Refleksi Setelah Menonton Film "Sokola Rimba": Mengingat Pertentangan Batin Para Pendidik
Menonton film Sokola Rimba, mengingatkan saya pada pengalaman pertama ketika membaca buku Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba karya Butet Manurung (waktu baru diterbitkan oleh Insist Press).
Yang paling saya ingat dari buku itu, bukan kegiatan-kegiatan Butet mengajar di Rimba, tapi malah pertentangan-pertentangan batin yang dihadapi Butet ketika harus menghadapi berbagai pilihan-pilihan yang kompleks.
Awalnya Butet mengajar anak-anak Rimba karena bekerja pada sebuah LSM Lingkungan. Meskipun LSM itu menghanarkan Butet untuk mengenal anak-anak Rimba, ternyata ada perbedaan visi antara Butet dengan LSM tersebut.
Butet ingin mengajar anak-anak Rimba sampai ke bagian hilir. LSM tersebut hanya menginginkan Butet mengajar sampai daerah hulu. Butet ingin anak-anak Rimba bisa belajar baca tulis agar mereka tidak mudah diperalat oleh orang luar (yang menganggap diri lebih modern). Pendidikan yang dijalankan di hulu selama ini masih belum cukup untuk melindungi orang Rimba dari berbagai tantangan yang mereka hadapi. Si sisi lain, LSM tempat Butet bekerja merasa pendidikan yang selama ini sudah berjalan sudah cukup baik. Apa masalahnya? Butet gelisah karena melihat apa yang dihadapi oleh orang Rimba. Hutan tempat mereka biasa mencari penghidupan dijadikan Taman Hutan Nasional sehingga tak boleh lagi digunakan oleh Orang Rimba untuk berburu dan berladang. Namun, perusahaan boleh masuk, merusak hutan dan mengubahnya menjadi perkebunan sawit. LSM tempatnya bekerja, meskipun tahu fakta yang terjadi, menutup mata terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Intinya, ada perbedaan visi antara LSM tempat Butet bekerja dan visi pribadinya agar "pengetahuan menjadi senjata" bagi orang-orang Rimba. Butet, memilih untuk keluar. Meskipun tak digambarkan secara jelas dalam film Sokola Rimba garapan Mira Lesmana dan Riri Reza, dalam bukunya, digambarkan bahwa Butet mengalami kegalauan akut selama beberapa waktu. Dia lantang luntung tidak tahu mau apa, merasa sendiri, dan sangat jatuh.
Meski akhirnya, Butet dan teman-temannya bisa kembali ke Rimba dan mendirikan Rumah Sokola, ada masanya ketika dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Menghadapi konflik batin tidak pernah mudah.
Dalam berbagai bentuk lain, pertentangan batin semacam itu rasanya sering saya dengar di kalangan pendidik, khususnya guru di sekolah formal. Inginnya pendidikan berpihak pada anak, tapi kondisi memaksa pendidikan yang lebih berpihak pada kepentingan yayasan atau nama baik sekolah. Maunya proporsi penilaian siswa sebagian besar didasarkan pada berbagai tugas harian dan karya, tapi sistem memaksa proporsi penilaian terbesar didasarkan pada nilai Ulangan Umum Bersama ataupun Ujian Nasional (UN). Maunya tidak sibuk dengan urusan birokrasi tapi fokus pada kegiatan pembelajaran, faktanya tugas birokrasi tak ada habis-habisnya. Ini bukan hanya terjadi di satu dua sekolah tapi justru terjadi secara masal di berbagai sekolah.
Kalau menurut film (maupun buku) Sokola Rimba, Butet memilih untuk keluar dari LSM tempatnya bekerja, lantang luntung sementara, lalu membuat suatu gerakan baru bersama-sama teman-temannya bernama Ruma Sakola. Dalam konteks pertentangan batin guru, apa yang bisa dilakukan? Keluar dari sistem yang ada dan membuat sistem baru? Memilih tetap di dalam sistem tapi memanfaatkan kelemahan sistem yang ada? Melakukan perlawanan? Atau diam saja? Ntahlah!
---
PS : Selamat hari guru untuk semua teman-teman guru! Semoga kita semua bisa menentukan pilihan yang paling bijak dalam menghadapi berbagai pertentangan batin ketika berhadapan dengan sistem pendidikan yang ada sekarang ini!
Comments