[REPOSTING] Pendidikan Lingkungan Kehidupan, Apakah Diperlukan?
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia beberapa tahun yang lalu (saya lupa detailnya), mungkin masih relevan untuk kondisi sekarang.
Pendidikan Lingkungan Kehidupan, Apakah Diperlukan?
Oleh Dhitta Puti Sarasvati
Di sekolah-sekolah di Jakarta, ada pelajaran Pengenalan Kehidupan Lingkungan Jakarta, disingkatPLKJ. PLKJ merupakan mengenai pengenalan lingkungan Jakarta. Pada dasarnya bertujuan mulia. Bukankah sangat baik untuk mengenali lingkungan di sekitar? Termasuk, mengenai Jakarta bila memang tinggal di Jakarta., Di Singapura juga ada pelajaran pengenalan lingkungan di sekolah. Siswa diajak pergi ke tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api, taman, jalan, untuk melakukan pengamatan mengenai lingkungan. Kemudian siswa diminta membuat laporan dalam bentuk tertulis atau foto yang kemudian didiskusikan di kelas. Baik siswa maupun guru bebas berpendapat mengenai hasil pengamatannya. Melalui panca indera, siswa diajak untuk memahami yang ada dan terjadi di sekitarnya, sekaligus diasah kecerdasannya dengan melakukan analisa-analisa sederhana mengenai pengamatanya melalui tulisan maupun diskusi.
Contoh di atas hanyalah salah satu cara pengenalan lingkungan. Untuk mengajak siswa mengenali lingkungan, pelajaran PLKJ mempunyai ‘metode berbeda’. Berdasarkan pengamatan terhadap siswa kelas 4 SD, penulis menemukan salah satu cara pembelajaran PLKJ di sekolah. Siswa diminta untuk membaca suatu artikel di bab pertama buku teksnya[1], kemudian menjawab 10 pertanyaan yang berhubungan dengan wacana tersebut. Kebetulan, bab pertama adalah mengenai pusat perbelanjaan, sebuah tema yang dipilih mungkin karena pusat perbelanjaan akrab dengan lingkungan Jakarta. Aneka pusat perbelanjaan bertebaran di seluruh Jakarta., Artikel pada Bab I di buku PLKJ tersebut berjudul “ Mengapa Banyak Orang Suka Makan di Restoran yang ada di Mall?” dan isinya sebagai berikut: :
“Jika kamu mengunjungi mal, tentu kamu pernah melihat restoran di antara toko-toko yang ada. Kamu bahkan mungkin pernah melihat adanya lantai khusus atau lantai khusus restoran, di sana berbagai jenis makanan sudah tersedia. Kamu tinggal memilih makanan yang kamu sukai?”, Melalui tulisan ini, siswa diajak untuk menjadi konsumtif, terutama melalui pernyataan “kamu tinggal memilih makanan yang kamu sukai.”
Siswa hanya diajak melihat persoalan menurut sudut pandang konsumen tanpa memperhitungkan sudut pandang lainnya seperti sudut pandang penjual, pengujung, ataupun tukang bersih-bersih. Tidak semua siswa Jakarta mampu memilih makanan apapun yang ia sukai ketika ia berada di sebuah restoran. Ada siswa yang berasal dari keluarga berada dan sebaliknya. Penulis buku menggambarkan Jakarta sebagai kota untuk ‘golongan tertentu’ saja tanpa memperhitungkan perbedaan kondisi sosial-budaya di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa penulis buku pun tidak mengenali lingkungan Jakarta sehingga menyebabkan munculnya wacana pembodohan yang tidak membuat siswa paham akan lingkungan sekitarnya.
Paragraf selanjutnya adalah: :
“Semula, restoran yang ada di mall disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengunjungnya. Setelah berbelanja, banyak pengunjung yang merasa lapar dan haus. Jika sudah lelah tentu mereka enggan mencari restoran yang jauh. Mereka ingin makan dan minum, dan melepaskan lelah di mal tersebut.”.
Di sini ditunjukkan alasan-alasan mengapa orang lebih suka makan dan minum di restoran yang ada di mall. Sudut pandang yang digunakan, sekali lagi, adalah sudut pandang pebelanja (konsumen). Siswa tidak diajak untuk belajar sederhana, misalnya dengan membawa makanan/minuman dari rumah ketika berpergian.
Paragraf lainnya yang terletak di tengah artikel, adalah sebagai berikut: a;
“Dibangunnya pusat perbelanjaan yang non tradisional (modern) merupakan kebutuhan warga kota. Warga kota menghendaki keamanan dan kenyamanan berbelanja. Di kota-kota seperti Jakarta banyak dibangun pasar swalayan (supermarket). Pasar swalayan memenuhi kebutuhan masyarakat. Berbelanja di pasar swalayan akan merasa aman dan nyaman. Tempatnya bersih sejuk, serta pelayanannya memuaskan. Di sana tidak terjadi permainan harga sehingga pembeli tidak merasa dirugikan”.
Paragraf di atas menggambarkan kelebihan-kelebihan pusat perbelanjaan modern, tetapi tidak bebas nilai. Pusat perbelanjaan modern digambarkan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan masyarakat yang digeneralisir. Seakan-akan pusat perbelanjaan modern adalah kebutuhan masyarakat Jakarta pada umumnya dan bukan golongan tertentu saja. Kenyamanan yang disebutkan bagaikan bentuk ‘promosi terselubung’ agar siswa semakin mengenal pusat perbelanjaan modern dan tertarik untuk berbelanja di sana., Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam PR siswa adalah:
“Mengapa berbelanja di pasar swalayan lebih nyaman ?“,
Di sini, siswa diharapkan menjawab pertanyaan sesuai ‘bentuk kenyamanan’ yang telah digambarkan dalam buku teks. Sebuah doktrinasi! Padahal, tidak setiap orang setuju bahwa pasar swalayan selalu nyaman., Paragraf kedua dari akhir artikel, isinya adalah:
Tempat perbelanjaan modern di Jakarta, misalnya Mall Kelapa Gading di Jakarta Utara, Plaza Senayan di Jakarta Pusat, Pasaraya Manggarai di Jakarta Selatan, dan Supermarket Hero.
Nama-nama pusat perbelanjaan bukan pengetahuan umum yang harus diketahui siswa SD. Anehnya, penulis menemukan bahwa salah satu pertanyaan di PR siswa adalah :
“Sebutkan pasar swalayan di sekitar tempat tinggalmu!“
Sebuah pertanyaan yang tidak mencerdaskan dan tidak perlu ! Dari bentuk-bentuk pertanyaan yang di PR-kan, terlihat bahwa pemberian PR kepada siswa tidak memiliki tujuan apapun selain ‘menyibukkan siswa’. Siswa dipaksa belajar hal-hal yang tidak perlu dipelajari di sekolah seperti mengenai nama-nama pasar swalayan.
Pelajaran PLKJ, sebenarnya bisa menjadi cara untuk mengajak siswa peka terhadap lingkungannya baik fisik maupun sosial. Sangat disayangkan, contoh pembelajaran di atas sama sekali tidak menggambarkan adanya tujuan-tujuan ‘mengajak siswa untuk lebih peka’. Pihak sekolah tidak berhati-hati dalam merekomendasikan buku untuk siswa. Hal-hal tanpa tujuan mendidik pun diajarkan. Seharusnya, diperlukan sikap bijaksana, kecerdasan dan kreativitas pihak pendidik.
Pendidik yang cerdas tidak akan membodohi siswa dengan memaksa mereka belajar apa yang tidak perlu dipelajari. Pendidik berwawasan luas dan kreatif akan menggunakan beribu cara lain untuk agar siswa bisa belajar mengenai lingkungannya, misalnya dengan menggunakan wacana dari media massa, megajak anak-anak mewawancara orang-orang disekitar lingkungannya, mengundang pihak-pihak lain untuk berbagi kisah di sekolah mengenai kehidupannya, dan banyak lagi! Tanpa adanya tujuan mungkin lebih baik pelajaran ini dihilangkan saja ! Bukankah lebih baik daripada membodohi siswa?
Sumber :
PLKJPendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta, Disusun oleh : Tim PLKJ SD, Penulis : Drs. Budiana, Drs. Suyanto, Drs. Enco Sartono, Drs. H Wasmat Sanusi, Edisi Ketiga, Cetakan Kedua : Muharam 1426 – Febuari 2005, Percetakan : Ghalia Indonesia
Comments