Menumbuhkan Jiwa Keguruan: Berat tapi Indah
Dua tahun lalu, tepatnya pada Agustus 2018 Pak Bagiono mengajak saya mengisi sebuah lokakarya di SMKN 11 Jakarta. Lokasi sekolah tersebut, tidak jauh dari glodok. Zaman dulunya, SMK tersebut merupakan SMEA. Saat itu, ada tiga jurusan di sekolah tersebut: Akutansi, Administrasi Perkantoran, dan Penjualan.
"Apa tujuan lokakarya tersebut?" tanya saya pada Pak Bagiono saat masih diskusi untuk persiapan. Pak Bagiono menjelaskan bahwa harapannya peserta bisa menyadari hakikat mereka sebagai guru. Waduh, tujuan yang sangat berat. Bikin "sakit perut".
Saya sangat hormat kepada Pak Bagiono. Beliau merupakan salah satu pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI). Saat saya baru pulang dari UK dari studi S2, Pak Bagiono menawari saya untuk mengajar di sebuah Akademi Farmasi di daerah Fatmawati sebagai dosen bahasa Inggris. Hanya 6 bulan tapi saya sangat bersyukur diberikan kesempatan tersebut. Pak Bagiono juga mengenalkan saya pada Pak Daoed Joesoef, untuk belajar banyak hal mengenai pendidikan. Beberapa kali saya diberikan nasihat dan masukan berharga dari Pak Bagiono.
Kalau bukan Pak Bagiono yang meminta, saya tidak akan berani membawa lokakarya dengan tujuan seberat itu. Saya ragu, dan sempat menyampaikan keraguan saya pada Pak Bagiono. Pak Bagiono pun menyemangati saya. Dia mengatakan, dia percaya pada saya. Menumbuhkan jiwa keguruan butuh waktu. Tidak akan bisa instan. Lokakarya tersebut hanya sebentar, tentu tidak akan langsung berdampak. Tapi, setidaknya merupakan langkah untuk mulai menumbuhkan rasa keguruan itu.
Saya segera mengajak seorang teman untuk mendampingi saya menjadi fasilitator di kegiatan itu. Namanya Pak Dasrizal. Guru matematika yang muda, bersemangat, dan juga punya jiwa seni yang tinggi. Hobinya, selain mengajar adalah menyanyi khususnya dalam pentas musikal. Setahun setelah lokakarya tersebut, Pak Dasrizal bersama beberapa musisi Indonesia lainnya untuk pentas di Broadway, New York ( Kompas Cetak, 13 Maret 2019).
Lokakarya yang digagas oleh Pak Bagiono ini tujuannya bukan hal-hal yang sifatnya teknis, misalnya metode mengajar, atau teknik mengajar tapi sesuatu yang menyangkut rasa. Rasa bangga menjadi guru. Rasa ingin menjadi versi terbaik dari diri sendiri agar bisa juga memberikan yang terbaik kepada siswa. Itu rasa yang sangat indah. Rasa ini tidak akan bisa ditumbuhkan dengan pelatihan yang sifatnya teknis belaka. Peserta harus bisa merasakan sesuatu yang indah. Saat itu saya yakin, Pak Dasrizal bisa menciptakan suasana yang indah, yang akan menyentuh hati para peserta.
Pak Dasrizal dan saya bertemu untuk merancang lokakarya bersama. Ada tiga tujuan yang ingin kami capai (atau setidaknya menuju ke arah sana). Peserta diharapkan:
- Merefleksikan kembali alasan menjadi guru dan mengapa bertahan menjadi guru.
- Mengembangkan ketertarikan untuk mengembangkan diri menjadi guru yang lebih baik dari sebelumnya.
- Memiliki gagasan dan membuat rencana kerja (action plan) untuk pengembangan diri.
"Menjadi seorang guru yang utuh. Tidak hanya fokus pada pekerjaan, tapi kita jadi memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan kepada siswa. Kadang-kadang siswa tidak selalu terinspirasi pelajaran yang kita berikan, tetapi dari cerita-cerita yang kita bawa dari apa yang kita lakukan di luar sana.”
Setelahnya, teman-teman guru diminta merefleksikan apa yang masih kurang dan sudah baik terkait aspek personal maupun profesional mereka. Lalu mereka diajak membuat action plan sederhana dengan menuliskan ide tentang cara mereka ingin mengembangkan diri. Ada yang ingin lebih melatih kesabaran agar tidak gampang marah, ada yang ingin lebih rajin membaca, dan sebagainya.
Setelahnya, Pak Bagiono sharing pengalamannya sebagai pendidik di SMK, termasuk kisah mengenai beberapa siswa SMK yang berhasil. Tampaknya Pak Bagiono ingin mengingatkan teman-teman guru SMK agar jangan minder, misalnya karena tidak mengajar di SMA. Mengajar di SMK pun mengajar manusia yang punya potensi untuk berkembang.
Tak salah mengajak Pak Dasrizal untuk berpartner bareng saya di hari itu. Pak Dasrizal menutup lokakarya dengan menyanyikan lagu Indonesia Jiwaku, lagu yang sangat indah karya Guru Soekarno Putra. Awalnya beberapa peserta berteriak, "Afgan!" karena menganggap suara Dasrizal tak kalah indah dengan Afgan, lama kelamaan suasana menjadi lebih hening. Di akhir lagu, peserta bertepuk tanga. Beberapa peserta saya lihat meneteskan air mata. Pak Bagiono juga. Tampaknya sedikitnya, kegiatan yang hanya berlangsung setengah hari itu sedikit menyentuh hati teman-teman guru.
Keterangan: Ini merupakan lanjutan dari tulisan "Cerita Persiapan Lokakarya untuk Guru di SMKN 11" (lihat: http://mahkotalima.blogspot.com/2018/08/cerita-persiapan-lokakarya-untuk-guru.html )
Comments