Perjalanan Ke Surabaya Yang Menakjubkan (Bagian 4) : Sharing tentang Barefoot College

Tulisan ini merupakan lanjutan dari posting "Perjalanan Ke Surabaya Yang Menakjubkan (Bagian 3): Sharing di KNGB tentang Ketika Guru Mengaku Tidak Lebih Tahu".

Di KNGB 2013 saya memutuskan untuk berbagi juga mengenai Barefoot College, sebuah lembaga pendidikan di Rajastan, India. Karena tema yang saya sampaikan adalah mengenai 'Pendidikan Yang Menghargai Semua' maka ada beberapa prinsip dasar yang perlu disadari, diantaranya adalah bahwa guru harus percaya bahwa bila ada kesempatan, siswa bisa belajar apapun bila mereka mau. Selain itu, guru juga perlu percaya bahwa setiap siswa punya potensi, apapun latar belakang mereka. Tampaknya kedua prinsip ini dimiliki oleh orang-orang yang ada di Barefoot College.

Di Barefoot College, para siswa yang awalnya buta huruf diberikan kepercayaan yang besar untuk belajar berbagai hal, termasuk yang selama ini hanya dipelajari oleh kelompok elit (mereka yang belajar di sekolah ataupun perguruan tinggi).

Menurut saya, konsep pendidikan di Barefoot College cukup ekstrim. Di sana, seorang Master atau PhD belum tentu dianggap lebih baik daripada penduduk desa yang buta huruf. Orang-orang yang dianggap penting di Barefoot College adalah orang-orang yang punya keterampilan apapun tapi yang penting bersedia melayani sesama masyarakat. Keterampilan yang dimaksud bukan hanya keterampilan ala kelompok 'sekolahan' saja, tapi juga termasuk keterampilan yang dimiliki oleh para petani, para ibu, para pekerja, dan siapapun yang bekerja dengan tangannya. Prinsipnya, tidak ada gunanya memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tinggi kalau tidak digunakan untuk melayani sesama masyarakat.

Yang mengajar di Barefoot College bukanlah lulusan fakultas keguruan dari universitas melainkan para penganggur yang punya kemampuan dasar dalam baca tulis. Mereka bisa saja merupakan  lulusan SD ataupun orang-orang yang pernah belajar membaca di tempat lain. Yang penting,  mereka memang termotivasi untuk berbagi, apapun pengetahuan dan keterampilan yang sudah mereka punyai. Dengan begitu, mereka bisa mengajari orang lain untuk membaca.

Ada hal yang lebih ekstrem di Barefoot College. Kalau lulusan SD bisa mengajari orang lain membaca, mungkin itu masih bisa dipahami dengan mudah. Yang lebih ajaib lagi, di sana ibu-ibu yang buta huruf diajari untuk menambal gigi. Tentu,  praktek semacam ini pasti akan ditentang oleh para lulusan kedokteran gigi dari Universitas. Selama ini pengetahuan menambal gigi memang hanya dimiliki oleh para dokter gigi. Jarang sekali ada yang menganggap bahwa seseorang yang buta huruf bisa belajar caranya menambal gigi. Tapi bila jumlah tenaga kesehatan di daerah tersebut memang sedikit, mengajari ibu-ibu yang memang mau belajar untu menambal gigi bisa jadi pilihan solusi. Tentu ada pelatihannya. Di Barefoot College, asalkan ada yang mau belajar dan bersedia menggunakan keterampilannya untuk melayani sesama, mereka bisa belajar caranya menambal gigi.

Ibu-ibu yang buta huruf di Barefoot College menambal gigi seseorang
Sumber: http://rippleeffectimages.photoshelter.com/image/I0000TjcUdVwTjyQ


Hadirnya Barefoot College sebenarnya juga bisa dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap sistem persekolahan yang ada. Apakah yang dipelajari di sekolah maupun universitas memang selalu bermanfaat untuk sama? Apakah lulusan sekolah dan universitas memang menggunakan ilmunya untuk membangun kehidupan yang lebih baik? Apakah yang didapat dari sekoalah atau universitas? Apakah ilmu yang bermanfaat serta keingintahuan yang tinggi untuk terus belajar? Atau sekadar kesombongan sebagai 'sekelompok elit' yang merasa lebih baik daripada mereka yang tidak sekolah?

Bunker Roy, pendiri Barefoot College, saat berbicara di TED berkata :
"I went to a very elitist, snobbish, expensive education in India and that almost destroyed me. I  was all set to be a diplomat, doctor, teacher... The whole world was laid out for me. Nothing could get wrong. "

yang artinya :
"Saya berasal dari sebuah lembaga pendidikan di India yang sangat elit, congkak, dan mahal dan itu hampir merusak saya. Saya telah dipersiapkan untuk menjadi diplomat, dokter, guru, semua.... Seluruh dunia terbentang untukku."

Pendidikan yang elitis kadang bisa merusak. Apalagi kalau lulusannya merasa paling hebat dan tidak mau belajar dari orang lain. Termasuk ketika mereka menganggap pendidikan orang lain lebih rendah. Padahal, bisa saja ada banyak hal yang belum mereka pahami. Paling berbahaya adalah ketika mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.

Seorang ahli pertanian lulusan perguruan tinggi tidak selamanya lebih tahu daripada petani. Petani pun mungkin tahu banyak hal yang mungkin belum dituliskan di buku-buku atau belum dijadikan hasil penelitian. Seorang dokter mungkin tahu banyak tentang berbagai teori dan ilmu kesehatan terbaru, tapi seorang dukun anak mungkin juga punya berbagai pengalaman dan pengetahuan khusus tentang caranya membantu melahirkan anak. Kalau diberi kesempatan, dukun beranak mungkin saja bisa belajar dari dokter, misalnya mengenai berbagai ilmu kesehatan yang paling mutakhir. Namun, apakah dokter tidak mungkin belajar dari dukun beranak? Petani bisa saja belajar berbagai hal baru dari ahli pertanian, misalnya mengenai penelitian-penelitian terbaru. Namung, apakah ahli pertanian tidak bisa belajar hak-hal baru dari petani? Bisa saja kan? Asalkan mereka mau belajar mendengarkan orang lain, termasuk dari mereka yang bukan lulusan sekolahan maupun universitas.

Menurut Bunker Roy, penduduk desa termasuk yang buta huruf seringkali  punya beberapa keterampilan dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi. Pada saat Gedung Barefoot College didirikan, Bunker Roy sempat meminta saran kepada seorang ahli kehutanan mengenai apa yang bisa ditanam di sekitar sana. Ahli kehutanan tersebut melihat tanah yang kering dan berkata bahwa tidak ada tanaman yang cocok untuk di sana. Namun ketika dia meminta saran kepada seorang penduduk di sana, penduduk tersebut memberikan berbagai saran tanaman yang mungkin ditanam dan memang berhasil. Yang satu banyak belajar mengenai tanam-tanaman dari berbagai buku, sedangkan yang satu belajar dari pengalaman. Dua-duanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi apakah mereka mau saling belajar?

Tidak selamanya lulusan 'sekolahan' termasuk 'sekolah elit' lebih baik daripada yang tidak. Salah satu pesan Bunker Roy adalah bahwa "Kita harus mendengarkan orang-orang yang memang berada di lapangan."

Yang dimaksud oleh Bunker Roy dengan mereka yang berada di lapangan adalah mereka yang bekerja dengan tangannya. Kalau diberi kesempatan, seringkali mereka punya berbagai solusi untuk berbagai masalah yang ada. Solusi ini mungkin tak sama dengan solusi yang ditawarkan oleh para lulusan universitas. Solusi tersebut bisa tepat, bisa juga tidak. Tapi bukankah solusi para lulusan universitas juga begitu? Bisa tepat bisa tidak. Terkait orang-orang yang tidak 'sekolahan', yang paling penting apakah ada yang (setidaknya) mau mendengarkan mereka?

Oh iya, sebenarnya, di tahun 2012 saya sudah pernah menulis mengenai Barefoot College, silakan dilihat di sini yah -->   Barefoot College : Guru adalah Murid dan Murid adalah Guru

Comments

Yusuf said…
Salam, Ibu Puti
India ternyata jauh lebih progresif ketimbang Indonesia ya. dengar-dengar juga, E-learning di India sudah banyak yang jalan. Wah, menarik sekali baca pengalaman Ibu.

Mampir blog saya juga ya
salam
Kalau India lebih progresif atau tidak, sebenarnya saya kurang tahu. Dalam konteks Barefoot kan sebuah komunitas yah.. Mungkin di Indonesia juga ada komunitas yang seprogresif itu tapi belum dieksplorasi saja mungkin yah.. :)

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)