Mengikuti Pelajaran Matematika atau Belajar Bermatematika?
Saat pelajaran matematika
berlangsung, guru meminta siswa menyalin beberapa nomor soal pilihan ganda di
buku catatan. Semua soal diambil dari buku Lembar Kerja Siswa (LKS).
Setelahnya, siswa diminta memberi silang pada jawaban yang dianggap benar.
Waktu di kelas habis
untuk menyalin soal. Siswa menjawab soal-soal matematika tanpa perlu berargumen mengapa mereka menganggap jawaban mereka benar.
“Kenapa
jawabannya seperti itu?”, “Bagaimana caranya kamu sampai pada kesimpulan seperti
itu?”, “Adakah cara lain untuk menyelesaikan soal ini?”, “Mana cara yang lebih
efisien?”, “Kenapa?”, bukalah pertanyaan-pertanyaan yang biasa didengar siswa di dalam kelas.
Di kelas yang lain, siswa-siswa kelas
satu, yang belum semuanya lancar memegang pensil sedang mengikuti pelajaran mengenai nilai tempat (place value). Guru memberikan siswa soal seperti
berikut:
“146 dibaca ……”.
Siswa diharapkan menuliskan:
“seratus empat puluh enam”.
Ada sembilan soal lain yang serupa yakni untuk bilangan 245 , 1.456 , 2.987, dan sebagainya.
Saat mengikuti pelajaran mengenai nilai tempat, siswa lebih banyak belajar menulis dari pada benar-benar membahasa gagasan mengenai nilai tempat. Sebagian besar siswa bisa menjawab bahwa 145 terdiri dari 1 ratusan, 4 puluhan, dan 5
satuan. Namun, kebingungan saat ditanya, “100 terdiri dari berapa puluhan?”
Coba perhatikan video "Beyond Finggers: Place Value and the Numbers 11-19 pada link berikut ini: https://www.teachingchannel.org/video/kindergarten-counting-cardinality-lesson .
Video itu menggambarkan kegiatan belajar matematika di sebuah Taman Kanak-kanak. Di sana siswa sedang belajar bilangan 11-19. Saat belajar, siswa mereview kembali konsep bilangan pembuat sepuluh. Misalnya, bahwa 10 sama dengan 4 + 6. Untuk melakukan ini, guru menyediakan manipulatif (alat bantu) berupa bulatan-bulatan berwarna biru dan merah dan ten frames yakni kotak-kotak yang terdiri dari dua baris dan lima kolom. Siswa diajak menjelaskan pemikiran mereka serta menjelaskan kenapa mereka yakin bahwa jumlah bulatan yang ada di papan tulis berjumlah 12. Mereka benar-benar belajar nilai tempat, yakni bahwa 1 puluan terdiri dari 10 satuan tanpa harus menulis panjang lebar tanpa mengetahui makna dari apa yang mereka tuliskan.
Seorang siswa dari kelas lain sedang
belajar mengenai pohon faktor. Guru memberikannya latihan untuk membuat berbagai
pohon faktor.
“Kata Ibu guru, kalua ada bilangan, coba bagi bilangan tersebut
dengan dua, terus bagi lagi terus. Kalau tidak bisa, dibagi tiga, bagi lagi
terus. Nah dua dan tiganya dibulatkan,” si siswa menjelaskan kembali apa yang dikatakan guru.
Pohon faktor yang dihasilkan siswa tersebut
seperti ini:
Strategi yang sama digunakannya untuk membuat pohon faktor
dari bilangan apapun. Siswa bisa membuat pohon faktor dengan menghafal
caranya. Namun, siswa tidak diajak mendiskusikan hubungan antara pohon faktor dengan
perkalian, bilangan prima, bilangan komposit, dan berbagai konsep-konsep matematika lainnya. Siswa juga tidak pernah diajak
mengeksplorasi bahwa sebuah bilangan bisa punya lebih dari satu macam pohon
faktor. Pohon faktor dari 24, misalnya, bisa saja berbentuk seperti ini:
Untuk membuat pohon faktor, sebuah bilangan tidak harus
selalu dibagi dengan 2 atau 3. Kita bisa membagi bilangan tersebut dengan
faktor dari bilangan tersebut (selain satu dan bilangan itu sendiri). Karena:
makafaktor dari 24 adalah 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24 .
Untuk membuat pohon faktor, kita boleh saja membagi 24 bilangan
lain selain 2 atau 3, misalnya dengan 4, 6, 8, atau 12, asalkan
bilangan-bilangan tersebut merupakan faktor dari 24.
Ketika mengerjakan soal-soal matematika, siswa jadi belajar untuk mengatakan bahwa,"Kata gurunya caranya begini." Baginya, cara lain selain apa yang diajarkan gurunya merupakan cara yang salah. Padahal salah satu keindahan matematika adalah mengetahui bahwa ada beragam cara untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika. Dalam belajar matematika, yang lebih penting daripada mengikuti "cara guru" adalah belajar menjelaskan kenapa seseorang menganggap suatu gagasan benar (ataupun salah).
Kasus-kasus di atas adalah contoh-contoh di mana siswa mengikuti pelajaran matematika tapi tidak benar-benar belajar bermatematika. Mereka belajar menyelesaikan soal tanpa benar-benar belajar bernalar, mungkin bisa menjawab soal, tapi tidak belajar menjelaskan argumen mereka, dan mengerjakan sesuatu berulang-ulang tanpa benar-benar bisa memaknai apa yang dikerjakan.
National
Council of Mathematics (NCTM, 2000), sebuah organisasi profesi guru-guru matematika di Amerika Serikat
(semacam Musyawarah Guru Mata Pelajaran/ MGMP) menyatakan bahwa ketika
mengajarkan matematika, ada yang disebut standar konten (content standard) dan ada yang disebut standar proses (process standard). Standar konten itu
semacam topik-topik matematika yang biasa diajarkan di sekolah, yakni bilangan,
pengukuran, geometri, data analisis dan probabilitas. Namun, selain standar
konten ada yang tidak kalah penting yakni adanya proses-proses pemecahan
masalah (problem solving), pembuktian
dan penalaran matematis (reasoning &
proof), komunikasi gagasan matematis (communication),
koneksi (connection), dan representasi (representation).
Apapun
topik matematika yang sedang dipelajari oleh siswa di kelas matematika, siswa
perlu mengalami proses-proses tersebut. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
beragam masalah matematika, belajar menjelaskan gagasan-gagasan matematis (baik secara lisan maupun tulisan), belajar membangun argumen untuk meyakinkan orang lain
mengenai gagasan mereka, belajar bahwa satu konsep matematika berhubungan
dengan berbagai konsep-konsep lainnya, serta belajar merepresentasikan gagasan
matematika mereka dengan berbagai cara, dengan bantuan alat, gambar, grafik,
tabel, dan model-model lainnya. Ketika
proses-proses semacam itu tidak terjadi di kelas matematika, apakah kita
masih bisa mengatakan bahwa siswa sedang belajar bermatematika? Ataukah mereka hanya sedang mengikuti pelajaran matematika?
x
Comments