Barefoot College : Guru Adalah Murid dan Murid Adalah Guru
Barefoot College : Guru Adalah Murid dan Murid Adalah Guru
Beberapa tahun yang lalu saya
melihat sebuah film dokumenter di Eagle
Awards, Metro TV. Film tersebut
menggambarkan mengenai seorang dokter
yang bekerja di daerah pedalaman. Saat itu ada seorang pasien yang harus
diinfus. Namun, ada masalah. Cairan infus yang tersedia sudah kadaluwarsa. Pilihan yang ada hanya dua, antara
menggunakan infus yang sudah kadaluwarsa atau tidak menginfus pasien sama
sekali. Sang dokter akhirnya memilih pilihan yang pertama. Untungnya, sang
pasien sembuh. Hal yang serupa terjadi ketika dia harus mengoperasi seorang
pasien. Dokter tersebut membutuhkan pisau bedah tetapi saat itu tidak ada pisau
bedah yang tersedia. Akhirnya dokter memilih menggunakan alat potong lain untuk
mengoperasi pasien. Saya lupa alat apa yang digunakan, kalau tidak salah dia
menggunakan cutter. Tentunya alat
tersebut perlu disterilisasi terlebih dahulu.
Kalau dokter yang bekerja di
kota-kota besar menerapkan hal seperti itu, apalagi di rumah sakit yang
berbayar, sang dokter pasti akan dituduh melakukan malpraktek. Di daerah-daerah
yang minim fasilitas, meskipun dokter menggunakan cairan infus yang sudah
kadaluarsa atau melakukan operasi dengan cutter,
itu adalah pilihan terbaik yang ada. Lebih baik daripada tidak ada layanan
kesehatan sama sekali.
Di banyak sekali daerah ada kasus
kekurangan tenaga kesehatan. Bukan hanya di bidang kesehatam di bidang
pendidikan juga. Padahal baik akses terhadap kesehatan maupun pendidikan diperlukan
oleh setiap manusia, bukan hanya mereka yang tinggal di kota. Baik tenaga
kesehatan maupun tenaga pendidikan dibutuhkan juga oleh mereka yang hidup di
daerah terpencil.
Ada berbagai solusi yang
ditawarkan untuk menyelesaikan masalah kekurangan akses kesehatan maupun
pendidikan di daerah terpencil. Pertama, adalah menyekolahkan penduduk lokal ke
kota supaya kelak mereka bisa kembali ke daerahnya untuk berbakti kepada
masyarakat baik sebagai tenaga kesehatan maupun tenaga pendidik. Kedua, mendatangkan tenaga kesehatan dan pendidikan
dari kota ke daerah terpencil.
Kedua solusi tersebut memiliki
kendala tersendiri. Menyekolahkan penduduk lokal ke kota tentunya membutuhkan waktu
yang tidak sedikit. Seorang tamat dari
SD sampai kuliah membutuhkan waktu sekitar 10 tahun. Artinya selama 10 tahun
itu, penduduk masih belum bisa terakses dengan kesehatan dan pendidikan.
Kesehatan dan pendidikan untuk ‘hari ini’ tidak terjamin sama sekali. Kenyataannya
tidak semua anak yang disekolahkan ke kota akhirnya mau kembali ke daerahnya.
Bukan hal yang mudah untuk
mendatangkan seorang dari kota untuk mau mengabdi sendirian di daerah terpencil.
Dengan pendapatan yang seadanya, fasilitas listrik yang terbatas, mereka harus melayani seluruh warga desa. Ini
membutuhkan tenaga yang tidak sedikit.
Barefoot College, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada
tahun 1972 di Rajahstan, India punya solusi yang sedikit berbeda. Daripada
menyekolahkan penduduk dari daerah terpencil ke kota, lebih baik mendatangkan lembaga
pendidikan tersebut ke daerah terpencil. Lembaga pendidikan ini bukan lembaga
pendidikan biasa. Tidak ada sertifikat yang diberikan bagi lulusan Barefoot
College. Lulusan tersebut disertifikasi oleh masyarakat sendiri, tergantung
pada apa yang mereka kontribusikan pada masyarakat. Di Barefoot College,
siswanya adalah penduduk lokal, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak yang selama ini
buta huruf. Di sana mereka belajar mengenai apapun yang dibutuhkan oleh desa
mereka. Mereka belajar caranya mengobati orang sakit, caranya mengobati orang
yang giginya berlubang, cara menghasilkan energi untuk desa, dan sebagainya.
Daripada mendatangkan satu orang dari kota ke daerah terpencil untuk bsia
mengatasi semua masalah kesehatan yang ada di daerah tersebut, lebih baik
dokter tersebut membagikan sebagian ilmunya kepada penduduk lokal. Seorang
dokter gigi dari Amerika Latin bernah datang ke Rajastan untuk mengajari
ibu-ibu buta huruf untuk bisa mengebor gigi orang yang berlubang. Melalui Barefoot
College, Ilmu yang selama ini hanya bisa dipelajari oleh golongan elit, di
universitas, juga bisa dipelajari oleh
mereka yang selama ini buta huruf dan menganggur.
Barefoot College juga menyediakan
sebuah sekolah malam untuk anak-anak di desa. Pembelajaran dilakukan di malam
hari karena di pagi sampai sore hari anak-anak sibuk menggembala ternak. Tidak
seperti sekolah pada umumnya, sekolah ini tidak memaksa siswa mengikuti
jadwalnya (misalnya di pagi hari) tetapi justru jadwal sekolah disesuaikan
dengan kebutuhan siswa.
Siapakah yang mengajar di sekolah
malam? Para guru dipilih bersama oleh penduduk melalui semacam musyawarah. Dalam
musyawarah tersebut penduduk berunding untuk menentukan siapa orang yang masih
muda, pengangguran, pernah menyelesaikan sekolah dasar, dan punya motivasi yang
tinggi untuk mendampingi anak-anak. Mereka kemudian dilatih selama 25 hariuntuk
belajar mengenai metode mengajar, psikologi anak, dan masalah sosial-politik
yang ada di desa tersebut. Metode yang digunakan selama pelatihan adalah
diskusi. Dari diskusi yang berlangsung muncul banyak insight baru mengenai
teknik-teknik mengajar yang pas untuk diterapkan di desa tersebut. Sejak 1975
sampai hari ini sudah ada lebih dari 50,000 anak yang tamat belajar di sekolah
malam. Mereka yang sudah bisa membaca
dan menulis bisa menawarkan diri untuk mengajarkan orang lain agar bisa membaca
dan menulis. Sambil mengajar, para guru juga senantiasa belajar. Kata Bunker
Roy, pendiri Barefoot College, [In Barefoot
College] the teacher is the learner and the learner is the teacher yang artinya [Di Barefoot College] guru adalah murid dan murid adalah guru.
Comments