Pernah Memberi Siswa Label Tertentu? Belum Tentu Tepat Loh!
Belum lama ini, dunia pendidikan sempat dibuat heboh karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh sempat membuat pernyataan berikut :
Istilah KW 1 dan KW 2 adalah label yang biasa digunakan oleh pedagang dalam menjajakan berbagai produk manufaktur.
Kenapa Pak Nuh bisa menganalogikan siswa (manusia-manusia unik yang sedang dalam proses pertumbuhan menjadi manusia yang lebih baik) dengan berbagai istilah industri?
Tapi kemudian, terlepas dari 'label ala industri' yang digunakan Pak Nuh untuk menggolongkan siswa, saya jadi berefleksi bahwa kadang guru, termasuk saya sering melabeli siswa dengan berbagai 'label' yang tidak tepat.
Kadang kita melabeli siswa sebagai pemalas, tidak aktif, pemalu, pendiam, kurang cerdas. Padahal, belum tentu siswa-siswa kita seperti itu. Bisa jadi label kita tidak tepat karena kita memang belum mengenal siswa kita lebih jauh.
Kalau tadi yang saya contohkan adalah label yang terkesan 'negatif', pelabelan yang positif pun kadang tidak selalu tepat. Seseorang pernah melabeli saya sebagai seorang humanis padahal saya tidak pernah merasa mendeklarasikan diri saya sebagai seorang humanis. Suatu hari, saya melakukan kesalahan. Dan tiba-tiba orang yang pernah melabeli saya sebagai seorang humanis balik bertanya, "Saya pikir kamu seorang humanis. Kenapa kamu seperti itu? Humanis tidak berbuat seperti itu."
Ketika kita melabeli seseorang dengan label yang positif sekalipun, label itu juga belum tentu tepat. Kita selalu berharap mereka bertindak sesuai label yang kita berikan. Kalau ada siswa kita yang kita beri label rajin misalnya, ketika mereka sedang malas, kita kecewa.
Padahal, siswa kita adalah manusia dan manusia adalah manusia. Mereka bukan hanya unik, tapi juga memiliki berbagai prilaku yang bisa berubah dari waktu ke waktu, tergantung ada situasi dan konteks yang mereka hadapi. Label yang kita berikan tidak menggambarkan seseorang seutuhnya.
Tapi melepaskan diri dari memeri orang lain label, apa bisa? Rasanya sulit sekali. Ada-ada saja berbagai hal yang membuat kita melakukan penilaian pada orang lain dan akhirnya baik secara sadar maupun tidak kita memberi mereka label-label tertentu. Kebiasaan ini terbawa sampai di kelas. Kitapun terkadang (atau sering) mulai melabeli siswa kita, meskipun hanya berdasarkan ada penilaian-penilaian sesaat.
Idealnya sih menerima siswa apa adanya, tanpa pelabelan apapun. Namun, kalaupun kita mau melabeli siswa, setidaknya kita perlu sangat berhati-hati. Yang pasti, kita perlu berhati-hati agar tidak menyakiti hati mereka. Yang juga tak kalah penting, kita juga perlu terbuka, bahwa label yang kita berikan bisa jadi tidak tepat, atau bahkan salah sama sekali. Reminder nih untuk diri sendiri nih!
Btw, ada bacaan menarik tentang memberi siswa 'label'. Judulnya "Labeling and Disadvantages of Labeling". Mau membacaya? Di sini yah -->
http://www.education.com/
"...siswa yang naik kelas tanpa remidi, dia sebut sebagai siswa KW (kualitas) 1. "Sedangkan yang lulus remidi itu KW 2 dan seterusnya."
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=204969
Istilah KW 1 dan KW 2 adalah label yang biasa digunakan oleh pedagang dalam menjajakan berbagai produk manufaktur.
Kenapa Pak Nuh bisa menganalogikan siswa (manusia-manusia unik yang sedang dalam proses pertumbuhan menjadi manusia yang lebih baik) dengan berbagai istilah industri?
Tapi kemudian, terlepas dari 'label ala industri' yang digunakan Pak Nuh untuk menggolongkan siswa, saya jadi berefleksi bahwa kadang guru, termasuk saya sering melabeli siswa dengan berbagai 'label' yang tidak tepat.
Kadang kita melabeli siswa sebagai pemalas, tidak aktif, pemalu, pendiam, kurang cerdas. Padahal, belum tentu siswa-siswa kita seperti itu. Bisa jadi label kita tidak tepat karena kita memang belum mengenal siswa kita lebih jauh.
Kalau tadi yang saya contohkan adalah label yang terkesan 'negatif', pelabelan yang positif pun kadang tidak selalu tepat. Seseorang pernah melabeli saya sebagai seorang humanis padahal saya tidak pernah merasa mendeklarasikan diri saya sebagai seorang humanis. Suatu hari, saya melakukan kesalahan. Dan tiba-tiba orang yang pernah melabeli saya sebagai seorang humanis balik bertanya, "Saya pikir kamu seorang humanis. Kenapa kamu seperti itu? Humanis tidak berbuat seperti itu."
Ketika kita melabeli seseorang dengan label yang positif sekalipun, label itu juga belum tentu tepat. Kita selalu berharap mereka bertindak sesuai label yang kita berikan. Kalau ada siswa kita yang kita beri label rajin misalnya, ketika mereka sedang malas, kita kecewa.
Padahal, siswa kita adalah manusia dan manusia adalah manusia. Mereka bukan hanya unik, tapi juga memiliki berbagai prilaku yang bisa berubah dari waktu ke waktu, tergantung ada situasi dan konteks yang mereka hadapi. Label yang kita berikan tidak menggambarkan seseorang seutuhnya.
Tapi melepaskan diri dari memeri orang lain label, apa bisa? Rasanya sulit sekali. Ada-ada saja berbagai hal yang membuat kita melakukan penilaian pada orang lain dan akhirnya baik secara sadar maupun tidak kita memberi mereka label-label tertentu. Kebiasaan ini terbawa sampai di kelas. Kitapun terkadang (atau sering) mulai melabeli siswa kita, meskipun hanya berdasarkan ada penilaian-penilaian sesaat.
Idealnya sih menerima siswa apa adanya, tanpa pelabelan apapun. Namun, kalaupun kita mau melabeli siswa, setidaknya kita perlu sangat berhati-hati. Yang pasti, kita perlu berhati-hati agar tidak menyakiti hati mereka. Yang juga tak kalah penting, kita juga perlu terbuka, bahwa label yang kita berikan bisa jadi tidak tepat, atau bahkan salah sama sekali. Reminder nih untuk diri sendiri nih!
Btw, ada bacaan menarik tentang memberi siswa 'label'. Judulnya "Labeling and Disadvantages of Labeling". Mau membacaya? Di sini yah -->
http://www.education.com/
Comments
salam
Omjay