Sudah Mengajar Bertahun-tahun Tapi Kembali Belajar (Matematika) dari Dasar? Kenapa Tidak?

Di postingan “Potret Kelas Matematika yang Tidak Ada Matematikanya” saya mengatakan bahwa saya kaget (lebih tepatnya shock) melihat pengajarannya Prilly Latuconsina (lihat: http://mahkotalima.blogspot.com/2021/07/potret-kelas-matematika-yang-tidak-ada.html ).


Perasaan kaget itu merupakan emosi yang timbul dalam diri saya. Namun, setelah saya mulai merasa tenang, saya pikir seharusnya saya tidak kaget. Praktik pengajaran yang dilakukkan oleh Prilly yang mengajarkan rumus cepat sebagai suatu kebenaran yang harus diterima begitu saja meskipun tak tahu asal usulnya bukan hal baru. Itu praktik yang sudah sering saya temui. Beberapa orang tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan  kesalahan fatal di kelas matematika. Mungkin, saya juga pernah begitu. Seakan-akan mengajar matematika padahal tanpa menumbuhkan penalaran. So, logically, I shouldn’t be so shocked.

 

Apa yang dilakukan oleh Prilly, juga pernah dilakukan oleh banyak guru Matematika lainnya termasuk oleh beberapa guru-guru saya terdahulu (yang tetap saya hormati), bahkan mungkin oleh saya sendiri. Jujur, dulu, saya memang pernah berpikir bahwa Matematika memang hanya soal hitung-hitungan mencari jawaban yang benar. Matematika menjadi sekadar alat yang bisa membantu untuk belajar ilmu lain seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). 


Belakangan saya baru ngeh bahwa pemahaman saya tentang Matematika saat itu sangat sempit.  Setelah belajar kembali, barulah saya  ngeh bahwa matematika itu adalah ilmu tentang pola, sangat mengutamakan proses penalaran, dan bukan sekadar alat untuk menyelesaikan perhitungan. 


Selama sekolah ada masanya saya mengerjakan begitu banyak soal-soal matematika, kadang saya memperoleh nilai yang baik (nyaris 100).  Namun, baru kemudian saya sadar bahwa kebisaan menyelesaikan soal-soal tersebut tidak berarti saya memahami konsep-konsepnya. Jujur, pernah ada waktunya saya menggunakan berbagai rumus cepat tanpa tahu asal usulnya.  Kalaupun kita lulus dari sekolah yang "berlabel unggulan", lulus dari bidang yang berhubungan dengan MIPA dengan nilai tinggi, belum tentu kita benar-benar memahami apa yang pernah kita pelajari. Sampai sekarang saya harus mengakui ada banyak konsep-konsep matematika yang belum saya kuasai. Tapi saya tidak malu untuk kembali belajar lagi, bahkan dari dasar.  


Ada beberapa orang yang mengirimkan pesan kepada saya,  menyatakan keprihatinan terhadap rendahnya pemahaman konsep guru-guru yang mengajar Matematika di sekolah (di berbagai tingkat). Bagaimana posisi saya terhadap isu itu? 


Saya sangat mengerti bahwa ada guru yang mengajar matematika tapi belum menguasai konsep-konsep matematika, apalagi cara mengajarnya. Tidak semua guru terakses dengan pendidikan guru yang berkualitas yang menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan matematika maupun kemampuan mengajar matematika mereka. Saya juga mengerti bahwa seorang guru pada dasarnya terus berproses. Melakukan kesalahan merupakan hal yang wajar. Tidak tahu suatu hal juga hal yang wajar. Yang penting ada keinginan dan usaha untuk terus belajar. Tidak perlu takut belajar kembali dari dasar, bahkan hal yang mungkin tampaknya kita kuasai sebelumnya. Belajar selalu bisa memberikan kita sudut pandang baru. 


Ada cerita menarik, sekitar setahun terakhir ini beberapa teman-teman di Gerakan Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) mengulik lagi konsep terkait nilai tempat (place value). Ceritanya kita berniat membuat buku tentang nilai tempat sebagai pegangan bagi teman-teman guru (belum jadi). Nilai tempat adalah topik matematika yang sangat mendasar. Biasanya, mulai dipelajari sejak kelas 1 SD.  


Anggota tim yang mengulik soal nilai tempat berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang memang matematikawan, ada yang guru Matematika (SD, SMP, perguruan tinggi), dan ada mahasiswa pendidikan matematika. Kami semua bersepakat untuk membaca kembali bahan-bahan yang berhubungan dengan nilai tempat dari berbagai jurnal dan buku. Kami juga menonton video tentang nilai tempat yang ada di youtube. Setelahnya kami melakukan presentasi mengenai apa yang kami pelajari. 


Meskipun sudah belajar (atau mengajar matematika) selama bertahun-tahun, pengalaman belajar kembali membuat kami menyadari bahwa masih ada banyak hal terkait nilai tempat yang belum kami ketahui. Nilai tempat bukan hanya soal menyebutkan 234 terdiri dari 2 ratusan, 3 puluhan, dan 4 satuan. Kami belajar bahwa tidak semua sistem bilangan memiliki nilai tempat. Sistem bilangan Hindu-Arab (decimal) yang kita gunakan sekarang menggunakan nilai tempat. Itu salah satu hal yang membuat sistem bilangan ini lebih efisien dibandingkan beberapa sistem bilangan yang lain. Kami belajar betapa hebatnya gagasan tentang pengelompokan dan hubungannya dengan nilai tempat, serta gagasan bahwa sekolompok hal (benda) bisa kita anggap sebagai entitas tunggal. Sungguh tak menyesal mempelajari kembali apa yang tampaknya mudah karena dipelajari di SD. Tetap saja ada banyak gagasan baru, pemahaman kami pun menjadi sedikit lebih mendalam, serta muncul ide-ide baru terkait pengajaran nilai tempat. Tanpa adanya proses belajar kembali tersebut, webminar "Bincang Gernas Tastaka : Nilai Tempat"  pada 5 April 2021 lalu tampaknya tidak mungkin terlaksana (lihat video di bawah). 



asih merasa pengajaran matematika kita hanya fokus pada “rumus-rumus cepat” tanpa menumbuhkan kemampuan bernalar? Tidak apa-apa, asalkan mulai sadar bahwa hal tersebut perlu kita ubah. Masih merasa ada konsep Matematika yang belum kita kuasai? Tidak apa-apa,  masih ada ruang untuk belajar kembali.


Saya sepenuhnya percaya bahwa membuat kesalahan itu bagian yang penting dalam proses belajar, termasuk ketika kita belajar mengajar matematika. Saya juga percaya bahwa tidak apa-apa kalau ada hal-hal yang tidak kita ketahui. Itu manusiawi. Selama ada keinginan untuk terus belajar, itu sudah baik. Mudah-mudahan proses belajar kita  menjadikan kita terus berkembang dan bisa menggapai hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Selamat belajar teman-teman guru! 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)