Renungan Setelah Menatap Langit Lagi
Saya mendapatkan sms dari Pak Wid, salah satu astronom Indonesia yang bekerja di Planetorium Jakarta, bahwa hari itu adalah ulang tahun Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Karenanya, saya diundang ke Planetorium Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk ikut merayakannya. Hari itu saya baru selesai menjadi penyelenggara Kursus Bahasa Inggris untuk guru IGI di SEAMOLEC, Tangerang. Setelahnya rapat lagi dengan Pak Satria dan Pito sampai jam 9 malam. Meskipun sudah malam, saya memilih meluncur saja ke Planetorium. Sudah lama saya tidak ke sana. Pengen juga bisa berjumpa dengan teman-teman lama.
Saya merupakan anggota (non-aktif) di HAAJ semenjak tahun 1998. Ketika saya pertama bergabung, saya masih SMU. Di sana saya kadang mengikuti kuliah umum tentang astronomi yang diselenggarakan dua minggu sekali. Sampai saat ini, kuliah umum tersebut masih berlangsung (Sabtu -- dua minggu sekali).
Setelah kuliah umum, biasanya ada kegiatan peneropongan. Itu kalau langit tidak mendung. Di sana saya belajar banyak sekali, khususnya mengamati langit. Pertama, saya belajar caranya membaca peta bintang lalu membandingkan apa yang tertera di peta bintang dengan di langit. Saya melakukan peneropongan bintang dan belajar bahwa ternyata bintang tetap terlihat lebih kecil di teropong. Waktu itu saya membayangkan bintang akan terlihat sangat besar dan , ternyata saya salah. Saya jadi belajar bahwa masing-masing teleskop memiliki perbesarannya masing-masing. Tidak semua teleskop perbesarannya seperti Teleskop Hubble.
Meskipun ternyata dengan teropong yang ada saya tidak bisa melihat bintang sejelas yang saya kira, saya tidak kecewa. Suatu hari saat ada star party, pesta di mana kita bermalam di bawah langit sambil mengamati bintang, saya berkesempatan melihat cincin Saturnus melalui teleskop. Hari itu saya merasa beruntung sekali. Itu pertama kalinya saya melihat Satrurnus dan cincinnya, bukan sekadar lewat buku pelajaran.
Sejak bergabung di HAAJ, yang pasti, saya belajar mengamati langit, entah dengan mata telanjang, binokuler, ataupun dengan teleskop. Teman-teman di sana seringkali menginformasikan setiap terjadi sebuah fenomena alam baik berupa gerhana, transit planet, meteor shower, dan lain-lain. Beberapa anggota HAAJ yang lebih senior bercerita tentang asyiknya tidur di pinggir pantai, menatap langit saat terjadi meteor shower. Kalau ada meteor shower, semalaman kita bisa melihat begitu banyak "bintang jatuh". Sebenarnya bintang jatuh tersebut adalah meteor yang masuk ke dalam atmosfer bumi dan terbakar.
Saya mulai memperhatikan apa yang selama ini tidak saya perhatikan, langit. Ketika kita memperhatikan sesuatu dengan lebih seksama kita bisa melihat apa yang selama ini tidak pernah kita lihat. Seorang anggota HAAJ pernah mengatakan bila kita menatap langit semalaman (apalagi kalau langit sedang jernih), kita pasti akan melihat setidaknya satu "bintang jatuh". Saya mencobanya dan benar! Dalam satu malam saya melihat lebih dari 10 bintang jatuh.
***
Jadi meskipun sudah lelah, malam itu saya ngotot untuk mampir ke Planetorium. Sesampai di sana, beberapa teman-teman lama sudah pulang tetapi beberapa masih ada. Ada banyak anggota baru, beberapa diantaranya mahasiswa dan siswa SMU. Mereka menginap. Saya pun berkenalan dengan mereka.
"Malam ini ada Leonid Shower," kata seorang teman saya, "Kalau mau bisa ikut menginap melakukan peneropongan."
Keesokannya saya masih ada kegiatan lain, sehingga saya memutuskan untuk tidak menginap tapi saya tetap tinggal di sana sampai lewat tengah malam. Saya berkenalan dengan seorang lulusan Pendidikan Kimia UNJ. Dia kini menjadi guru di sebuah SMK di Jakarta. Saya mengajaknya ke atap planetorium, berbaring menatap langit sambil berbincang-bincang tentang sekolahnya tempat mengajar.
Malam itu sedikit mendung, tetapi saya tetap berbaring menatap malam yang gelap. Setelah beberapa waktu langit menjadi lebih terang tetapi belum banyak bintang yang terlihat. Ah, meskipun di bawah langit Jakarta yang sudah penuh polusi, saya sangat menikmati malam tersebut. Sudah jarang sekali saya berbaring menatap langit seperti itu. Entah berapa lama saya tak melakukan hal seperti itu. Saya tidak ingat kapan saya terakhir duduk diam dan berbaring menatap alam. Nikmat sekali rasanya.
Saya jadi teringat anak-anak sekolah yang berangkat dari pagi, pulang sekolah, kemudian mungkin les lagi sampai malam, lalu pulang dan tidur. Setiap hari melakukan hal yang sama. Kalaupun belajar sains di sekolah, tidak ada waktu untuk melakukan pengamatan terhadap berbagai fenomena alam. Saat gerhana matahari misalnya, siswa masih sibuk belajar di kelas. Waktu saya SMU, saat terjadi gerhana matahari, guru mengizinkan kami keluar untuk melihatnya asalkan tidak melihat dengan mata telanjang. Kami harus melihat langit dengan menggunakan setumpuk roll film gelap untuk mencegah agar mata tidak menjadi buta. Apakah anak sekarang masih mendapatkan kemewahan seperti itu? Di daerah mungkin iya -- anak-anak masih berkesempatan memperhatikan fenomena alam -- tapi di kota besar seperti Jakarta?
***
Comments