Bertemu Sensei Okihara
Rabu lalu, 29 Agustus 2012, saya dan Mbak Danti mendapatkan kesempatan untuk bertemu seorang guru, peneliti, profesor, pelatih guru, dari Jepang. Namanya Sensei Katsuaki Okihara dari Kyoto Notre Dame University.
"Basically, I'm an education person. I quite of do everything", kata Sensei Okihara. Sensei Okihara mengajar sejak tahun 1981. Banyak sekali yang sudah pernah (dan masih dikerjakannya). Setelah menyelesaikan trainingnya di bidang English Language Teaching, dia mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Jepang. Dia pernah mengajar siswa berbagai usia. Dia juga pernah menjadi penasihat Kementerian Pendidikan Jepang, khususnya mengenai kebijakan pendidikan bahasa Inggris di Jepang. Kini dia masih mengajar (kalau tidak salah di sekolah menengah atas), perguruan tinggi, dan juga menjadi pelatih guru. Selain itu Sensei Okihara terus meneliti.
"Guru juga harus meneliti," katanya, "Itu salah satu kewajiban guru di Jepang. Sebenarnya dengan melakukan penelitian ini, saya tidak akan mengalami peningkatan dalam karir (tidak akan naik pangkat). Saya sudah profesor. Tingkat karir saya sudah paling tinggi di bidang saya. Tapi saya meneliti untuk mengusir kebosanan. Cara mengusir kebosanan adalah dengan terus belajar hal baru. If we don't learn we die. That's life!" katanya
Sensei Okihara datang ke Indonesia karena ingin meneliti mengenai pendidikan bilingual di Indonesia, khususnya mengenai Content and Language Integrated Learning (CLIL). CLIL adalah pembelajaran bahasa Inggris melalui pelajaran sains dan matematika. "Awalnya CLIL dibuat karena seringkali pembelajaran bahasa Inggris hanya satu jam atau dua jam dalam seminggu. Jadi salah satu cara untuk saran untuk meningkatkan exposure siswa terhadap bahasa Inggris adalah dengan mengajar bidang lain dalam bahasa Inggris misalnya matematika dan sains. Saya tertarik mengetahui bagaimana pengaruh CLIL terhadap identitas nasional (national identity), khususnya di negara-negara Asia. Malaysia, misalnya sudah mulai meninggalkannya."
Sensei Okihara menambahkan, "Sebagai seorang guru bahasa Inggris saya selalu mempertanyakan kembali, apakah yang saya ajarkan memang penting? What is the role of teaching English in non- English speaking countries? Melalui penelitian saya senantiasa berusaha mencari kembali jawaban."
Saya kemudian berbincang-bincang dengan dia mengenai banyak hal. Saya katakan bahwa pada dasarnya saya lebih senang apabila pembelajaran sains dan matematika di sekolah (khususnya di sekolah negeri) menggunakan bahasa Indonesia. Saya bercerita mengenai tren sekolah bilingual di Indonesia, mengenai bagaimana Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) berkembang dengan sangat cepat meski tanpa persiapan yang matang, termasuk mengenai perjuangan teman-teman di Mahkamah Konstitusi.
"Saya pernah mengajar privat siswa SMP yang berasal dari SD yang sangat bagus. Ketika dia masuk SMP, masuk ke sekolah RSBI. Setiap hari dia sibuk menghafal definisi-definisi sains dan matematika dalam bahasa Inggris. Misalnya, 'accute angle artinya sudut lancip' tanpa benar-benar belajar matematikanya. Bahkan saat pelajaran sains dia sibuk menghafal 'capilarity is the up and down of water in an object' padahal definisi kapilaritas bukan seperti itu. Bahkan yang mengagetkan adalah guru di sekolah menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan materi-materi berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Padahal kualitas terjemahan Google Translate biasanya secara konteks tidak selalu tepat. Akibatnya, pembelajaran bahasa Inggris juga tidak dapat, begitu juga dengan sains dan matematikanya. Apalagi ketika gurunya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar dalam bahasa Inggris?"
"Kompetensi terhadap konten atau kompetensi untuk mengajarkan bidang tersebut dalam bahasa Inggris?" tanya Sensei Okihara.
Saya mengatakan bisa keduanya. Ada yang memang pemahamanan kontennya lemah, ada yang baik tetapi kesulitan ketika harus mengajarnya dalam bahasa Inggris, ada juga yang lemah di konten maupun bahasa Inggrisnya. "Di Jepang sendiri trennya bagaimana?" tanya saya pada Sensei Okihara.
Menurut Sensei Okihara di sekolah publik Jepang pengajaran matematika dan sains masih dalam bahasa Jepang. Memang ada sekolah tertentu yang orang tuanya merasa perlu menyekolahkan anaknya di sekolah bilingual karena menganggap bahasa Inggris memang lebih modern. Tetapi di sisi lain timbul masalah mengenai identitas kebangsaan.
Saya katakan pada Sensei Okihara bahwa saya baru membaca ulang mengenai founding fathers Indonesia, Bung Karno, di buku Angle of Vision (Andi Achdian, 2012). Para founding fathers fasih berbicara bahasa Indonesia (juga bahasa daerah), bahasa Inggris, Belanda, dan mungkin juga bahasa Prancis. Namun, ketika mereka menggunakan bahasa asing, mereka hanya menggunakannya sebagai alat komunikasi, membantu belajar (membaca buku), tanpa merasa inferior atau minder sebagai bangsa Indonesia. Mereka punya percaya diri yang tinggi sebagai bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah ketika penggunaan bahasa asing ini diawali dari rasa minder bahwa kita tidak lebih baik dari bangsa lain. Untuk kondisi saat ini, kita tentunya perlu bertanya kembali, apakah motif pengajaran sains dan matematika di sekolah dalam bahasa Inggris?
Sekitar dua jam telah berlalu dan kami pun harus menutup pembicaraan. "I'm glad that we share a lot of thing in common, including our concerns about education in general and English Language teaching. It gave me a lot of insights," kata Sensei Okihara sambil menyalami saya dengan erat.
"I'm planing to come back to Indonesia next year and hope that we can meet again."
Saya sendiri pamit pulang. Senang rasanya memiliki kesempatan bertukar pikiran dengan pendidik yang berasal dari budaya yang berbeda. As I always believed in, learning happens through interaction.
"Basically, I'm an education person. I quite of do everything", kata Sensei Okihara. Sensei Okihara mengajar sejak tahun 1981. Banyak sekali yang sudah pernah (dan masih dikerjakannya). Setelah menyelesaikan trainingnya di bidang English Language Teaching, dia mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Jepang. Dia pernah mengajar siswa berbagai usia. Dia juga pernah menjadi penasihat Kementerian Pendidikan Jepang, khususnya mengenai kebijakan pendidikan bahasa Inggris di Jepang. Kini dia masih mengajar (kalau tidak salah di sekolah menengah atas), perguruan tinggi, dan juga menjadi pelatih guru. Selain itu Sensei Okihara terus meneliti.
"Guru juga harus meneliti," katanya, "Itu salah satu kewajiban guru di Jepang. Sebenarnya dengan melakukan penelitian ini, saya tidak akan mengalami peningkatan dalam karir (tidak akan naik pangkat). Saya sudah profesor. Tingkat karir saya sudah paling tinggi di bidang saya. Tapi saya meneliti untuk mengusir kebosanan. Cara mengusir kebosanan adalah dengan terus belajar hal baru. If we don't learn we die. That's life!" katanya
Sensei Okihara datang ke Indonesia karena ingin meneliti mengenai pendidikan bilingual di Indonesia, khususnya mengenai Content and Language Integrated Learning (CLIL). CLIL adalah pembelajaran bahasa Inggris melalui pelajaran sains dan matematika. "Awalnya CLIL dibuat karena seringkali pembelajaran bahasa Inggris hanya satu jam atau dua jam dalam seminggu. Jadi salah satu cara untuk saran untuk meningkatkan exposure siswa terhadap bahasa Inggris adalah dengan mengajar bidang lain dalam bahasa Inggris misalnya matematika dan sains. Saya tertarik mengetahui bagaimana pengaruh CLIL terhadap identitas nasional (national identity), khususnya di negara-negara Asia. Malaysia, misalnya sudah mulai meninggalkannya."
Sensei Okihara menambahkan, "Sebagai seorang guru bahasa Inggris saya selalu mempertanyakan kembali, apakah yang saya ajarkan memang penting? What is the role of teaching English in non- English speaking countries? Melalui penelitian saya senantiasa berusaha mencari kembali jawaban."
Saya kemudian berbincang-bincang dengan dia mengenai banyak hal. Saya katakan bahwa pada dasarnya saya lebih senang apabila pembelajaran sains dan matematika di sekolah (khususnya di sekolah negeri) menggunakan bahasa Indonesia. Saya bercerita mengenai tren sekolah bilingual di Indonesia, mengenai bagaimana Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) berkembang dengan sangat cepat meski tanpa persiapan yang matang, termasuk mengenai perjuangan teman-teman di Mahkamah Konstitusi.
"Saya pernah mengajar privat siswa SMP yang berasal dari SD yang sangat bagus. Ketika dia masuk SMP, masuk ke sekolah RSBI. Setiap hari dia sibuk menghafal definisi-definisi sains dan matematika dalam bahasa Inggris. Misalnya, 'accute angle artinya sudut lancip' tanpa benar-benar belajar matematikanya. Bahkan saat pelajaran sains dia sibuk menghafal 'capilarity is the up and down of water in an object' padahal definisi kapilaritas bukan seperti itu. Bahkan yang mengagetkan adalah guru di sekolah menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan materi-materi berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Padahal kualitas terjemahan Google Translate biasanya secara konteks tidak selalu tepat. Akibatnya, pembelajaran bahasa Inggris juga tidak dapat, begitu juga dengan sains dan matematikanya. Apalagi ketika gurunya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar dalam bahasa Inggris?"
"Kompetensi terhadap konten atau kompetensi untuk mengajarkan bidang tersebut dalam bahasa Inggris?" tanya Sensei Okihara.
Saya mengatakan bisa keduanya. Ada yang memang pemahamanan kontennya lemah, ada yang baik tetapi kesulitan ketika harus mengajarnya dalam bahasa Inggris, ada juga yang lemah di konten maupun bahasa Inggrisnya. "Di Jepang sendiri trennya bagaimana?" tanya saya pada Sensei Okihara.
Menurut Sensei Okihara di sekolah publik Jepang pengajaran matematika dan sains masih dalam bahasa Jepang. Memang ada sekolah tertentu yang orang tuanya merasa perlu menyekolahkan anaknya di sekolah bilingual karena menganggap bahasa Inggris memang lebih modern. Tetapi di sisi lain timbul masalah mengenai identitas kebangsaan.
Saya katakan pada Sensei Okihara bahwa saya baru membaca ulang mengenai founding fathers Indonesia, Bung Karno, di buku Angle of Vision (Andi Achdian, 2012). Para founding fathers fasih berbicara bahasa Indonesia (juga bahasa daerah), bahasa Inggris, Belanda, dan mungkin juga bahasa Prancis. Namun, ketika mereka menggunakan bahasa asing, mereka hanya menggunakannya sebagai alat komunikasi, membantu belajar (membaca buku), tanpa merasa inferior atau minder sebagai bangsa Indonesia. Mereka punya percaya diri yang tinggi sebagai bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah ketika penggunaan bahasa asing ini diawali dari rasa minder bahwa kita tidak lebih baik dari bangsa lain. Untuk kondisi saat ini, kita tentunya perlu bertanya kembali, apakah motif pengajaran sains dan matematika di sekolah dalam bahasa Inggris?
Sekitar dua jam telah berlalu dan kami pun harus menutup pembicaraan. "I'm glad that we share a lot of thing in common, including our concerns about education in general and English Language teaching. It gave me a lot of insights," kata Sensei Okihara sambil menyalami saya dengan erat.
"I'm planing to come back to Indonesia next year and hope that we can meet again."
Saya sendiri pamit pulang. Senang rasanya memiliki kesempatan bertukar pikiran dengan pendidik yang berasal dari budaya yang berbeda. As I always believed in, learning happens through interaction.
Comments