Menyerang Pribadi Saat Berdiskusi
Sore kemarin saya berdiskusi dengan mahasiswa bimbingan saya. Saat berdiskusi mahasiswa saya sempat mengatakan bahwa pendapat saya salah. Dia kemudian menjelaskan alasan mengapa dia menganggap pendapat saya salah. “Maaf yah Bu, bukannya mau melawan,” katanya.Saya malah tertawa. “Loh tidak apa-apa kamu melawan saya. Wong kita sedang berbicara di tataran akademik kok! Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Kalau kamu merasa pendapatmu benar, pertahankan asalkan dijelaskan argumentasinya, ” kata saya.Mahasiswa saya tertawa juga, “Oh malah boleh yah bu?”“Ya bolehlah!” kata saya, “Kenapa tidak?”
Kalau selama ini didengung-dengungkan mengenai pendidikan karakter, menurut saya dengan mendalami suatu bidang, termasuk melalui dunia akademik, sebenarnya ada karakter yang kita pelajari. Misalnya, kita belajar untuk jujur karena harus menguktip dengan benar. Setiap mengutip tulisan dari tempat lain, kita harus mengungkapkan sumbernya. Kita juga harus jujur terhadap diri kita sendiri. Apakah pendapat kita yang sesungguhnya? Apakah kita mengatakan sesuatu karena saat tu kita yakin pendapat itu benar, ataukah kita sekadar mau menyenagkan hati orang lain?
Di dunia akademik, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Sampai saat ini para matematikawan masih saja berdebat, “Apakah matematika adalah seni?”, “Apakah matematika adalah bahasa”, “Apakah matematika itu.”
Seorang mahasiswa saya meneliti mengenai ‘Learning difficulties’ tetapi dia menemukan bahwa masih ada perdebatan apakah sebaiknya menggunakan kata ‘learning difficulties’ atau ‘learning disabilities’. Masing-masing kata tersebut pun masih diperdebatkan definisinya.
Seorang mahasiswa saya meneliti mengenai ‘Learning difficulties’ tetapi dia menemukan bahwa masih ada perdebatan apakah sebaiknya menggunakan kata ‘learning difficulties’ atau ‘learning disabilities’. Masing-masing kata tersebut pun masih diperdebatkan definisinya.
Perdebatan-perdebatan ini adalah hal yang wajar dan sangat kita perlukan untuk mempertajam pikiran. Kita jadi lebih terbiasa menghadapi perbedaan. Kita harus belajar untuk melakukan komunikasi khususnya untuk meyakinkan orang lain mengenai pendapat kita. Masih ada perbedaan pendapat? Baguslah, itu berarti kita punya kesempatan untuk mempelajari kembali pemikiran kita sendiri. Apakah benar? Apakah kita telah menyampaikan pendapat kita dengan jelas? Apa ada sudut pandang lain? Apakah kita mengemukakan data-data yang memadai untuk memperkuat argumentasi kita? Apakah kita berani mengkoreksi pemikiran kita sendiri apabila kita menyadari pemikiran tersebut salah?
Seorang pemikir pendidikan bernama Paolo Friere yang senantiasa berani mengkritisi pemikirannya sendiri. Pendapatnya ketika muda bisa berubah dengan ketika dia mulai lebih tua karena bertambahnya pengalaman dan juga bacaan. “Buku Pedagogy of Hope”, misalnya merupakan kritik Paolo Friere terhadap pemikirannya sendiri di dalam “Pedagogy of The Oppresed”.
Dengan mendalami suatu bidang tertentu kita belajar menjadi lebih terbuka dan bisa menghargai perbedaan. Kita berlatih untuk mengkritik pemikiran, bukan orangnya. Di dalam banyak diskusi yang saya ikuti di mailing-list maupun grup facebook, hal ini seringkali dilupakan (mungkin juga oleh saya sendiri). Saat berdiskusi, dan ada yang berbeda pendapat , kadang kita malah menyerang pribadi seseorang, bukan argumennya. Kemarin, saya mengalami hal ini saat berdiskusi di milis FB IGI mengenai RSBI.
Beginilah komentar yang saya dapatkan ketikan menyatakan ketidak setujuan saya terhadap konsep RSBI :
“saya jadi pengen ketawa ....
saya sedang berdebat dengan guru apa politikus ....
negara kita itu terpuruk pendidikannya ....
negara kita itu terkenal korupnya ....
itu karena produk pendidikan 25 tahun yang lalu ....
coba support saja rencana pemerintah yang sekarang ....
lalu tunggu 25 tahun kedepan ....
baru komentar ....
tidak semudah membalik telapak tangan ....
apakah ini karena anda masih muda ....
apakah karena anda merasa sudah mencapai tingkat doktoral ....
sehingga pemikiran anda saja yang paling BENAR .... “
saya sedang berdebat dengan guru apa politikus ....
negara kita itu terpuruk pendidikannya ....
negara kita itu terkenal korupnya ....
itu karena produk pendidikan 25 tahun yang lalu ....
coba support saja rencana pemerintah yang sekarang ....
lalu tunggu 25 tahun kedepan ....
baru komentar ....
tidak semudah membalik telapak tangan ....
apakah ini karena anda masih muda ....
apakah karena anda merasa sudah mencapai tingkat doktoral ....
sehingga pemikiran anda saja yang paling BENAR .... “
Saya pun menjawab :
Kenapa anda menyerang pribadi bukan argumen saya? Saya bukan politikus dan tidak tertarik menjadi politikus. Saya adalah guru dan saya berdiskusi di sini dengan kapasitas saya menjadi guru. Saya tidak menganggap pemikiran saya yang paling benar tetapi kalaupun pemikiran saya salah, silakan tunjukkan di mana salahnya. Justru saya sangat terbuka. Anda belum menunjukkan kepada saya pendapat mana yang menunjukkan kelebihan RSBI dibandingkan SSN.
Penyerangan-penyerangan terhadap pribadi semacam ini seringkali saya temukan dalam banyak diskusi. Menurut saya, sikap semacam ini tidak bijaksana. Ketika kita tidak sependapat dengan argumen seseorang, sebaiknya kita membalasnya dengan argumen lain, bukan dengan menyerang pribadi. Saya pun harus mengingatkan diri saya untuk senantiasa demikian. Semoga saya bisa. J
Comments
hanya orang yang kehilangan argumentasilah yang akan menyerang lawan diskusinya dengan hal-hal pribadi yang tak berkaitan dengan diskusi.. Ad hominem argumentum.
:)