Evaluasi Guru: Jalur UKG atau Sistem Pengawasan Sekolah?
Oleh Dhitta Puti Sarasvati & Itje Chodidjah

Tanggal 30 Juli 2012 guru seantero Indonesia disibukkan oleh hajatan besar Kemendikbud yaitu Uji Kompetensi Guru. Sebuah perhelatan evaluasi terhadap kompetensi para guru dalam bentuk test online. Pemerintah merasa memerlukan data untuk memetakan kompetensi guru sehingga bisa menjadi dasar dalam merancang bentuk program peningkatan kompetensi guru yang perlu dilakukan.  Hal tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini tidak ada data mengenai kompetensi guru.

Perihal tidak adanya data yang dapat digunakan untuk memetakkan kompetensi guru disampaikan oleh pernyataan Pak Nuh, Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia. Menurutnya,  “Dengan pemetaan melalui UKG  ini nantinya bisa terlihat kelemahan  [guru] selama ini. Bagaimana bisa meningkatkan kualitas kalau petanya saja tidak tahu?” (http://www.kemdiknas.go.id, 28/07/2012). Diharapkan hasil UKG nantinya akan menjadi landasan pemerintah dalam menentukan jenis dukungan yang bisa diberikan kepada guru.

Pernyataan Pak Nuh di atas sebenarnya membenarkan kenyataan bahwa selama ini fungsi evaluasi guru tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam struktur  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah terdapat perangkat untuk mengevaluasi guru yang salah satunya adalah melalui sistem pengawas sekolah. Keberadaan pengawas sekolah bahkan diatur dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh menpan mengenai fungsi dan perannya. Berarti stuktur keberadaan pengawas itu kuat, termasuk kewenangannya untuk melakukan penilaian dan pembinaan kepada guru.

Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah. (Keputusan Menpan No. 118/1996).

Dalam pernyataanya di atas Pak Nuh menyampaikan bahwa peta kualitas guru tidak ada dan oleh karenanya UKG  adalah langkah awal. Dengan adanya pengawas sekolah dalam sistem pengembangan pendidikan di Indonesia, seharusnya data mengenai kualitas guru telah dapat diperoleh melalui peran dan fungsi pengawas. Mereka berkewajiban untuk mengobservasi guru di kelas dan bahkan melaporkan data yang diperoleh dan menindaklanjuti dengan pembinaan yang diperlukan. Apabila proses ini berjalan dengan baik maka seharusnya data yang dimiliki oleh pengawas lebih komperhensif dibandingkan dengan hasil UKG. Seharusnya data pengawas mengenai guru menggambarkan potret penyelanggaraan proses belajar mengajar di lapangan. Sedangkan UKG yang lebih identik dengan testing pengetahuan, hanya akan menggambarkan tingkat pengetahuan guru yang masih perlu dipertanyakan apakah akan dapat digunakan sebagai alat untuk  peningkatan kualitas guru.

Pertanyaannya apakah fungsi pengawas benar-benar berjalan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan Menpan 021 tahun 2010 dan permendiknas no 12 tahun 2007 tentang standard pengawas sekolah? Kalau iya, maka seharusnya pemerintah punya data mengenai kompetensi guru melalui proses pengawasan. Jika ternyata disinyalir tidak ada, maka berarti yang lebih perlu direformasi adalah sistem evaluasi melalui pengawas sekolah.
Dalam hal ini tampak adanya rantai yang terputus antara kemendiknas dan unsur-unsur dalam struktur di bawahnya. Informasi mengenai kompetensi guru tidak terakomodir dengan baik melalui komponen-komponen penyelenggara pendidikan. Hasil evaluasi guru oleh pengawas dan kepala sekolah tidak tersimpan dan siap menjadi informasi mengenai kompetensi mereka. UKG tampaknya adalah jalan pintas pemetintah pusat untuk turun tangan langsung menjamah kompetensi guru.

Kendala Evaluasi Guru : Kenya versus Indonesia
Sama seperti di Indonesia, di Kenya evaluasi guru dianggap sebagai hal yang penting namun tidak mudah dalam melakukannya. Dalam sebuah hasil riset yang dilakukan disampaikan bahwa salah satu kendala penting dalam melakukan evaluasi guru adalah karena kurang ada kesepakatan, semacam cetak biruyang menggambarkan bagaimana seharusnya guru yang ideal (Gullat & Ballard, 1998, h. 14).

Di Indonesia sebenarnya sudah ada semacam cetak biru mengenai kondisi guru ideal dalam bentuk  Peraturan Menteri Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 mengenai Standar Kualifikasi Alademik dan Kompetensi Guru. Di sana dinyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi profesional, serta kompetensi kepribadian.Namun makna dari keempat kompetensi terkesan masih abstrak sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda khususnya di kalangan guru.

Sebagaimana halnya di Indonesia, Kenya juga memiliki sistem pengawas sekolah yang dibawahi oleh Kementerian Pendidikan Kenya. Mereka bertugas untuk (a) memastikan bahwa kurikulum sekolah diimpelementasikan secara efektif; (b) memastikan bahwa guru berkompeten sehingga guru bisa dipromosikan  ke level yang lebih tinggi; (c) mengevaluasi calon guru dan praktek mengajarnya; (e) melaporkan mengenai kondisi sekolah ke propinsi; (f) melakukan perubahan dalam pendidikan; dan (g) menjembatani hubungan sekolah dan dunia kerja [sehingga apa yang dipelajari di sekolah berkaitan dengan dunia nyata] (Kementerian Pendidikan Kenya, 1994; Njoka, 1995; Republik Kenya, 1999).

Di Indonesia sendiri fungsi pengawasan tidak selalu berjalan dengan baik. Kompetensi pengawas pun dipertanyakan. Di Kenya masih banyak personel pengawas yang tidak kompeten, tidak terlatih, dan tidak berpengalaman (Gullat & Ballard, 1998). Di Indonesia pun begitu. Berdasarkan nilai Uji Kompetensi Awal (UKA) rata-rata nilai pengawas sekolah adalah 32, 58. Ini lebih rendah daripada rata-rata nilai guru TK (58,87), SD (36,86), SMP (46,15), SMA (51,35) dan SMK (50,02) (Kompas.com, 25/07/2012). Selain itu berdasarkan laporan-laporan beberapa guru yang masuk melalui Ikatan Guru Indonesia (IGI), banyak pengawas yang tidak sepenuhnya memahami bagaimana merancang kurikulum, tidak memahami mengenai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills), serta bekerja secara tidak profesional. Meskipun pengawas berfungsi untuk mengobservasi dan menilai guru dalam mengajar di dalam kelas, banyak guru mengeluh bahwa mereka belum pernah diobservasi oleh pengawas satu kali pun  walaupun mereka sudah mengajar lebih dari 5 tahun.

Mengidentifikasi Masalah Evaluasi Guru
Baik di Kenya maupun di Indonesia mengevaluasi guru merupakan tantangan besar. Ada banyak masalah yang dihadapi dalam mengevalusi guru. Yang perlu diingat adalah untuk menyelesaikan sebuah masalah hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi masalah tersebut terlebih dahulu. Menurut Wanzare (2012, h.220) dalam penelitiannya “Rethinking Teacher Evaluation in the Third World : The Case of Kenya) masalah evaluasi guru di Kenya terjadi karena  (a) karakter birokrasi Kenya yang sifatnya top-down; (b) kurangnya kebijakan evaluasi yang komperhensif; (c) fungsi evaluasi guru yang tumpang tindih; (d) pola evaluasi yang tidak tepat; (e) kurangnya keahlian untuk melakukan evaluasi guru; (d) kurangnya umpan balik bagi guru yang sifatnya produktif; dan (f) kurangnya penelitian secara empiris.

Karena salah satu akar masalah dari evaluasi guru di Kenya adalah kurangnya keahlian untuk melakukan evaluasi guru, maka Wanzare (2012, h. 224) mengusulkan mengenai perlunya peningkatan kapasitas pengawas dalam melakukan evaluasi. Salah satu hal yang diprioritaskan untuk menangani masalah-masalah evaluasi guru adalah melakukan reformasi di level pengawas. Tentu saja ini disertai berbagai rekomendasi lain seperti pembuatan kebijakan mengenai evaluasi guru yang didefinisikan dengan lebih jelas, dan sebagainya. Semua usulan mengarah pada perbaikan perangkat evaluasi guru serta peningkatan kapasitas personel yang mengevaluasi guru.

Kegaiatan evaluasi guru adalah bagian dari mata rantai panjang peningkatan kualitas pendidikan oleh sebab itu penyelengaraannya sepatutnya dilakukan secara menyeluruh. Kriteria yang digunakan sebagai rujukan menilai guru juga harus jelas dan terukur. Peningkatan kulaitas pendidikan bukan semata-mata perbaikan kualitas guru tetapi juga mata rantai-mata rantai lainnya, seperti kepala sekolah, pengawas,dan para penyelenggara di tingkat birokrasi. Selain itu proses rekruitmen guru juga menentukan rancang bangun evaluasi kompetensi guru. Indonesia perlu menggali lagi apakah akar masalah dari evaluasi guru? Kenapa selama ini evaluasi guru tidak berjalan? Bagaimana peran pengawas dan juga kepala sekolah dalam mengevaluasi guru? Apakah selama ini peran tersebut dijalankan dengan baik? Bagaimana mengatasinya? Apakah uji kompetensi yang direpresentasikan melalui UKG, yang hanya akan menggambarkan tingkat pengetahuan guru dalam bidang pelajaran dan/atau pengethauan pedagogis, adalah jawabannya?

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)