Sharing film tentang bullying
Sheito Shokun (bisa dilihat di: http://www.mysoju.com/seito-shokun/) merupakan sebuah drama Jepang mengenai bullying. Walau film ini merupakan sebuah drama, what can be called as 'not so real', sebenarnya banyak hal dalam film ini yang merupakan isu-isu yang penting dalam pendidikan.
Film ini awalnya sangat buram, menggambarkan siswa-siswa yang tidak percaya pada guru. Warna film ini begitu gelap, bercerita tentang remaja-remaja yang marah, kejam, dingin, dan juga nakal.
Naoko, seorang guru lulusan universitas kependidikan, baru pertama kali mengajar di sana. Yang menarik adalah bagaimana Naoko dengan penuh kesadaran begitu mencintai profesi keguruan. Ia dianggap berasal dari sebuah universitas yang biasa saja saat ingin mendaftar. Saat ditawari untuk mengikuti kuliah lagi 'demi memungkinkan kenaikan pangkat' (bukan untuk belajar loh), agar kelak ia bisa jadi pejabat di sebuah kementrian pendidikan ia mengatakan, "Saya mau menjadi guru dan memang tidak berharap untuk naik pangkat (di kementrian pendidikan). Ia memang ingin menjadi guru."
Anak-anak dalam cerita ini melakukan bullying, kekerasan, dan begitu banyak hal lainnya. Tapi saat seorang siswa melakukan kekerasan, ia biasanya pernah mengalami kekerasan sebelumnya, atau mungkin ia marah akan hal-hal lain. Ternyata anak-anak yang begitu marah ini pernah dikecewakan sebelumnya oleh orang dewasa, guru mereka sendiri. Saat kelas mereka pergi bertamasya, sang guru pernah meninggalkan mereka sendiri di tengah hutan, dan mengambil makanan dan minuman mereka. Murid-murid tersebut kelaparan selama 2 hari. Sayangnya waktu, mereka menceritakan pengalaman mereka kepada orang tua dan guru mereka, anak-anak ini tidak didengarkan. Yang lebih dipercaya adalah cerita 'versi sang guru', bahwa anak-anak tersebut 'tidak mendengarkan perintah guru' sehingga mereka tersesat. Bagi pihak sekolah yang penting adalah 'image sekolah tidak rusak'. Apa jadinya saat ada berita bahwa sekolah memiliki guru yang tidak bertangung jawab dan membiarkan murid-murid mereka mati kelaparan dan kedinginan di tengah hutan? Belum lagi guru (yang tidak bertangung jawab) ini ternyata adalah putra menteri pendidikan, sehingga image menjadi hal yang jauh lebih penting lagi.
Siswa-siswa begitu kecewa pada orang yang mereka percaya, mereka jujur tapi tidak ada yang percaya. Terutama orang dewasa. Ah bagaimana mereka bisa percaya pada orang dewasa? Kemarahan mereka yang tak didengar mengakibatkan mereka mulai melakukan kekerasan.
Naoko, sang guru yang cantik, mencoba mengenal murid-muridnya. Walau murid-muridnya penuh kemarahan, ia mencoba mendekati murid-muridnya secara personal, mengenali masalah-masalah mereka satu persatu.
Saya sangat suka bagian saat sang guru membela seorang anak yang hampir dikeluarkan dari sekolah. Anak tersebut disarankan untuk sekolah di "free school" yang peraturannya tidak seketat di sekolah formal.
Sang guru mengerti bahwa model pendidikan apapun sah-sah saja, "saya tidak masalah dengan konsep free school, tapi dalam konteks ini saya ingin tetap mempertahankan sang murid di sekolah ini."
Yang Naoko tidak setuju, bukan konsep "free school-nya". Free school hanya sebuah bentuk lain pendidikan, dan boleh-boleh saja. Yang sang guru tidak suka adalah "sifat lipstik" pihak sekolah, bahwa pihak sekolah ingin berpura-pura memindahkan sang murid ke free school tersebut dengan alasan itu adalah jalan terbaik, padahal alasan sebenarnya adalah pihak sekolah ingin menjaga image sekolah yang hampir rusak karena anak tersebut begitu sering bolos (dan hampir diungkap media). "Kepura-puraan dalam pendidikan" adalah salah satu isu yang diangkat dalam film ini yang menurut saya sangat penting, mengingatkan saya akan begitu banyak hal yang sifatnya 'pura-pura'' di sistem pendidikan Indonesia sendiri (ah saya tidak akan membahas detailnya kali ini, cuma kalau ada yang mau berkomentar silakan).
Kembali ke film Shito Shokun, salah satu hal yang menarik dalam film ini adalah bahwa film ini menggambarkan bahwa yang merasa paling tersakiti paling akan menyakiti orang lain. Sang pemimpin kelompok bullying di sekolah ini adalah seorang perempuan. Diantara semua teman-temannya ia yang paling penuh kemarahan. Bahkan ketika semua teman-temannya sudah mulai 'memilih untu tridak melakukan kekerasan lagi', termasuk mengerjai sang guru, perempuan ini masih penuh kemarahan dengan orang dewasa. Ternyata, sang perempuan ini sejak lama sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ia juga memiliki keluarga yang tidak bahagia. Ibunya terkena penyakit, sehingga tidak ingat bahwa sang perempuan ini merupakan anaknya. Tantenya yang membiayai pendidikan si perempuan dan biaya berobat ibu si perempuan, memiliki seorang anak laki-laki yang lebih tua usianya, sepupu sang perempuan. Ternyata sepupu ini melakukan kekerasan seksual pada perempuan ini. Perempuan ini tak punya tempat mengadu, tidak bisa kabur, dan iya begitu marah.
Naoko, tak menyerah, bahkan dengan muridnya yang tersulit sekalipun. Setelah mengenal murid perempuannya ini, ia berusaha agar murid perempuan ini terselamatkan. Ia berusaha berbicara dengan tante sang murid, dan bahkan sempat 'menampar sang tante' saat ia begitu marah, karena tante ini tidak mau membela sang perempuan (yang menjadi korban kekerasan). Naoko, rela menangung resiko dari perbuatannya. Ia diberhentikan sebagai guru. Yang menarik adalah saat dia berkata pada murid-muridnya, bahwa dia dikeluarkan memang karena kesalahannya sendiri. Ia melakukan kekerasan (menampar), dan bagaimanapun kekerasan adalah hal yang salah.
Film ini menarik, karena mengangkat isu-isu mengenai pentingnya 'berorientasi pada nilai' seperti kejujuran, rasa saling percaya, keadilan, persahabatan, bertangung jawab atas perbuatan yang dipilih (berani mengambil resiko). Film ini juga penting untuk para pengajar untuk belajar bahwa setiap hal pasti disebabkan oleh hal lain. Kalau ada murid kita yang nakal, kenali dulu latar belakangnya, mungkin ada alasan dibalik kenakalannya. Kalau ada murid kita yang melakukan kekerasan, cari tahu dulu dari mana asal usulnya. Walaupun film ini film drama, film ini pantas ditonton oleh siapa saja, terutama oleh para guru, praktisi, dan pengamat dalam pendidikan. Selamat menikmati!
Film ini awalnya sangat buram, menggambarkan siswa-siswa yang tidak percaya pada guru. Warna film ini begitu gelap, bercerita tentang remaja-remaja yang marah, kejam, dingin, dan juga nakal.
Naoko, seorang guru lulusan universitas kependidikan, baru pertama kali mengajar di sana. Yang menarik adalah bagaimana Naoko dengan penuh kesadaran begitu mencintai profesi keguruan. Ia dianggap berasal dari sebuah universitas yang biasa saja saat ingin mendaftar. Saat ditawari untuk mengikuti kuliah lagi 'demi memungkinkan kenaikan pangkat' (bukan untuk belajar loh), agar kelak ia bisa jadi pejabat di sebuah kementrian pendidikan ia mengatakan, "Saya mau menjadi guru dan memang tidak berharap untuk naik pangkat (di kementrian pendidikan). Ia memang ingin menjadi guru."
Anak-anak dalam cerita ini melakukan bullying, kekerasan, dan begitu banyak hal lainnya. Tapi saat seorang siswa melakukan kekerasan, ia biasanya pernah mengalami kekerasan sebelumnya, atau mungkin ia marah akan hal-hal lain. Ternyata anak-anak yang begitu marah ini pernah dikecewakan sebelumnya oleh orang dewasa, guru mereka sendiri. Saat kelas mereka pergi bertamasya, sang guru pernah meninggalkan mereka sendiri di tengah hutan, dan mengambil makanan dan minuman mereka. Murid-murid tersebut kelaparan selama 2 hari. Sayangnya waktu, mereka menceritakan pengalaman mereka kepada orang tua dan guru mereka, anak-anak ini tidak didengarkan. Yang lebih dipercaya adalah cerita 'versi sang guru', bahwa anak-anak tersebut 'tidak mendengarkan perintah guru' sehingga mereka tersesat. Bagi pihak sekolah yang penting adalah 'image sekolah tidak rusak'. Apa jadinya saat ada berita bahwa sekolah memiliki guru yang tidak bertangung jawab dan membiarkan murid-murid mereka mati kelaparan dan kedinginan di tengah hutan? Belum lagi guru (yang tidak bertangung jawab) ini ternyata adalah putra menteri pendidikan, sehingga image menjadi hal yang jauh lebih penting lagi.
Siswa-siswa begitu kecewa pada orang yang mereka percaya, mereka jujur tapi tidak ada yang percaya. Terutama orang dewasa. Ah bagaimana mereka bisa percaya pada orang dewasa? Kemarahan mereka yang tak didengar mengakibatkan mereka mulai melakukan kekerasan.
Naoko, sang guru yang cantik, mencoba mengenal murid-muridnya. Walau murid-muridnya penuh kemarahan, ia mencoba mendekati murid-muridnya secara personal, mengenali masalah-masalah mereka satu persatu.
Saya sangat suka bagian saat sang guru membela seorang anak yang hampir dikeluarkan dari sekolah. Anak tersebut disarankan untuk sekolah di "free school" yang peraturannya tidak seketat di sekolah formal.
Sang guru mengerti bahwa model pendidikan apapun sah-sah saja, "saya tidak masalah dengan konsep free school, tapi dalam konteks ini saya ingin tetap mempertahankan sang murid di sekolah ini."
Yang Naoko tidak setuju, bukan konsep "free school-nya". Free school hanya sebuah bentuk lain pendidikan, dan boleh-boleh saja. Yang sang guru tidak suka adalah "sifat lipstik" pihak sekolah, bahwa pihak sekolah ingin berpura-pura memindahkan sang murid ke free school tersebut dengan alasan itu adalah jalan terbaik, padahal alasan sebenarnya adalah pihak sekolah ingin menjaga image sekolah yang hampir rusak karena anak tersebut begitu sering bolos (dan hampir diungkap media). "Kepura-puraan dalam pendidikan" adalah salah satu isu yang diangkat dalam film ini yang menurut saya sangat penting, mengingatkan saya akan begitu banyak hal yang sifatnya 'pura-pura'' di sistem pendidikan Indonesia sendiri (ah saya tidak akan membahas detailnya kali ini, cuma kalau ada yang mau berkomentar silakan).
Kembali ke film Shito Shokun, salah satu hal yang menarik dalam film ini adalah bahwa film ini menggambarkan bahwa yang merasa paling tersakiti paling akan menyakiti orang lain. Sang pemimpin kelompok bullying di sekolah ini adalah seorang perempuan. Diantara semua teman-temannya ia yang paling penuh kemarahan. Bahkan ketika semua teman-temannya sudah mulai 'memilih untu tridak melakukan kekerasan lagi', termasuk mengerjai sang guru, perempuan ini masih penuh kemarahan dengan orang dewasa. Ternyata, sang perempuan ini sejak lama sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ia juga memiliki keluarga yang tidak bahagia. Ibunya terkena penyakit, sehingga tidak ingat bahwa sang perempuan ini merupakan anaknya. Tantenya yang membiayai pendidikan si perempuan dan biaya berobat ibu si perempuan, memiliki seorang anak laki-laki yang lebih tua usianya, sepupu sang perempuan. Ternyata sepupu ini melakukan kekerasan seksual pada perempuan ini. Perempuan ini tak punya tempat mengadu, tidak bisa kabur, dan iya begitu marah.
Naoko, tak menyerah, bahkan dengan muridnya yang tersulit sekalipun. Setelah mengenal murid perempuannya ini, ia berusaha agar murid perempuan ini terselamatkan. Ia berusaha berbicara dengan tante sang murid, dan bahkan sempat 'menampar sang tante' saat ia begitu marah, karena tante ini tidak mau membela sang perempuan (yang menjadi korban kekerasan). Naoko, rela menangung resiko dari perbuatannya. Ia diberhentikan sebagai guru. Yang menarik adalah saat dia berkata pada murid-muridnya, bahwa dia dikeluarkan memang karena kesalahannya sendiri. Ia melakukan kekerasan (menampar), dan bagaimanapun kekerasan adalah hal yang salah.
Film ini menarik, karena mengangkat isu-isu mengenai pentingnya 'berorientasi pada nilai' seperti kejujuran, rasa saling percaya, keadilan, persahabatan, bertangung jawab atas perbuatan yang dipilih (berani mengambil resiko). Film ini juga penting untuk para pengajar untuk belajar bahwa setiap hal pasti disebabkan oleh hal lain. Kalau ada murid kita yang nakal, kenali dulu latar belakangnya, mungkin ada alasan dibalik kenakalannya. Kalau ada murid kita yang melakukan kekerasan, cari tahu dulu dari mana asal usulnya. Walaupun film ini film drama, film ini pantas ditonton oleh siapa saja, terutama oleh para guru, praktisi, dan pengamat dalam pendidikan. Selamat menikmati!
Comments