Menonton Film "Detachment"

Semalam saya diajak nonton film "Detachment". Katanya, film itu tentang guru. Awalnya, saya ragu untuk menonton. Judul filmnya saja "Detachment" yang artinya ketidakterikatan. Dari judulnya, saya punya perasaan bahwa film tersebut akan menyedihkan.

Perasaan saya benar.  Film tersebut ternyata suram. Namun, ternyata saya suka filmnya karena cerita tentang guru dan kelas.  Itu tema favorit saya. 

Trailer filmnya bisa dilihat di :

Pak Henry adalah seorang substitute teacher (guru pengganti). Artinya, dia tidak pernah menetap di sebuah sekolah. Apabila ada sebuah sekolah yang kekurangan guru, dia akan diminta mengajar di sekoalah tersebut sampai ada guru tetap. Setelahnya, dia akan berpindah ke sekolah lain yang membutuhkan guru pengganti lagi. Begitu terus. Pak Henry tidak pernah menjadi guru tetap. 

Waktu menonton film "Detachment", saya teringat pada film "Entre Les Murs (The Class)", sebuah film Prancis yang dikeluarkan tahun 2008. Trailernya bisa dilihat di  :


Baik film "Detachment" maupun "The Class" merupakan film yang didasarkan pada studi yang mendalam tentang apa yang terjadi di dalam kelas. Menonton kedua film tersebut rasanya seperti membaca penelitian tentang kelas. Filmnya bukan  sekadar drama tentang sekolah tapi lebih seperti sebuah deskripsi tentang situasi kelas, tentu dari angle tertentu.

Ada yang tahu gerakan No Child Left Behind di Amerika Serikat? Film ini tampaknya merupakan kritik terhadap gerakan tersebut. Di film "Detachment" digambarkan bahwa Pak Henry mendapat kesempatan untuk mengajar di sekolah yang nyaris ditutup (dan akhirnya ditutup juga). Alasan penutupan sekolah adalah  karena nilai-nilai ujian siswa-siswa di sekolah tersebut sangat rendah. \

Yang tidak dipahami oleh pemerintah (yang memutuskan untuk menutup sekolah), adalah realita bahwa guru-guru di sekolah tersebut mampu bertahan mengajar meskipun siswa-siswanya penuh kemarahan dan sangat terbiasa membentak-bentak guru, bahwa orang tua siswa tidak pernah datang ke acara parents night meskipun guru-guru menunggu berjam-jam lamanya, bahwa meskipun siswa kesulitan belajar, masih ada guru yang mau menghabiskan waktu memberikan pelajaran tambahan kepada siswa yang memang kesulitan belajar, bahwa terlepas dari nilai siswa yang sangat rendah, masih ada guru-guru yang peduli. Mereka guru-guru yang ingin membuat perubahan, tapi begitu frustasi karena segala usaha merekka tampaknya tidak berhasil.

Pak Henry agar berbeda. Dia tidak datang ke sekolah dengan harapan menjadi "pahlawan" bagi siswa-siswanya. Dia menjadi guru yang apa adanya. Masa kecilnya  sama suramnya dengan siswa-siswanya. Ibunya pernah dilecehkan secara seksual oleh kakeknya sendiri dan akhirnya memilih bunuh diri. Mungkin itu yang menyebabkannya tidak gentar oleh kemarahan siswa-siswanya. Dia sendiri pernah dan mungkin masih penuh dengan kemarahan. Selain itu, sebagai guru pengganti, dia tidak se-stress guru-guru yang lain. Guru yang lain, memilih mengajar karena ingin membuat perubahan. Namun, ternyata sekolah pun akan ditutup dan mereka merasa gagal. Mereka jugalah yang akan kehilangan pekerjaan ketika sekolah ditutup, mereka jugalah yang merasaka bertanggung jawab dan terikat pada sekolah.

Pak Henry tidak seperti itu. Dia tidak  mempunyai keterikatan emosional pada sekolah. Dalam konteks ini, itu justru menjadi kekuattannya. Apa yang terjadi di sekolah tidak menganggunya dan dianggap biasa saja. Dia tetap bisa mengajar dan siswanya seperti biasa. Dia tidak keberatan bila ada siswa yang tidak mau mengikuti kelasnya. Ketika hari pertamanya mengajar di sekolah tersebut, dia meminta siswanya menuliskan esai tentang apa yang mereka bayangkan ketika mereka meninggal dunia. Suasana seperti apakah yang mereka bayangkan?  Esai-esai siswanya mungkin 'parah'  menurut guru lain, misalnya ada yang membayangkan kematiannya akan ditangisi perempuan-perempuan yang menganggapnya laki-laki keren. Tapi dia membacakan esai siswanya begitu saja. Yang penting siswa telah jujur pada perasaannya sendiri, dan membiarkan siswanya berekspresi apa adanya  merupakan jalan masuk untuk mengajak siswanya belajar. Pak Henry tidak takut gagal mengajar, dia hanya ingin mengajar.

Hal lain yang menarik dari film "Detachment" adalah ketika Pak Henry mengajak siswanya membahas kosa kata baru. Saya lupa apa istilah bahasa Inggrisnya, tapi arti dari kosa kata tersebut adalah "kebohongan yang dilakukan berulang-ulang sampai kita percaya". Dia mencontohkan bahwa contoh "kebohongan yang berulang-ulang sampai kita percaya", misalnya mengenai perempuan dan kecantikan. Perempuan harus cantik sehingga bisa diperlakukan secara hormat oleh orang lain. Kebohongan ini disampaikan terus menerus melalui iklan, media, dan sebagainya. Faktanya, ada perempuan-perempuan yang sudah mempercantik diri sedemikian rupa tapi tetap saja tidak selalu diperlakukan sebaik yang diimpikan. Mungkin kasus ini diangkat oleh Pak Henry karena beliau ingat akan ibunya yang diperlakukan dengan tidak baik.

Ada sebuah adegan di mana Pak Henry menanyakan siswanya, yang setingkat SMA mengenai buku 1984 karya George Orwell. "Siapa yang sudah baca?"

Beberapa siswa, meskipun tidak semua, mengangkat tangan, Suami saya, yang ikut menonton berkomentar, "Itu sekolah yang dianggap parah di Amerika Serikat tapi siswanya masih membaca 1984."

Saya membenarkan. Sekolah yang diangkat di film "Detachment" adalah sekolah yang mau ditutup dan dianggap tidak layak bagi siswa. Namun, setidaknya siswa masih diajak membaca sastra, membahas buku, Setidaknya ada usaha membuat siswanya berpikir.

Saat saya menonton film "Detachment", saya sebenarnya berpikir bahwa pendidikan di Indonesia meskipun kompleks, sebenarnya masih lebih baik kondisinya dibandingkan apa yang terjadi di sekolah yang ada di film tersebut. Mungkin pengetahuan saya terbatas, tapi sampai detik ini saya belum menemukan sekolah di Indonesia yang siswanya begitu penuh kemarahan sampai baik hampir semua siswa maupun orang tua tidak memperlakukan guru dengan hormat. Di film "Detachment" ada adegan di mana guru diludahi oleh siswa, guru dibentak oleh orang tua karena anaknya di-skors, siswanya berbicara menggunakan bahsa yang sangat kotor.

Bukan berarti tidak ada kasus semacam itu di Indonesia. Tetap ada kasus-kasus khusus di mana hal-hal tersebut terjadi, tapi setahu saya tidak separah apa yang saya lihat di film "Detachment" (untuk tahu detailnya silakan nonton sendiri filmnya).

Tentu saja, saya tidak mengatakan bahwa masalah pendidikan di Indonesia lebih sederhana. Tetap saja masalah pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Masih ada masalah korupsi di bidang pendidikan yang belum berhasil diberantas, sistem birokrasi pendidikan yang rumit dan berliku, tidak meratanya kualitas pendidikan, distribusi guru yang tidak merata, dan kurangnya akses terhadap bacaan yang berkualitas di berbagai daerah, dan sebagainya. Tapi, rasanya, kalau ada perbaikan sedikit saja di beberapa aspek-aspek tersebut, efeknya bisa besar, termasuk di level nasional. Mungkin saya naif, tapi rasanya perbaikan itu masih mungkin terjadi. Semoga saja, guru-guru Indonesia tidak perlu pernah merasa se-frustasi guru-guru di film "Detachment". Semoga!

Comments

Anonymous said…
Pengalaman saya bekerja bersama gur u yang berasal dari luar negeri (baca; Australia dan lain sebagainya) yang mengajar di Indonesia, mereka heran dan kagum melihat dan merasakan rasa hormat di kalangan murid-murid yang mereka ajar.
Sebuah hal yang langka di negaranya, mestinya hal ini bisa jadi modal bagi guru di Indonesia untuk lebih giat mengajar dan belajar kembali untuk jadi guru profesional.
Iya saya sepakat, Pak Agus. Itu yang saya rasakan ketika menonton film Detacment. Kalaupun ada siswa yang bandel-bandel sedikit, saya rasa itu wajar. Tapi jarang yang kurang ajarnya kebangetan seperti yang ada di film Detachment.
Maria Etha said…
Filmnya diputar dimana mbak? Salam kenal.
dapat kopiannya dari suamu Bu Maria. :)
Robert Lino said…
Terima kasih atas komentar Anda terhadap film tersebut. Saya telah menonton film tersebut setahun yg lalu tetapi baru mendapat tambahan prespektif mengenai konteks film dari ulasan Anda.
Saya menonton nya dan jujur saya suka sekase,walau ketika akan ending saya agak bingung tapi yeah pelajarannya banyak banget yg bisa diambil dari nih film
Unknown said…
Ada yg punya link downloadnya?? Buat penelitian soalnya
Anonymous said…
http://d21.asia/detachment-2011/

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)