Pertanyaan-pertanyaan (guru asing) tentang sekolah Indonesia

Belum lama ini saya menemani sejumlah guru dari Filipina saat mereka mengunjungi sebuah sekolah negeri di Indonesia. Meskipun saya sebenarnya juga tamu di sekolah tersebut, saya juga berperan menjadi semacam guide sekaligus penerjemah bila diperlukan. Tidak semua guru (Indonesia) di sekolah tersebut bisa berbahasa Inggris. Jadi,  sekali-kali saya membantu menjadi penerjemah.

Sambil melihat-lihat sekolah, dan proses pembelajaran di berbagai kelas, guru-guru dari Filipina mengajukan beberapa pertanyaan. Maklum, mereka ingin lebih tahu mengenai pendidikan di sekolah tersebut dan sekolah di Indonesia pada umumnya. Pertanyaan-pertanyaan mereka sederhana, tapi mampu membuat saya kembali merenungi sistem pendidikan yang ada di Indonesia.

Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh guru Filipina adalah, “This is not a public school right?

Guru tersebut tidak yakin bahwa sekolah tersebut adalah sekolah negeri. Memang mereka sebenarnya sudah telah diberitahu bahwa sekolah yang sedang dikunjungi adalah sekolah negeri.  Tapi mereka terheran-heran karena siswa masih harus membayar uang sekolah.

Guru bahasa Inggris di sekolah tersebut menjawab, “Yes, it is.”

 “Really? Then why do students have to pay for fees?” tanya seorang guru Filipina.

Well, we use it to  pay for the teachers,” jawabnya.

But you get paid by the government, right?

Yes, we do only if we are government teachers.  But,  if we are non-government teachers, we get payed by the school, from the students’ fees. There is not enough money to pay for all the teachers fees.

Oh there is not enough fees,” katanya menyimpulkan.

Pertanyaan belum selesai sampai di situ. Seorang guru Filipina menanyakan, “Are teachers in Indonesia payed differently?”

Guru bahasa Inggris menjawab, “Yes, it depends on where you teach. If you are a government teacher, the payment is different than if you are a non-government teacher.

Guru Filipina bercerita,“In the Phillipines, there are levels of teachers. When we are new teachers we get payed quite low, but actually it doesn’t matter if we teach in the city or rural areas, anywhere, we get the same payment. If we increase our skills and go to the next level, we get the same payment for that level.   But, to get there some teachers did fight for our rights. They went to the government to ask for equal payment for all teachers. Somebody has to do that.”

Dalam diskusi lebih lanjut kami menemukan bahwa guru-guru Filipina tersebut agak bingung karena di sebuah sekolah yang sama (sekolah negeri) ada guru yang dibayar oleh pemerintah dan ada yang tidak. Bagi mereka ini agak membingungkan karena kok bisa d sebuah sekolah negeri, gurunya ada yang dibayar oleh pemerintah dan ada yang tidak. Guru dari sekolah (Indonesia) kemudian menerangkan bahwa ada perbedaan antara guru PNS dan non-PNS. Meskipun sama-sama di sekolah negeri, ada guru yang dibayar oleh pemerintah dan tidak. Hal tersebut berbeda dengan di Filipina di mana guru apapun kalau golongannya sama, bayarannya pun sama. Seandainya guru tersebut meningkat kompetensinya, memang gajinya akan bertambah. Namun, memang ada sekelompok guru yang berjuang sehingga gaji guru merata di Filipina. Guru bahasa Inggris mencoba menerangkan kondisi di Indonesia. Bahwa tidak ada uang yang cukup sehingga pemerintah bisa menggaji semua guru. Akhirnya guru-guru Filipina mencoba memahami, “Oh the problem is lack of funds!

Saya lalu menemani guru-guru tersebut mengunjungi ke laboratorium sains. Di pojok laboratorium ada ruang kecil. Di dalam ruang tersebut ada lemari tersebut merupakan tempat karya siswa dipajang. Ada buku berisi daun-daunan yang telah dikeringkan. Di dalamnya ada label yang menggambarkan jenis daun, bentuk tulangnya, dan sebagainya. Ada berbagai karya siswa lainnya.

Dengan bangga guru yang berada di laboratorium tersebut, sepertinya guru IPA,  berkata, “Ini karya siswa-siswa kami!”.

Saya membantu menerjemahkan pernyataan guru tersebut ke dalam bahasa Inggris, “These are the students’ work.”

Guru dari Filipina mengangguk-angguk lalu bertanya, “How often do you change the students display?
“Ibu guru ini bertanya, seberapa seringnya karya siswa yang dipajang di sini diganti,” kata saya kepada guru IPA tersebut.

Dengan polosnya guru IPA tersebut berkata sambil tertawa, “Yah, hampir gak pernah diganti. Paling setahun sekali kalau kenaikan kelas!”

Nahlo! Bingung kan menerjemahkannya? Harus saya akui, saya tidak sepenuhnya jujur saat menerjemahkan jawaban guru IPA tersebut ke dalam bahasa Inggris. Saya tidak mengatakan bahwa karya yang dipajang hanya diganti sekali setahun sekali. Saya hanya mengatakan, “Not very often.

Dengan mata mengerling sambil menyengir guru tersebut berkata, “Oh not very often!

Dari situ saya belajar bahwa kadang kita di Indonesia, senang memamerkan hal yang “terlihat keren”. Tapi sekadar untuk menunjukkan bahwa kita “keren”. Piala berbagai kejuaraan,  beberapa karya siswa kita pajang. Bagus sih, tapi bagi seorang pendidik tidak akan sekadar terkagum-kagum dengan sesuatu yang terlihat “keren”, tapi akan penasaran bagaimana proses untuk menghasilkan “kekerenan” tersebut. Saat tim olahraga sekolah misalnya memperoleh juara satu dalam sebuah lomba. Seorang pendidik akan penasaran bagaimanakah cara pelatih melatih siswa tersebut sehingga punya daya juang dan kedisiplinan. Saat ada karya siswa yang dipajang di dinding sekolah, seorang pendidik akan penasaran seberapa sering siswa diajak membuat karya, bagaimana proses pembelajaran di kelas sehingga siswa bisa menghasilkan karya tersebut, karya lain apa yang dihasilkan siswa, dan apa yang siswa pelajari dari membuat karya tersebut.  Bukan sekadar ada sebuah “karya keren” yang dipajang di dinding sekolah.

Kunjungan berikutnya adalah ke perpustakaan.  Perpustakaan sekolah tersebut cukup luas. Mungkin sekitae 8 m x 15 m. Sekeliling perpustakaan adalah lemari dan ada beberapa lemari lain di tengahnya. Lemarinya pun penuh berisi buku. Sebuah judul buku jumlahnya bisa banyak mungkin sampai 20 buku. Guru Filipina bertanya, “What kind of books are here?”
Saya menjelaskan fakta yang ada, sebagian besar buku di perpustakaan tersebut adalah buku pelajaran (text book). Memang faktanya seperti itu. Meskipun perpustakaan penuh dengan buku, buku selain buku pelajaran baik fiksi maupun non-fiksi hanya sedikit saja. Saya melihat ada satu (atau dua) lemari sekitar 1 m x 2 m yang berisi buku-buku selain buku pelajaran.
Guru dari Filipina mengernyitkan dahi sedikit, lalu bertanya, “Don’t the students have a task like to bring a book and read it every week? I mean like not text book books.” 
Guru-guru dari Filipina bingung karena hampir seluruh perpustakaan berisi buku pelajaran dan hanya sediki buku lainnya baik fiksi maupun non-fiksi. Mereka bertanya apakah siswa di sekolah tersebut tidak ada yang mempunya tugas untuk membaca buku (selain buku pelajaran) setiap minggunya? Seorang guru Filipina menambahkan, “In the Phillipines, students must borrow a book from the library every week, read it and make a report about the book. Every week.”
Filipina, seperti Indonesia, adalah negara yang sama-sama punya ‘cap’ negara berkembang. Tapi di sana siswa wajib membaca sebuah buku setiap minggunya. Bukan buku pelajaran tentunya. Bukankah membiasakan siswa membaca (termasuk buku-buku selian buku pelajaran) memang adalah salah satu cara mendasar untuk membuat siswa menjadi terdidik? Yah memang harus diakui mungkin kesadaran di kalangan pegiat pendidikan belum semuanya sampai sana. Mudah-mudahan akan berubah dalam beberapa waktu ke depan. Saya pun menjawab, “No, in Indonesia most students don’t have to do those tasks yet (reading books every wek), but I hope we are getting there.”  

Comments

Unknown said…
Jadi ingat keponakanku (dulu masih SMA,sekarang sudah kuliah tingkat 1) waktu dia main ke rumah, dia penasaran dengan koleksi bukuku. Dia periksa rak buku di rumah, dan dia menemukan seri Twilight Saga. Dia langsung ijin aku untuk pinjam buku itu, aku meng-iya-kan. Tapi waktu itu ada si "Uti", nenek keponakanku ini. Uti adalah pensiunan kepala sekolah SD. Uti langsung melarang keras keponakanku baca novel itu, alasannya karena dia mau UN. Menurut Uti, novel bikin anak malas belajar. Aku coba menjelaskan ke Uti, bahwa tidak apa-apa membaca novel. Tapi susah yaa... mengubah paradigma orang tua apalagi aku kepentok budaya "anti-melawan". Ya akhirnya aku cuma bisa bilang ke keponakanku, "baca novelnya nanti aja, habis ujian". Dia cuma diam dan masih cemberut.
Unknown said…
Jadi ingat keponakanku (dulu masih SMA,sekarang sudah kuliah tingkat 1) waktu dia main ke rumah, dia penasaran dengan koleksi bukuku. Dia periksa rak buku di rumah, dan dia menemukan seri Twilight Saga. Dia langsung ijin aku untuk pinjam buku itu, aku meng-iya-kan. Tapi waktu itu ada si "Uti", nenek keponakanku ini. Uti adalah pensiunan kepala sekolah SD. Uti langsung melarang keras keponakanku baca novel itu, alasannya karena dia mau UN. Menurut Uti, novel bikin anak malas belajar. Aku coba menjelaskan ke Uti, bahwa tidak apa-apa membaca novel. Tapi susah yaa... mengubah paradigma orang tua apalagi aku kepentok budaya "anti-melawan". Ya akhirnya aku cuma bisa bilang ke keponakanku, "baca novelnya nanti aja, habis ujian". Dia cuma diam dan masih cemberut.
Anonymous said…
nice articles mb Dita. =)
benar2 terevaluasi dr artikle tsb. ternyata Indonesia msh rendah kualitas pendidikannya bahkan dibanding negara berkembang di asia tenggara.
Paradigma dan sudut pandang "lama" hrs diperbaharui u/ memajukan kualitas sdm negri ini. Trimakasih.. ini benar2 membuat saya makin semangat berkarya tentunya dlm bidang saya, Pendidikan. =)
Danang said…
Saya melihat dari segi orang tua dimana saat ini anak saya berada di Primary 1 (setingkat dg SD kelas 1). Memang betul setiap minggu atau kadang2 3 hari, mereka diberi 1-2 buku untuk dibaca di rumah. Buku tersebut jelas bukan text book,tapi buku cerita dan fantasi. Tujuannya memang bukan agar mereka belajar mengenai suatu sbuyek tetapi lebih ke belajar mencintai buku dan membaca...

sedikit quote faovirt saya tentang text book dan fairy tales:
“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.”
― Albert Einstein

anyway, nice and neat.. I am enjoying your writing, mbak Puti.
Danang
Aberdeen, UK

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)