Sebuah Refleksi : Guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang Pernah Saya Temui

Sebuah Refleksi : Guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang Pernah Saya Temui

Oleh Dhitta Puti Sarasvati

6 Februari 2012

Hari ini saya mengunjungi sebuah lembaga PAUD di daerah Sarijadi, Bandung. Teman saya Fidi, yang baru lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial, baru saja melakukan penelitian mengenai bebapa PAUD di darah Bandung. Sekolah tersebut merupakan salah satu tempat dia melakukan penelitian.

“Sekolah tersebut menarik, siswa-siswa bisa membayar uang sekolah dengan sampah. Sampah tersebut diolah kembali (didaur ulang) dan hasil pengolahan sampah ini digunakan untuk membayar SPP)”

“Saya kenalkan dengan Bu Yunyun yah? Dia kepala sekolah di PAUD tersebut. Dia lagi mencari pembicara untuk mengisi seminar untuk guru PAUD di sana. Saya merekomendasikan Kak Puti!” kata Fidi. Waduh! Saya kan tidak pernah mengajar PAUD secara langsung. Tetapi saya mungkin bisa berbagi mengenai kegiatan mendongeng. Itu adalah hal sederhana yang bisa dilakukan oleh guru PAUD mana pun. Sumber dongengnya bisa dari buku cerita bergambar, internet, bahkan koran dan majalah bekas sekalipun. (Kalau ada yang menyumbang buku anak untuk saya bagikan di kegiatan ini tolong kontak saya di puti[at]igi[dot]or[dot]id ya!).

Saya juga mengajak seorang teman baik saya Valen untuk turut menjadi pembicara pada kegiatan tersebut. Valen lebih tahu mengenai PAUD. Dia sudah pernah mengajar PAUD, menjadi fasilitator guru PAUD, pandai membuat alat peraga dan juga belajar mengenai PAUD di Universitas. Bu Yunyun dengan senang hati menerima tawaran saya.

“Saya senang sekali kalau Bu Valen bisa ikut berbagi di sini,” sambut Bu Yunyun dengan mata berbinar-binar.

Valen adalah lulusan D3 sekretaris di Santa Maria Marsudirini, Jogjakarta . Setelah lulus, dia mengajar sebagai guru komputer (SD - SMP) di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Kemudian, Valen mengambil S1 kembali di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), jurusan PAUD. Sambil belajar di universitas, Valen mengajar PAUD dan aktif mengajar anak-anak jalanan di daerah Rawamangun. Setiap minggu dia dan beberapa teman-temannya juga pergi ke daerah Jakarta Utara untuk sharing mengenai PAUD untuk guru-guru PAUD di daerah sana. Guru-guru PAUD di daerah Jakarta Utara banyak yang masih sekolah, kebanyakan siswa SMU. Kalau mereka masuk siang, mereka mengajar pagi. Kalau mereka masuk pagi, mereka mengajar di sore hari.

Secara rutin Valen mengajari mereka berbagai keterampilan seperti membuat kerajinan tangan, alat peraga, dan hiasan kelas. Sekali saya pernah diajak untuk mengikuti ‘workshop’ yang diselenggarakan Valen. Dia mengajarkan guru PAUD dan saya (yang ikut-ikutan menjadi peserta workshop) meremas-remas kertas koran dan menyulapnya menjadi makanan seperti donat-donatan. Kami menghias ‘donat’ tersebut dengan sisa-sisa kertas dan kain flanel warna-warni. Valen juga mengajarkan guru-guru PAUD tersebut membuat boneka dari karton. Boneka-boneka tersebut dihias menggunakan kertas berpola sehingga tampak seperti menggunakan pakaian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Guru-guru PAUD yang masih sangat muda tersebut bersemangat datang untuk belajar. Padahal tidak ada sertifikat yang mereka dapatkan. Mereka mendapatkan ilmu-ilmu yang bisa diterapkan di kelas. Itu saja memuaskan hati mereka.

Beberapa tahun yang lalu (sekitar 2007) saya pernah punya pengalaman lain dengan guru-guru PAUD di daerah Jakarta Utara. Annye, (saat itu) aktivis di Urban Poor Consorsium (UPC) mengajak saya untuk live in, menginap di rumah penduduk di perkampungan di Jakarta Utara. Saya tinggal di rumah penduduk, seorang ibu yang juga guru PAUD. Suaminya adalah pelaut sehingga hanya sesekali pulang. Dia sendiri mengurus kedua anaknya sambil menjadi guru PAUD di sekitar sana.

Ibu tersebut mengajak saya masuk ke kampung-kampung sekitar. Di dalam gang-gang sempit yang kadang pengap, nyaris tak bercaya, saya diajak masuk ke rumah-rumah penduduk. Ternyata ada kegiatan persekolahan di sana. Bukan hanya satu. Di masing-masing kampung ada sebuah PAUD tersendiri. Saya menyaksikan ibu-ibu rumah tangga memegang jeruk memotong jeruk menjadi dua dan mengajak anak-anak menggambarnya.

Di salah satu tempat yang saya kunjungi, baru saja ada penyemprotan anti nyamuk demam berdarah. Dari sebuah PAUD (yang merupakan rumah penduduk), anak-anak berhamburan keluar ketakutan melihat asap yang mengepul dan membuat suasama menjadi gelap. Di dalam kecoak berterbangan ke mana-mana. Hal ini biasa terjadi setiap selesai penyemprotan nyamuk. Bukan hanya nyamuk yang takut dengan asap, kecoak juga. Begitu pula anak-anak yang berlari ketakutan sambil menjerit-jerit.

Baik ibu-ibu rumah tangga maupun siswa-siswa SMU yang saya ceritakan di atas bukan lulusan S1. Mereka secara rutin mengajar anak-anak yang tinggal di sekitar mereka. Mereka mencoba melakukan yang terbaik yang mereka bisa. Apa yang mereka tahu, mereka terapkan. Apa yang mereka bisa ajarkan, mereka ajarkan. Mereka adalah orang-orang yang potensial, punya semangat belajar, dan mau berkorban untuk sesama. Mereka bukan lulusan S1, tetapi kalau mereka diberi kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan kapasitas diri, mereka akan melejit menjadi guru-guru yang lebih baik lagi.

Di tahun 2008 saya mengadakan penelitan ke daerah Carangpulang, Bogor. Beberapa informan saya adalah guru PAUD di sekitar daerah sana. Mereka bahkan tidak lulus SMU, tapi lulus SD. Tetapi itu bukan berarti mereka tidak punya hati untuk belajar. Guru-guru yang saya wawancarai mau mencari informasi dengan membaca, mengikuti pelatihan, belajar dari guru lain, bertanya-tanya. Selain melakukan wawancara, saya juga pernah ikut mengobservasi PAUD tempat mereka mengajar. Anak-anak begitu senang, bernyanyi, mewarnai, bermain ke sawah, melihat sungai, dan lain-lain. Kepala sekolah PAUD tersebut, Ibu Lisda Fauziah Harahap memang suportif yang senantiasa mendorong para guru untuk belajar dan belajar lagi. Kesempatan belajar ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para guru untuk meningkatkan kualitas individu mereka. Kalau ada kesempatan, meskipun tanpa gelar S1, mereka senang kok untuk belajar.

Desas-desus bahwa semua guru PAUD harus lulusan S1 cukup menggemparkan mereka? Mereka bergerak secara mandiri, atas inisiatif sendiri, secara non-formal. Kenapa tiba-tiba jadi diformalkan?

Guru-guru PAUD senang-senang saja kalau ada kesempatan untuk kuliah lagi, tapi di mana? Berapa biayanya? Siapa yang membiayai? Kalapun ada beasiswa, apakah semua guru PAUD bisa ikut serta? Bagaimana dengan guru yang masih SMU atau hanya lulusan SD? Apakah mereka masih bisa mengajar? Pertanyaan itu berkecamuk diantara guru-guru PAUD yang saya temui belakangan ini. Tampaknya sebelum memastikan kebijakan bahwa guru-guru PAUD harus S1, pemerintah harus secara seksama mempelajari konteks-konteks di mana guru-guru PAUD bekerja. Mungkin ada cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas guru-guru PAUD tanpa perlu meng-S1-kan mereka. Sampai sekarang saja, akses mereka untuk meningkatkan kapasitas diri masih sangat terbatas. Di banyak PAUD yang saya kunjungi, akses terhadap buku anak yang berkualitas saja masih sangat minim, begitu juga bahan-bahan terkait peningkatan kapasitas guru (PAUD), begitu juga dengan pelatihannya.

Di Sekolah Rumah Mentari, Carangpulang, Bandung ada kegiatan belajar bersama untuk guru PAUD. Setiap Rabu saya memfasilitasi guru-guru PAUD di sana. Kegiatannya sederhana, belajar bahasa Inggris, belajar lagu anak, belajar membacakan cerita, bahkan kadang belajar membuat keterampilan dan hiasan kertas. Pernah juga diadakan pemutaran film “Front of Class” mengenai guru yang memiliki kebutuhan khusus yang mengajar sepenuh harinya. Jumlah peserta bervariasi, pernah hanya 2 orang, pernah juga sampai 20 orang. Kalau mereka tidak bisa datang, tak jarang mereka meng-sms saya, “Maaf yah, tadi lagi ada kegiatan di sekolah.” Guru-guru di sana tidak mendapatkan sertifikat apapun tetapi mereka tetap bersemangat belajar.

Di Sekolah Rumah Mentari ada sebuah papan tulis. Papan tulis tersebut sering digunakan untuk belajar oleh penduduk setempat. Kalau hari Minggu, ada sekitar 60 anak-anak yang datang untuk belajar bersama di sana. Pada suatu Rabu, saya temukan seorang guru PAUD sibuk mencatat padahal kegiatan telah usai (waktu itu kegiatannya adalah menonton film).

“Mencatat apa Bu?” tanya saya penasaran.

“Oh itu ada catatan di papan tulis. Sepertinya bisa untuk mengajar.”

Di papan tulis ada sebuah lirik lagu. Tampaknya digunakan anak-anak untuk belajar di hari Minggu sebelumnya. Belum dihapus. Hati saya tersentuh. Sisa catatan semacam itu pun dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk belajar. Betapa semangatnya guru-guru PAUD ini dalam mencari ilmu.

Sebenarnya justru saya yang banyak belajar dari guru-guru PAUD yang saya temuio Mereka punya cerita-cerita yang unik. Beberapa harus mengajar di atas bukit. Kalau hujan dan becek, mereka harus tetap mendaki bukit untuk belajar. Ada banyak permasalahan yang harus mereka hadapi.

“Yang penting kita terus datang untuk mengajar. Mau hujan ataupun tidak harus tetap datang. Sekalinya guru sering absen siswa jadi malas belajar,” kata seorang guru kepada saya.

Mereka sering bercerita mengenai kondisi di daerahnya, mencari solusi. Saya sendiri pun tidak selalu tahu jawabannya.

“Kita sering dianggap remeh juga oleh beberapa guru lain (misalnya guru TK). Untuk apa sih ada PAUD? Kan sudah ada TK? Kita kan sudah belajar di PGTK? Karena itu kita pengen belajar, bagaimana sih caranya bisa mengajar dengan lebih baik?”

“Di sini anak-anak kalau sudah bisa berkebun, yah putus sekolah. Mereka memilih untuk menikah dan berkebun saja. Jangankan PAUD. SD atau SMP pun, yang wajib belajar, mereka putus sekolah. ”

“Kadang bingung juga menjelaskan pada orang tua. Orang tua berkata ‘kalau hanya untuk bermain-main – mewarnai, menyanyi, menggambar, tidak usah sekolah! Main-main bisa dikerjakan di rumah. Sekolah itu untuk belajar baca tulis. Kalau tidak belajar baca tulis, lebih baik tidak usah sekolah. Berkebun saja!”

Perasaan saya campur aduk mendengarkan cerita-cerita guru PAUD ini. Di satu sisi, saya senang penduduk di sekitar PAUD tersebut masih mempertahankan budaya berkebun. Anak kota seperti saya bahkan tidak terbiasa menanam dan merawat tanaman baik berupa bumbu dapur, sayur, buah, apalagi seperti padi dan jagung. Semua makanan sudah tersedia di pasar (atau swalayan). Saya senang penduduk masih menghargai kegiatan bertanam seperti ini. Beberapa murid saya, orang tuanya petani (penggarap) tetapi sudah mulai meninggalkan tradisi bertanam. Yang penting sekolah dan belajar. Mereka ikut aliran mainstream.

Di sisi yang lain, saya juga sedih karena pendidikan yang ada tidak bisa mengakomodasi kebutuhan penduduk sekitar. Untuk apa belajar mewarnai? Untuk apa belajar menggambar? Untuk apa belajar menyanyi? Kenapa harus sekolah kalau tidak untuk belajar baca tulis? Untuk apa sekolah toh anak-anak sudah bisa berkebun? Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukan hanya guru-guru PAUD, saya pun kebingungan untuk menjawabnya.

Bu Yunyun, Kepala Sekolah PAUD di Sarijadi, yang saya kunjungi hari ini, punya cerita yang berbeda. “Guru-guru PAUD di sini, seringkali mengajar hanya untuk mempersiapkan anak untuk masuk SD (calistung). Menurut saya pendidikan di PAUD lebih daripada itu. Kita sedang menyiapkan anak-anak untuk masa depan. Acara seminar dan workshop arahnya ke sana. Kegiatan di PAUD bukan sekadar untuk menyiapkan anak masuk SD.”

Dia bersemangat menceritakan rencananya menyelenggarakan seminar dan workshop untuk guru-guru di sekolahnya. “Kalau seminar dan workshop hanya untuk guru sekolah ini yang jumlahnya hanya 8 orang, sayang juga, jadi saya mengajak guru-guru lain di kecamatan ini. Kemarin kami diajak untuk mengikuti pelatihan PAUD yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan (setempat), biayanya mahal Rp 800.000,- jadi kita mencoba membuat pelatihan sendiri saja.”

Rencananya seminar tersebut akan dihadiri sekitar 100 orang guru. Saya sendiri berencana membawa beberapa teman-teman saya Bu Melly Kiong, Bu Itje Chodidjah, Pengurus IGI Jawa Barat, teman-teman di jaringan #twitedu Jawa Barat, dan teman-teman lainnya untuk hadir di kegiatan tersebut. Mudah-mudahan semua bisa saling berjejaring untuk saling mendukung satu sama lain. Sampai ketemu di Sarijadi pada 25 Februari 2012 mendatang teman-teman!

Comments

deuiwulandari said…
mba puti,,kalau acara yg tanggal 25nya di sarijadi tuh boleh diikuti sama bukan yg kalangan guru??
Boleh kayaknya Deui. :)

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)