(Sempat) Malu


Source: http://studiodiy.com/2015/12/08/diy-emoji-gift-wrap/?crlt.pid=camp.dqP9kEFfOxaU
Pada suatu kesempatan saya duduk sebangku dengan dua orang yang tidak saya kenal sebelumnya. Kami sama-sama menunggu sesuatu. Daripada bosan diam-diaman, akhirnya, kami saling berkenalan. Di sebelah saya duduk seorang perempuan yang masih terlihat imut-imut. Ternyata dia adalah seorang siswa kelas XI SMA. Dari hasil obrolan kami, saya mengetahui bahwa dia bercita-cita bisa melanjutkan studi di bidang Bioteknologi. Di sebelah perempuan tersebut ada seorang laki-laki. Dia adalah seorang fresh graduate Teknik Sipil dari sebuah Universitas swasta di Bandung. Beliau bercerita bahwa beliau ingin melanjutkan studi di Belanda, fokus di bidang yang sama. Mereka sempat menanyakan apa kesibukan saya. Kata laki-laki fresh graduate, "Apakah masih mahasiswa atau sudah bekerja?"

Dengan bangganya saya menyatakan bahwa saya mengajar calon guru di perguruan tinggi.. Perempuan yang masih SMA bertanya pada saya, "Enak gak sih mengajar begitu?".

Saya pun menjawab bahwa saya sangat suka mengajar. Yang paling menyenangkan adalah ketika melihat mahasiswa saya lulus, lalu memilih menjadi guru (atau berkiprah di bidang pendidikan) dan ternyata mereka mencintai profesi mereka. Bahagia sekali rasanya ketika tahu mereka menjadi guru yang passionate. Itu kebahagiaan yang tidak terbayar dengan apapun juga.

Tak jauh dari kami ada tiga orang ibu-ibu yang juga sedang mengobrol. Saat itu saya sudah tidak sedang mengobrol dengan dua orang yang duduk di sebelah saya. Saat itulah, saya mendengar tiga orang ibu-ibu itu mengobrolkan mengenai guru di sekolah anak mereka masing-masing. Mungkinkah mereka tadi tak sengaja ikut mendengar obrolan kami bertiga yang juga membahas menggunakan istilah 'guru' dan terpancing mengobrolkan topik terkait?  Atau mereka memang tiba-tiba ingin mengobrolkan mengenai guru di sekolah anak mereka masing-masing? 

Yang jelas, saat mereka mengobrol,  merasa malu. Suara mereka cukup keras sehingga saya bisa mendengarkan obrolan mereka dengan jelas. Saya menutup wajah saya dan pura-pura tertidur karena malu. 

Salah seorang ibu menceritakan mengenai kegiatan 'menabung' di kelas anaknya. Di sekolah anaknya, siswa disarankan untuk menabung dan uang tabungannya dikumpulkan ke wali kelas. Saat terima rapor, seharusnya siswa bisa meminta hasil tabungannya selama satu semester. Namun, ketika sang ibu meminta uang tabungan anaknya, guru tersebut mengatakan bahwa uangnya tidak ada dan akan diberikan dua bulan kemudian. Kemungkinan besarnya uangnya terpakai. Dalam hati saya berharap bahwa ada alasan yang kuat mengapa uang tersebut terpakai. 

Cerita berikutnya lain lagi. Ibu yang lain bercerita bahwa guru di sekolah anaknya meminta orang tua siswa membelikannya  telepon genggam. "HP saya yang ini sudah rusak nih," katanya begitu. 

Ibu yang satu lagi, yang sedang ikut mengobrol,  hanya mengomentari, "Parah yah?"

Kisah-kisah seperti di atas bukan hal yang baru pertama kali saya dengar. Di beberapa sekolah memang ada kebiasaan (yang ntah tumbuh dari mana) orang tua memberikah hadiah pada guru, khususnya saat penerimaan rapor. Isu mengenai pemberian hadiah pada guru ini, sebenarnya masih menjadi perdebatan. Apakah boleh atau tidak? Ada yang menganggap boleh, asalkan memang bukan bermaksud untuk 'menyogok', misalnya untuk menaikkan nilai, dan tidak mahal. Di sisi lain, ada sekolah yang menolak pemberian hadiah pada guru. Menolak sama sekali. Namun, di beberapa sekolah, kondisinya memang parah, ada sekolah di mana orang tua berlomba memberikan hadiah semahal-mahalnya pada guru, seperti telepon genggam, emas, dan sebagainya (saya pernah mendapatkan curhatan langsung dari orang tua mengenai hal ini yang merasa minder karena orang tua lain memberikan hadiah yang mahal, sedangkan beliau tidak). Yang lebih parah lagi, adalah ketika guru mengharapkan diberikan hadiah. Seperti contoh yang disampaikan ibu di atas.

Saat masuk kerja saya menceritakan kejadian tersebut pada teman-teman kantor saya, bahwa saya malu sekali saat mendengar obrolan ketiga ibu tersebut. Teman saya mengatakan bahwa saya seharusnya tidak malu. Tidak semua guru seperti itu. Teman saya yang satu lagi mencoba memahami, "Malu sebagai teman seprofesi (baca: sama-sama pendidik), yah?"

Setelah saya pikir-pikir di satu sisi memang saya merasa malu dengan obrolan ketiga ibu tersebut. Malu bahwa ada teman seprofesi melakukan tindakan yang tidak sepantasnya begitu. Di sisi lain, saya tahu ada begitu banyak guru yang tidak seperti itu. 

Seorang guru yang saya kenal, misalnya, ketika beliau tahu ada siswa yang rumahnya jauh dari sekolah, beliau bahkan rela rumahnya ditempati oleh siswa dan ikut membiayai makan siswa tersebut. Ada juga, guru yang saya tahu pernah membantu membayarkan uang sekolah siswanya, karena siswanya tidak mampu membayar uang sekolah. Banyak juga guru yang tidak peduli dengan hadiah yang diberikan oleh siswa. Yang lebih penting adalah siswanya tumbuh menjadi orang yang lebih baik, baik dalam hal prestasi maupun sikap. Sudah banyak sekali guru yang saya kenal yang seperti ini. 

Tentu saja, saya percaya bahwa praktek-praktek yang kurang baik di beberapa sekolah, seperti korupsi, meminta hadiah dari orang tua siswa, atau menerima hadiah yang terlalu mahal dari siswa perlu diberantas. Tapi di sisi lain, saya juga yakin, bahwa guru-guru lain, yang rela berkorban dan mendidik siswa-siswanya yang begitu bervariasi juga patut diapresiasi.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)