Refleksi Pengalaman (Guru) Belajar Matematika
Sumber Gambar: https://www.wikihow.com/Write-a-Personal-Essay |
Salah satu pertanyaan yang biasa diajukan kepada
guru-guru peserta lokakarya Gernas Tastaka adalah:
“Bagaimana
pengalaman bapak / ibu belajar matematika ketika sekolah dulu?”
“Apa
pengalaman yang paling tidak menyenangkan yang pernah bapak / ibu alami terkait
belajar matematika?”
“Apa pengalaman bapak / ibu yang paling
menyenangkan terkait belajar matematika?”
“Dari
skala 1 sampai 10, seberapa percaya dirikah bapak / ibu dalam mengajar
matematika untuk tingkat SD? “
Di bawah, adalah beberapa contoh jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan di atas:
Kasus 1Ketika sekolah dulu, saya sangat membenci matematika. Guru saya dulu galak sekali. Kalau siswa tidak bisa mengerjakan soal matematika, malah dimarahin. Jadinya, semakin takut. Sulit bagi saya untuk mengingat pengalaman yang menyenangkan terkait matematika. Tingkat percaya diri saya untuk mengajar matematika, di level SD, adalah 5 dari skala 10.
Kasus 2 “Ketika saya di sekolah dasar saya pernah memperoleh guru matematika yang sangat menyenangkan. Ketika mempelajari mengenai pi, kami diminta mencari benda-benda di sekitar yang berbentuk seperti lingkaran. Kami diminta menggunakan tali untuk mengukur kelilingnya. Setelahnya kami diminta mengukur diameternya. Setiap kali kami membagi keliling sebuah lingkaran dengan diameternya bilangannya selalu mendekati 3.14. Kata guru kami itu yang disebut pi, yakni perbandingan antara keliling lingkaran dengan diameternya. Ketika saya masuk SMP, saya yang tadinya sangat menyukai matematika tiba-tiba merasa bosan dengan matematika. Ketika pelajaran aljabar saya diberikan banyak sekali tugas oleh guru dan harus mengulang-ulang hal yang sama. Ketika belajar trigonometri di SMA ada banyak sekali rumus yang harus saya hafalkan. Namun, kalau diminta mengajar matematika, khususnya untuk tingkat SD, saya masih cukup percaya diri. Tingkat percaya diri saya 8 dari skala 10. Kalau mengajar matematika SMP atau SMA, saya tidak percaya diri.”
Kasus 3“Selama saya sekolah saya sangat menyukai matematika. Karena sering berlatih, nilai saya hampir selalu bagus saat pelajaran matematika. Selama sering berlatih soal, saya merasa bisa mengikuti pelajaran matematika dengan baik. Namun, alangkah kagetnya saya. Ketika mengambil mata kuliah Kalkulus saat kuliah, nilai saya sangat buruk. Selama sekolah, saya selalu diberikan soal-soal pilihan ganda. Saat kuliah, khususnya di pelajaran Kalkulus, dosen hanya memberikan saya 6 soal uraian yang harus saya isi selama 2 jam. Saya tidak terbiasa menuliskan penalaran saya secara tertulis. Saya sudah belajar mengenai limit, differensial, dan integral saat SMA. Saya lulus ujian dengan nilai tinggi tapi ternyata saya tidak mengerti esensi dari topik-topik tersebut. Saya baru sadar bahwa saya saat itu belum mengerti apa-apa. Baru belakangan saya belajar kembali konsep-konsep dasar matematika dan mulai membiasakan menuliskan penalaran saya terkait masalah-masalah matematika yang saya hadapi. Lama kelamaan saya belajar bahwa konsep-konsep matematika saling terkait satu sama lain. Differensial terkait dengan Limit, Limit terkait dengan Fungsi, dan seterusnya. Saya cukup percaya diri untuk mengajar matematika, khususnya di tingkat SD. Dari skala 1 – 10 tingkat percaya diri saya untuk mengajar matematika adalah 10.”
Studi telah
menunjukkan bahwa pengalaman guru belajar matematika bisa mempengaruhi cara
mereka mengajar (Ball, 1997; Smith 1996, dalam LoPresto & Drake, 2005).
Tanpa disadari, guru sering mengulang kembali apa yang dilakukan oleh
guru-gurunya di masa dulu.
Perhatikan kembali ketiga
kasus di ata. Bayangkan bagaimana masing-masing guru akan mengajar matematika
(misalnya di level SD). Apa saja perbedaannya?
Pada kasus pertama, guru punya
pengalaman yang sangat tidak mengenakkan terkait matematika. Kalau ketakutannya
ini tidak diatasi, rasa takut ini bisa terus dibawa ke dalam kelas. Ketika
mengajar matematika, rasanya tidak percaya diri. Ketika memperoleh soal
matematika yang agak sulit, guru pun takut. Akibatnya, ketika mengajar guru ini
mungkin tidak akan memberikan siswanya tantangan-tantangan berupa soal
pemecahan masalah yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan berpikirnya.
Pada kasus kedua, guru pernah
mempelajari matematika secara menyenangkan. Kemungkinannya guru tersebut sudah
pernah belajar bahwa matematika bukan sekadar menghitung tetapi juga mengenai
menemukan pola. Meskipun ketika SMP dan SMA mulai tidak suka matematika, bukan
berarti guru takut pada matematika. Apabila punya referensi untuk belajar dasar-dasar
matematika kembali, sangat mungkin guru ini akan menemukan kembali kesenangan belajar matematika. Ya, seperti ketika SD dulu. Ketika harus mengajar matematika,
guru ini akan berusaha agar kelasnya semenyengkan kelas matematikan ketika dia
belajar saat SD dulu.
Pada kasus ketiga, guru
pernah merasakan nilai matematikanya bagus, tapi belakangan sadar bahwa nilai
yang bagus tidak mencerminkan pemahamannya terkait matematika. Dia bisa
menghitung dan menggunakan rumus-rumus yang dihafalkannya karena sering
berlatih. Sayangnya, dia tidak benar-benar memahami kenapa rumus-rumus tersebut bekerja. Selama
sekolah, guru tersebut biasa mengerjakan soal-soal pilihan ganda sehingga kaget
ketika diminta menuliskan penalarannya. Untungnya guru tersebut punya
kesempatan untuk belajar matematika kembali dengan sudut pandang baru. Guru
tersebut kini percaya bahwa konsep-konsep matematika saling terhubung satu
dengan yang lain. Dia juga belajar bahwa soal pilihan ganda, bukanlah cara
terbaik untuk menilai pemahaman siswa serta percaya bahwa ‘tahu rumusnya’ tidak
sama dengan mengerti. Ketika mengajar, guru ini mencoba melakukan beberapa
perubahan dibandingkan pengalamannya belajar di sekolah. Dia tidak hanya
memberikan siswanya soal pilihan ganda tetapi juga sering memberikan siswanya
soal uraian. Saat mengerjakan soal, baik di kelas maupun pada saat ujuan, guru
akan membiarkan siswanya melihat rumus. Menurutnya itu tidak berarti siswanya
mencontek. Baginya yang penting siswa bisa menerapkan apa yang dipelajarinya
untuk memecahkan masalah, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, memungkinkan guru untuk merefleksikan pengalamannya belajar maupun mengajar matematika? Apakah ada pengalaman di masa lalu yang sangat berpengaruh terhadap caranya mengajar di masa kini?
Ketika guru punya kesempatan untuk berbagi mengenai pengalaman-pengalaman tersebut dengan guru-guru yang lain, maka semua dapat memperdalam proses refleksi. Apakah pengalaman orang lain sama dengan pengalamanku? Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman-pengalam tersebut?
Salah satu tujuan
lokakarya-lokakarya Gernas Tastaka, bukan sakadar untuk mengajarkan guru mengenai
beragam metode mengajar matematika. Yang lebih utama adalah mengajak
teman-teman guru merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka belajar
matematika. Kemudian, melihat pengalaman-pengalaman tersebut secara lebih
kritis. Apakah yang sudah baik? Apa yang bisa diperbaiki? Apakah pandangan
mereka tentang matematika dan belajar matematika selama ini sudah tepat? Adakah
cara lain untuk memandang matematika? Adakah cara lain untuk memandang
bagaimana matematika seharusnya dipelajari?
Comments