Kurikulum Nasional dan Realitas Guru Indonesia: Refleksi dari Lapangan


Sekitar 10 tahun lalu, jauh sebelum adanya kurikulum merdeka, 100 orang guru sedang berkumpul di sebuah seminar. Seorang  pendidik yan menjadi pembicara di acara tersebut bertanya, "Siapa di sini yang pernah membaca dokumen kurikulum (resmi)?"

Tak seorang pun mengangkat tangan. Ternyata hampir semua guru yang hadir di sana memahami kurikulum berdasarkan hasil interpretasi pihak lain, misalnya interpretasi dari penerbit (dalam wujud buku teks), interpretasi dari pemateri saat bimbingan teknis kurikulum atau dari pelatihan guru, dan banyak lagi.

Untuk keperluan administrasi, dari dulu sudah ada oknum-oknum yang menawarkan menjual paket kurikulum ke sekolah-sekolah. Biasanya isinya kumpulan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran RPP), dan sebagainya. Sampai sekarang pun, oknum-oknum semacam itu masih ada. Kita bisa melihat, sampai hari ini pun, di grup-grup guru ada yang menawarkan paket-paket kurikulum merdeka berupa beragam modul ajar bahkan sampai paket video aksi nyata yang bisa diuplod di PMM.

Saya tentu tidak setuju dengan adanya oknum-oknum semacam itu . Namun, saya melihat oknum-oknum tersebut melihat adanya kesempatan di mana tidak semua sekolah maupun guru siap menginterpretasi kurikulum sendiri dan mengembangkan kurikulum versinya sendiri. Itu adalah kondisi nyata yang perlu disadari, bukan diabaikan.

Saya ingat pernah mengobservasi guru SD membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Saat itu guru tersebut akan membuat RPP untuk pembelajaran mengenai  pecahan campuran. Jangankan memikirkan bagian pendahuluan, tengah dan akhir dari pengajaran pecahannya. Guru tersebut hanya menuliskan:
 
"Pecahan campuran contohnya satu setengah (mengunakan simbol matematika). Pecahan biasa contohnya setengah".

Dua kalimat saja! Guru tersebut kebingungan menuliskan apa lagi. Akhirnya saya mengajak guru tersebut bermain-main dengan pita pecahan. Kami membuat representasi pecahan satu setengah dan representasi pecahan tiga per dua. Ternyata tiga per dua bisa direpresentasikan dengan satu setengah. Kami membuat  pecahan biasa. lalu, berdiskusi kapan pecahan nilainya lebih dari satu dan kurang dari satu. Kami lalu membuat gambar yang merepresentasikan campuran, pecahan biasa, dan pecahan tak biasa. 

Setelahnya, saya menemani guru menuliskan rencana pelaksanaan pembelajarannya dengan bahasa yang sederhana. Format RPP tidaklah menjadi penting. Yang penting guru bisa menuliskan (dibantu dengan adanya gambar) apa yang ingin dikerjakannya di dalam kelas. Itupun ditulisnya dengan tangan, bukan dengan mengetiknya menggunakan laptop. Guru tersebut berhasil menuliskan sebuah RPP sederhana. Saya melihat senyum lebar di wajahnya dan matanya yang berbincar-binar. Di satu sisi saya senang, di sisi lain saya lebih tersadar bahwa kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal.

Kondisi guru semacam itu banyak sekali saya temui. Saya menemui banyak guru yang tidak terbiasa membaca dokumen kurikulum resmi sendiri apalagi menginterpretasinya. Saya juga menemukan guru yang punya pemahaman konten yang masih terbatas, sehingga mengalami kesulitan dalam merencanakan pembelajaran, Akhirnya yang bisa dilakukannya hanya mengandalkan buku teks. Perlu saya tekankan bahwa, terlepas dari tidak idealnya kondisi ini, bukan berarti teman-teman guru tidak mau belajar. Pengalaman saya berinteraksi dengan teman-teman guru dari seluruh Indonesia menyadarkan saya bahwa banyak guru yang bersemangat belajar, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Sama seperti halnya siswa, mereka juga menginginkan proses belajar yang bermakna.

Kondisi nyata tersebut perlu kita akui. Dalam kondisi seperti itu, saya yakin yang diperlukan guru bukanlah perubahan kurikulum resmi, tetapi pendidikan guru yang lebih asesibel, terjangkau, dan bermutu.  

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)