Menonton Kompilasi Film "Kembang 6 Rupa"



"Kembang 6 Rupa" adalah film kolaborasi dokumenter yang mengajak 6 pembuat film untuk berkolaborasi dengan 6 remaja perempuan di 6 komunitas mengenai isu yang dianggap penting dan genting oleh remaja-remaja di lingkungan masing-masing. Kembang 6 Rupa bercerita tentang tantangan-tantangan yang dihadapi anak-anak perempuan di masa transisi, merekam tentang hak dan kewajiban baru yang menunggu mereka di depan mata.(http://www.kampunghalaman.org/berita?id=939
Semalam, saya pergi ke Kineforum, Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk menonton kompilasi film "Kembang 6 Rupa". Film tersebut diproduksi oleh Yayasan Kampung Halaman, yakni sebuah yayasan yang bertujuan untuk 'memfasilitasi remaja dan anak muda berusia 13-25, dengan keterampilan, kreativitas dan penguasaan media (video,musik,teks,foto) untuk memunculkan suara dansikap tentang isu-isu yang mereka dan komunitasnya anggap penting' (http://www.kampunghalaman.org/about).
"Kembang 6 Rupa" terdiri dari 6 film dokumenter pendek. Masing-masing film settingannya adalah di daerah-daerah yang berbeda di Indonesia (Sleman, Kuningan, Wamena, Sumedang, Indramayu, Sumbawa). Semuanya mengenai tokoh perempuan remaja (usia 15 - 17 tahun) yang sedang bergelut dengan isu yang berbeda-beda.  
Sebenarnya isu-isu yang diangkat dalam film "Kembang 6 Rupa" bukan isu-isu yang baru buat saya. "Kembang 6 Rupa" mengangkat isu seputar pendidikan, kemiskinan, perbedaan, dan keadilan. Namun, menonton kompilasi film "Kembang 6 Rupa" mampu membuat saya pulang saya merasa merinding. "Film ini begitu powerful," pikir saya. Dengan media film, saya diajak untuk lebih menghayati isu-isu tersebut dan diajak untuk mendengarkan suara anak-anak muda (perempuan) yang memang, secara langsung, bergelut dengan isu tersebut.
Film pertama settingnya adalah Sleman, judulnya "Bangun Pemudi! Pemuda Sudah" (Sutradara : Michael A.C. Winanditya). Film ini berkisah tentang tokoh remaja perempuan bernama Nala (17 tahun) yang aktif dalam kegiatan Karang Taruna. Remaja-remaja perempuan, kadang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang karena dianggap kurang berani mengungkapkan suara. Kenyataannya? Tidak selalu begitu. 
Film kedua settingnya adalah Wamena. Judul filmnya adalah "Agnes, Pewaris Budaya Dunia?" (Sutradara: Arief Hartawan). Film ini berkisah tentang Agnes (17 tahun), remaja perempuan dari Papua yang putus sekolah karena hamil. Agnes masih ingin melanjutkan sekolah. Kini, sambil mengurus anak, beliau merajut noken, 'tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu' (Kompas Cetak, 7 Agustus 2014). Hasil dari penjualan noken, salah satunya adalah untuk menebus ijazah SMP yang belum diambil karena beliau masih berhutang 'uang pembangunan sekolah', sebesar 1 juta rupiah. 
Film ketiga berjudul "Karatagan Ciremai" (Sutradara: Ady Mulyana). Fim ini mengenai Anih (15 tahun), remaja perempuan dari Kuningan. Anihmenganut agama Sunda Wiwitan. Agama Sunda Wiwitan  tidak masuk ke dalam 6 agama resmi yang diakui di Indonesia (Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Kong Hu Cu) meskipun agama ini sudah ada jauh sebelum agama-agama tersebut masuk ke Indonesia.
Di antara keenam film, ini salah satu film yang paling saya suka. Di dalam film ada adegan di mana guru di sekolah Anih menanyakan kenapa Anih tidak berkerudung. Anih mengatakan bahwa beliau non Islam. Temannya, yang keturunan Batak juga ditanyakan hal yang sama. Gurunya pun lanjut bertanya mengenai agama Anih dan temannya. Temannya menjawab bahwa agamanya adalah Kristen. Anih menjawab bahwa agamanya adalah Sunda Wiwitan. Reaksi gurunya adalah sebagai berikut, "Kalau Kristen, saya bisa memahami, tapi kalau Sunda Wiwitan saya kurang paham, kayaknya itu bertentangan dengan ajaran agama." Bagi Anih, pernyataan gurunya menyakitkan hati. Tentu, tidak enak rasanya  ketika apa yang kita percaya dianggap rendah oleh orang lain. 
Film keempat berjudul "Bintang di Pelupuk Mata (Tak Tampak)" (Sutradara: Dwi Sujanti Nugraheni). Ini juga film yang sangat saya sukai. Film ini berkisah mengenai seorang anak SMA bernama Pipit yang dianggap 'kurang baik' oleh guru-gurunya, karena cara berpakaiannya dan gayanya (sering bercelana pendek dan serig terlihat nongkrong di pinggir jalan). Gurunya menganggap Pipit tidak memiliki masa depan. Padahal Pipit pada dasarnya adalah anak yang baik. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, Pipit selalu membantu ibunya membersihkan rumah. Pulang sekolah istirahat sebentar, lalu bekerja di  tempat penggalian semen untuk membantu keluarga. 
Di sekolah, Pipit masuk 10 besar dan juga berprestasi di bidang olahraga (sering menang pertandingan olah raga). Cita-citanya menjadi guru olah raga atau guru matematika. Sayangnya, pihak sekolah tidak melihat potensi ini. Pipit dianggap biasa saja. Labelnya sebagai anak yang tidak berprilaku sepantasnya membuatnya dipandang sebelah mata, bahkan oleh gurunya sendiri. 
Film kelima berjudul "Miang Meng Jakarta (Aku Ingin Ke Jakarta)" (Sutradara: Opan Rinaldi). Film ini berkisah tentang Ika, remaja perempuan 16 tahun dari Indramayu. Orang tua Ika bercerai. Selain itu, Ika putus sekolah karena keputusannya sendiri. Dia tidak mau sekolah karena sering diejek oleh teman-temannya. Film ini berkisah tentang keinginannya untuk bekerja di Jakarta. 
Film keenam berjudul "Haruskah ke Negeri Lain?",  (Sutradara Anton Susil). Film ini berkisah tentang Maesarah (17 tahun) yang berasal dari Sumbawa. Cita-citanya adalah bekerja ke Malaysia, mengumpulkan uang dan kemudian bisa melanjutkan kuliah kembali.
Menonton Kembang 6 Rupa mengizinkan saya untuk bisa mengenal lebih jauh mengenai negeri saya sendiri, Indonesia. Saya bisa mengenal kehidupan orang lain, khususnya remaja, yang berasal dari daerah-daerah yang tidak pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya bisa melihat kompleksitas hidup mereka, sekaligus merenungi kembali kompleksitas pendidikan yang ada di Indonesia (karena sesuai minat saya). Kembang 6 Rupa mengingatkan saya untuk lebih banyak mendengar suara anak-anak muda. Memahami dunia dari kaca mata mereka, bukan hanya melihat dunia dari sudut pandang saya saja. 
Meskipun teknik pembuatan kompilasi film "Kembang 6 Rupa" tidak terlalu wah, tapi sungguh kompilasi film ini sungguh mendidik. Saya berharap lebih banyak guru bisa menontonnya dan berefleksi darinya. 

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)