Membaca "Tempat Terbaik di Dunia"
Roanne Van Voorst adalah seorang antropolog berkebangsaan Belanda yang karena ketertarikannya tentang 'banjir' memilih menetap selama setahun di sebuah kampung kumuh (yang kemudian akan disebut daerah Bantaran Kali) di Jakarta untuk penelitiannya. Buku "Tempat Terbaik Dunia", terbitan Penerbit Marjin Kiri, adalah buku yang menggambarkan pengalamannya ketika melakukan penelitian. Kata Roanne di bagian prolog:
"Sebagai seorang peneliti, saya ingin tahu bagaimana rasanya tinggal di hunian yang setiap tahunnya beberapa kali dilanda banjir. Masih sedikit pengetahuan yang tersedia soal ini. Penelitian terbaru mengenai banjir lebih banyak mengarah ke aspek biologi dan teknik pengeloaan banjir: ketinggian curah hujan yang jatih d suatu wilayah per tahun, misalnya, atau masalah tersumbatnya pintu air da cara untuk menyalurkan air. Semua itu sangat menarik dan penting, tentunya. Hanya saja, dalam berbagai penelitian tersebut saya tidak menemukan cerita dari para korban banjir. Saya ingin tahu apa yang orang lakukan saat mereka tahu bahwa mereka bakal kebanjiran. Cara-cara apa yang mereka tahu untuk melindungi harta benda dan keluarga mereka, mengajari anak-anak mereka berenang? Bisakah mereka sendiri berenang? Apakah mereka pernah sekali merasa aman dan nyaman tinggal di daerah rawan banjir atau mereka selalu hidup dalam ketidakpastian dan kecemasan?"
Buku Roanne sebenarnya mengingatkan saya akan pengalaman live in di daerah kumuh di Jakarta (binaan Urbaan Poor Consortium) yang saya lakukan selama beberapa hari pada tahun 2008. Meskipun tinggal di daerah yang dalam berbagai hal serupa, pemahaman yang diperoleh Roanne jauh lebih kaya. Bukan hanya karena Roanne tinggal di daerah kumuh Jakarta lebih lama, namun juga karena Roanne ke sana sebagai penelti, yang artinya, Roanne tahu apa yang mau dicari (meskipun akhirnya menemukan banyak hal lainnya), melakukan observasi dan wawancara secara mendalam (in-depth), membuat catatan lapangan yang detil setiap harinya, dan juga dilengkapi pemahaman akan teori sosial yang akan mendukung pemahamannya mengenai masyarakat yang akan ditelitinya.
Jawaban-jawaban yang mendetil tentang pertanyaan penelitian Roanne pastinya tertulis di laporan penelitiannya sedangkan buku "Tempat Terbaik di Dunia" menggambarkan beragam hal lain yang dipelajari Roanne di Jakarta. Salah satu hal yang menarik adalah ketika Roanne ingin mencari lokasi penelitian. Awalnya Roanne mencari lokasi melalui jalur formal, dia mewawancarai puluhan pembuat kebijakan, namun setiap kali menceritakan rencana penelitiannya, tanggapannya selalu sama, "tidak bisa itu", "terlalu berbahaya". Menurut mereka seorang bule seperti Roanne akan dianggap orang kaya, yang bisa dirampok, diganggu, dan sebagainya. Roanne malah ditawari untuk tinggal di apartemen mewah yang 'bebas banjir'. Lokasi penelitian, akhirnya Roanne temukan setelah menaiki bus kota yang penuh sesak. Roanne bertemu dengan seorang pengamen, sebut saja namanya Tikus yang mengajak Roanne ke tempat terbaik di dunia, daerah Bantaran Kali. Tikuslah yang memperkenalkan Roanne ke kepala kampung.
Kata Tikus, "Bapak kepala kampung, dia datang ke Jakarta untuk kerja di sini. Dia ngak bisa nyanyi atau bermain gitar tapi lancar berbahasa Indonesia. Dia menawarkan diri untuk mengajari bahasa inggris buatku dan anak lainnya di Bantaran Kali. Sebagai imbalannya, dia ingin tinggal di sini. Pasti ngak susah, soalnya dia suka makanan Indonesia. Bahkan.... dia suka pedas". Dan Roanne pun mulai dianggap seperti keluarga.
Ada berbagai hal menarik dari buku yang ditulis Roanne ini, misalnya bagaimana orang-orang yang memiliki portofon, jadi punya status sosial yang lebih tinggi. Dengan portofon, mereka bisa berkomunikasi secara langsung dengan penjaga pintu air sehingga memperoleh informasi paling up-to-date mengenai banjir. Namun memiliki portofon, bukanlah tanpa resiko, mereka harus stand-by mendengarkan portofon terus menerus padahal bisa jadi mereka memiliki pekerjaan lain, sehingga kesibukannya dengan portofon bisa membuat mereka dipecat.
Selama tinggal di Bantaran Kali, Roanne tidak hanya mengalami masa-masa banjir tapi juga ikut menyaksikan kebakaran kampung. Saat kebakaran, Roanne belajar bahwa satu rumah sempit sekalipun, tidak selalu berisi satu keluarga saja, tapi bisa lebih, sampai 10 orang lebih misalnya. Mengamati bagaimana "bank" buatan masyarakat bekerja, melihat bagaimana warga membuat gym sederhana dengan apa yang ada di sekitarnya misalnya dengan kaleng bekas yang diisi semen dan berbagai peralatan lainnya. Di buku ini juga digambarkan bagaimana banyak warga kampung takut terhadap rumah sakit dan lebih percaya berbagai pengobatan alternatif. Ketakutan ini ternyata diantaranya disebabkan oleh trauma yang mereka alami ketika diperlakukan tidak baik di rumah sakit. Melalui buku Roanne, kita bisa belajar bahwa warga yang tinggal di kampung kumuh Jakarta sama seperti manusia lainnya. Ada yang malas ada juga yang rajin. Ada yang sangat perhitungan soal uang, ada juga yang boros. Ada yang semaunya sendiri tapi ada juga yang senantiasa mempertimbangkan orang lain. Steriotipe yang sering dibuat tentang warga yang hidup di kampung kumuh sebagai orang yang malas dan seenaknya sendiri tidaklah selalu benar.
Comments