not request any restrictios or control, nor did she ask to see in advance what I would publish. In fact she stronglyy encouraged me to be honest about his failings as well as his strength.(p.xx)

Istrinya juga tidak membatasi ataupun mengontrol bagaimana saya menulis, dia juga tidak menanyakan saya untuk memperlihatkan tulisan apa yang akan saya publikasikan. Justru, dia mendorong saya untuk jujur mengenai kegagalan maupun kekuatannya. (h.xx)

Baguslah Steve maupun istrinya bersikap sangat terbuka mengenai apa yang ditulis oleh Isaac. Isaac dengan gamblang menggambarkan perjalanan hidup Steve. Bukan hanya saat Steve merasa jaya tetapi juga kesedihan Steve yang mendalam, misalnya saat dia merasa dikhianati oleh teman-temannya di Apple. Melalui buku karya Walter Isaacson, saya sebagai pembaca bisa lebih berelasi dengan tokoh Steve Jobs. Bukan sekadar beralasi dengan Steve Jobs sebagai pendiri Apple, melainkan dengan Steve Jobs sebagai seorang manusia. 

Comments

Itje Chodidjah said…
I really appreciate people who are willing to write about them without restrictions because readers will learn a lot more and become more realistic about their own life, life which always is about the beauty and beast,the angel and evil. There would not be any grey if there is only black or only white, there should be both. That's life. I will surely follow your reading about him as at the moment time is a bit too limited to have another book myself to read. Thanks Puti

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah