Perjalanan Ke Surabaya Yang Menakjubkan (Bagian 2) : Sharing di KNGB tentang "Setiap Siswa Punya Cerita"
Tulisan ini adalah lanjutan dari posting "Perjalanan ke Surabaya yang Menakjubkan (Bagian 1) : Sharing Visi Pribadi tentang Pendidikan di KNGB 2013"
Tahun 2008, saya melakukan penelitian di sebuah program Kejar Paket B (setingkat SMP) di Bogor. Siswanya sudah dewasa, biasanya sudah bekerja. Saat itu saya meminta masing-masing siswa menceritakan kisah hidup mereka sampai akhirnya mereka berakhir di program kejar Paket B. Kenapa mereka memilih untuk 'sekolah lagi'? Bagaimana kisah hidup mereka? Bagaimanakah proses pendidikan yang mereka dapatkan ketika masih muda?
Kedua gambar di atas adalah gambar dari dua orang siswa yang saya wawancarai. Gambar tersebut merepresentasikan kisah hidup mereka sampai mereka akhirnya bersekolah di program kejar paket B.
Gambar di kiri adalah gambar seorang bapak yang bekerja sebagai tukang ojek. Dulu dia memang sempat bersekolah, SD dan SMP. Tepat sebelum keluar SMP dia putus sekolah. Alasannya? Dia terlalu sering membolos. Tak jauh dari rumahnya ada tempat di mana orang-orang sering melakukan kegiatan terjun payung. Dia senang sekali melihat orang melakukan terjun payung dan rela bolos sekolah untuk menonton kegiatan tersebut tapi itu menyebabkannya putus sekolah.
Setelah putus sekolah dia bekerja serabutan termasuk jadi tukang bangunan. Dia punya abang yang bekerja di gedong,tempat orang yang memiliki rumah bagus. Abangnya kemudian mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Dia diminta menggantikan abangnya bekerja di gedong. Gedong tersebut berada di Jakarta.
Dan di sanalah dia memulai hidup baru. Bekerja membersihkan rumah, mencuci mobil, dan sebagainya. Bos, pemilik gedong punya seorang anak. Bapak ini kemudian diminta menemani anak tersebut ke mana-mana. Semacam body guard. Dia menemani anak tersebut makan, berpergian, dan ke mana-mana. Karena sering berpergian dia mulai hafal jalan-jalan di Jakarta. Dia juga sempat les menyetir meskipun tidak selesai.
Tahun 1998, muncul krisis moneter. Bos-nya yang tadinya mempunyai uang banyak mulai mengalami kebangkrutan. Akibatnya dia tidak bisa bekerja di gedong tersebut lagi. Bos-nya sempat mau membantunya mencari pekerjaan, tapi karena dia bahkan tidak memiliki ijazah SMP, dia sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Dia pun menyesali 'kebandelannya' selama SMP.
Meskipun begitu, dia tetap memperoleh pekerjaan. Jadi semacam 'kuli' di Tanjung Priok. Uang yang dia kumpulkan ia gunakan untuk menyicil motor. Dan dia pun kembali ke kampungnya di Bogor. Di sana dia mulai mengojek sekaligus membuka pangkalan ojek. "Modal saya untuk membuka pangkalan ojek hanya keberanian. Saya cari tongkrongan dan menawarkan jasa ojek," begitu katanya. Dia ingin sekolah lagi agar bisa dapat pekerjaan yang lebih baik.
Mungkin bapak tersebut memang sempat putus sekolah. Tapi pengalaman hidupnya, meskipun berat, sangat kaya. Dia terus belajar dengan menekuni pekerjaannya. Misalnya, dia belajar mengenal jalan-jalan di Jakarta. Dia juga mempunyai jiwa enterpreneurship dibuktikan dengan keberhasilannya membuka pangkalan ojek.
Di sebelah kanan ada gambar siswa yang lain. Dia adalah perempuan, guru di TPA. Sebenarnya dia sudah lulus SMU tapi suatu insipden menyebabkan ijazahnya robek-robek. Dia tidak punya ijazah lagi dan rela ikut kejar paket B untuk memperoleh ijazah kembali. Lagipula dia senang belajar lagi, Gakpapa belajarnya ngulang. Karena dia tinggal dekat sebuah kampus, dia sering membaca pamlet-pamflet dan segala poster yang ada di sekitar kampus. Kalau ada acara kampus seperti pertunjukan musik, diskusi buku, dia akan menyelip dan ikut. Dengan bangga dia menceritakan bahwa dia pernah mendapatkan buku gratis waktu mengikuti salah satu bedah buku di kampus. Dia juga sempat menjadi pembantu rumah tangga. Salah satu tanggung jawabnya adalah menemani anak dari majikannya untuk les piano. Sesekali dia meminta anak tersebut untuk mengajarinya bermain piano. Dia memilih ikut kejar paket B untuk belajar lagi. Dia ingin lebih pintar dari putrinya. "Jadi kalau putri saya bertanya, saya bisa menjawab," begitu katanya.
Ibu tersebut memperlihatkan bahwa dia suka sekali belajar. Dia belajar dengan membaca berbagai pamflet dan poster yang ada di kampus, mendatangi berbagai kegiatan-kegiatan kampus, meskipun bukan mahasiswa. Dia juga belajar cara bermain musik, dan ingin terus belajar.
Dari kedua cerita di atas, saya belajar bahwa meskipun tidak lulus SMP atau tidak punya ijazah sekolah, bukan berarti siswa tidak belajar. Setiap orang belajar dengan caranya sendiri-sendiri. Ada yang dengan bekerja, ada yang dengan mengamati sekitarnya, bergaul, dan sebagainya. Pengalaman hidup juga lingkungan seseorang, sebenarnya memungkinkan mereka belajar begitu banyak hal, meskipun tidak mereka sadari. Kadang-kadang pengalaman siswa bisa lebih kaya dari guru, pengetahuan mereka dalam beberapa hal juga bisa lebih banyak. Guru tidak selalu menjadi yang paling tahu. Apakah sebagai guru kita menghargai cara belajar siswa kita? Apakah kita menghargai pengalaman siswa kita? Apakah kita merasa bahwa pengetahuan siswa kita cukup berharga? Setiap siswa punya cerita. Cerita siswa sangat berharga. Apakah kita, sebagai pendidik, mau mendengarnya?
Berlanjut....
Comments