Menghadapi Cermin Sosial
Saya belajar istilah “cermin sosial”
sekitar 6 tahun yang lalu, di workshop
“Visi Misi Pribadi” yang diselenggarakan oleh Kuncup Padang Ilalang (KAIL). Saya mendefinisikan cermin sosial
sebagai harapan-harapan orang lain terhadap kita yang kadang (atau seringkali)
tidak selalu sesuai dengan nilai yang kita pegang, termasuk mengenai pekerjaan
kita, gaya hidup kita, pakaian kita, apa yang kita makan dan sebagainya. Nilai
di sini berarti hal-hal yang kita pegang untuk menjalani kehidupan dan sifatnya
mendasar. Ketika kita melihat cermin, kita melihat refleksi diri kita. Ketika kita melihat cermin sosial, kita
melihat refleksi diri kita yang dipengaruhi oleh pandangan orang lain terhadap
kita, meskipun itu belum tentu menggambarkan diri kita yang sesungguhnya.
Tidak semua nilai yang ada di
masyarakan sesuai dengan nilai yang kita pegang. Dalam buku South of The Border , West of The Sun
ada cerita mengenai seseorang bernama Hajime yang diajak oleh ayah iparnya
untuk berbisnis bersama, membangun
perumahan mewah di sebuah lahan di Tokyo. “Daerah tersebut akan terlihat lebih
cantik, lebih indah,” kata sang ayah ipar mencoba meyakinkan Hajime untuk
berbisnis. “Bisnis ini legal, tidak melanggar hukum,” tambahnya. Meskipun legal
secara hukum, Hajime merasa gelisah dengan ide tersebut. Hajime berkata pada ayah
iparnya :
“…Tokyo is already chocked with cars. Any more skyscrapers and the roads will turn into one huge car park. And how’s the water supply going to be maintained if there’s a dry spell? In the summer, when people all have their air conditioners on, they won’t be able to keep up with the demand for electricity. The power plants are run by fuel from the Middle East, right? What happens if there’s another oil crisis? Then what?” (Haruki Murakami, South of The Border West of The Sun, p.113)
Sebagai seorang pengusaha, ayah
iparnya merasa yang penting bisnisnya
berjalan. Pembangunan perumahan akan menjadikan Tokyo kota yang terlihat lebih
indah dan modern. Urusan kelangkaan air, kelangkaan minyak adalah urusan
pemerintah. Mereka yang akan mencari solusinya. Bisnis tersebut tidak melanggar
hukum. Namun bagi Hajime, pembangunan perumahan tersebut hanya kesia-siaan dan tidak
akan memberikan nilai tambah kepada kota Tokyo. Malah akan mengurangi
keseimbangan lingkungan. Hajime memiliki nilai yang berbeda dengan nilai ayah
iparnya.
Setiap orang memang memiliki nilai
yang berbeda dalam hidup. Apa yang dianggap penting oleh kita, belum tentu
dianggap penting oleh orang lain dan sebaliknya. Hal tersebut wajar. Latar
belakang, pengalaman, pengetahuan, dan konteks sosial setiap orang berbeda-beda
dan nilai yang dipegang seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Cermin sosial terjadi ketika orang lain memiliki harapan, baik diungkapkan
secara langsung, maupun tercermin dalam perbuatan, agar nilai yang kita pilih
menjadi sama dengan nilai mereka. Kita juga, mungkin secara tidak sadar menjadi
cermin sosial bagi orang lain.
Contoh cermin sosial adalah ketika
seseorang memilih menjadi freelancer karena
ingin mengatur waktunya sendiri untuk berkarya. Hal tersebut berarti ia memang
memilih untuk tidak bekerja tetap. Itu nilai yang dia pegang, tapi orang lain
belum tentu memahaminya. Ketika seorang bertanya, “Kamu tidak daftar jadi PNS
saja?” menunjukkan bahwa dia tidak sepaham dengan nilai yang dipegang sang freelancer
dan berharap bahwa dia memiliki nilai bahwa “bekerja tetap adalah pilihan yang
lebih baik”. Padahal apa yang baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang
lain.
Seorang teman memilih untuk meng-homeschooling-kan. Hal tersebut
dilakukan dengan penuh kesadaran akan setiap konsekuensinya. Ternyata, anaknya lambat dalam belajar
membaca. Dia lalu ditegur oleh seseorang, “Makanya, sebaiknya anaknya sekolah
saja!” Orang yang menegur merasa lebih baik anak tersebut disekolahkan di
sekolah formal. Padahal apa salahnya lambat dalam belajar membaca? Kalau
diberikan treatment yang tepat bisa
saja anak jadi lebih lancar membaca dan malah bisa mencintai membaca. Treatment itu bisa saja diberikan di
sekolah maupun di rumah.
Apa pilihannya saat kita menghadapi
cermin sosial? Pilihan pertama adalah berkompromi sepenuhnya. Hal ini biasanya
terjadi kalau cermin sosial itu datang dari orang yang sangat dekat dengan
kita, seperti keluarga atau sahabat. Istilah lainnya adalah ngalah aja dulu sebagai bentuk kasih
sayang atau penghormatan terhadap orang lain. Ngalah di sini artinya mencoba mengabaikan nilai yang kita yakni,
demi menyenangkan orang lain. Mengabaikan nilai yang kita pegang mungkin terlihat mudah tapi sebenarnya bisa sangat menyiksa.
Film Mulan, yang diangkat sebuah
cerita tradisional Cina yang diadopsi dan dimodifikasi oleh Disney, pernah
menggambarkan hal ini. Sebagai perempuan, Mulan diharapkan bertingkah laku
seperti perempuan yang digambarkan oleh masyarakatnya yakni dandan yang cantik,
menunggu pasangan hidup, dan bersikap lemah lembut. Mulan mencoba berkompromi
tapi memang tidak mudah melakukan sesuatu yang “bukan diri kita”, yang tidak
kita yakini. Mulan yang gelisah, menyanyi di pinggir sebuah danau. Liriknya
begini :
“Look at me, you may think you see who I really am, but you never know me. Every day it is as if I play a part. Now I see, if I wear a mask I could fool the world but I cannot fool my heart.”Lirik lagu tersebut menggambarkan bahwa kita bisa membohongi dunia tapi kita tidak bisa membohongi diri sendiri. Mulan merasa sangat tersiksa karena sebetulnya dia ingin ikut berjuang di medan perang (saat itu sedang dalam situasi perang melawan Dinasti Han).
Pilihan kedua adalah berkompromi
sedikit. Saya banyak menemukan mahasiswa yang berada di posisi ini. Misalnya,
mereka memilih jurusan yang tidak sesuai minat mereka. Misalnya seorang menyukai seni tetapi lingkungan sekitarnya tidak menganggap seni sebagai hal yang penting atau bermasa depan. Akhirnya mahasiswa tetap mengambil jurusan lain, sekadar untuk berkompromi terhadap cermin sosial yang ada, tapi belajar seni di luar waktu kuliah. Akhirnya mahasiswa tersebut memang bekerja di bidang seni. Kadang berkompromi ada gunanya yakni untuk lebih mengenali diri sendiri. Kadang kita menjalankan sesuatu yang tidak kita yakini. Kita pikir kita tidak akan kenapa-kenapa tapi ternyata kita gelisah. Dengan merasa gelisah, sesungguhnya kita pada tahap mengenal diri sendiri. Kita jadi tahu apa nilai-nilai yang memang kita anggap penting. Tiba-tiba kita sadar, "Bukan hidup seperti ini yang ingin saya jalani. Bukan nilai-nilai ini yang sesungguhnya saya pegang."
Pilihan ketiga adalah benar-benar menjalani apa yang diyakini terlepas dari apapun cermin sosial yang ada. Beberapa orang yang luar biasa berani memilih jalan hidup seperti ini. Saya jadi teringat menonton film pendek mengenai Umbu Paranggi, ‘gurunya’ Emha Ainun Nadjib, Ebiet G. Ade, Yudhistira Massardi, dan banyak penulis lainnya. Teman saya yang ikut menonton berkata, “Gila yah! Umbu saking percayanya pada puisi sampai berani hidup sendiri, sangat sederhana hanya untuk berpuisi!” Dalam tulisan Putu Fajar Arcana yang berjudul “Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata”, dituliskan
Pilihan ketiga adalah benar-benar menjalani apa yang diyakini terlepas dari apapun cermin sosial yang ada. Beberapa orang yang luar biasa berani memilih jalan hidup seperti ini. Saya jadi teringat menonton film pendek mengenai Umbu Paranggi, ‘gurunya’ Emha Ainun Nadjib, Ebiet G. Ade, Yudhistira Massardi, dan banyak penulis lainnya. Teman saya yang ikut menonton berkata, “Gila yah! Umbu saking percayanya pada puisi sampai berani hidup sendiri, sangat sederhana hanya untuk berpuisi!” Dalam tulisan Putu Fajar Arcana yang berjudul “Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata”, dituliskan
“Sejak bermukin di Yogyakarta, lalu pindah ke Bali, Umbu menjadi satu-satu pengabdi puisi paling setia. Ia “mengorbankan” semua kesenangan hidup pribadinya dengan menjalani hidup seorang diri, jauh dari sanak keluarga, jauh dari komunitas yang didiknya. Tetapi, dalam kesendirian itu, ia tak sungkan mengunjungi para penyair muda atau seorang seniman yang sedang sakit.”
(Kompas, 18 November 2012)
Mungkin tidak banyak orang yang bisa seperti Umbu Paranggi. Menjalani apa yang diyakini meskipun dianggap aneh oleh orang lain. Menghadapi cermin sosial bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah kita cukup berani untuk “tidak dipahami”? Apakah kita cukup berani untuk berkata “Ini adalah hidup
saya dan beginilah cara saya ingin hidup!”?
Comments