[TERJEMAHAN] Apa yang dikatakan 4 orang guru kepada Obama saat makan siang
* diterjemahkan dari “What 4 teachers told Obama over lunch”
oleh Valerie Strauss,
10 Juli 2014
http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2014/07/10/what-4-teachers-told-obama-over-lunch/?tid=pm_local_pop
Diterjemahkan
oleh: Dhitta Puti Sarasvati (setelah membaca posting tulisan ini di wall Pak
Lody F. Paat)
President Obama makan siang bersama
Sekretaris Penddikan Arne Duncan dan empat orang guru untuk berbincang-bincang tentang
pendidikan, proses mengajar, dan reformasi sekolah. Yang dikatakan oleh
guru-guru kepada Obama akan dijelaskan dalam posting berkut yang ditulis oleh
Justin Minkel, Guru Terbaik Arkansas tahun 2007, komite dari the National Network of State Teachers of
the Year (Jaringan Guru Terbaik Tahunan Negara Bagian), dan anggota dari Center for Teaching Quality’s Collaboratory.
Dia menulis dua blog, Teaching for
Triumph dan Career Teacher.
Silakan ikuti dia di Twitter: @JustinMinkel
---
Oleh: Justin Minkel
President Obama biasanya dideskripsikan
sebagai pembicara yang ulung. Minggu ini saya belajar bahwa dia adalah
pendengar yang ulung juga.
Meja di West Wing telah disiapkan
untuk enam orang: Bapak presiden,
Sekretaris Pendidikan Arne Duncan, dan empat orang guru. Pembicaraan
yang berlangsung selama 1 jam tersebut serius tapi santai. Keempat orang guru
yang diundang telah mengajar di sekolah yang sangat miskin selama lebih dari satu dekade, dan Bapak Presiden menanyakan kepada kami beberapa pertanyaan yang
ada dalam pikirannya karena mengharapkan jawaban dari kami.
Presiden ingin tahu: Kenapa kami
bertahan di sekolah-sekolah tempat kami mengajar? Apa yang bisa dilakukannya
bersama dengan sekretaris pendidikan untuk mendukung guru di sekolah-sekolah
yang paling membutuhkan dukungan? Kebijakan apa yang bisa memastikan bahwa
siswa yang paling membutuhkan guru yang berkualitas, bisa dapat kesempatan
belajar dari mereka.
Ini yang kami katakana kepadanya:
Ini yang kami katakana kepadanya:
1. Tidak ada yang salah dengan
anak-anak
Saya bertanya pada Dwight Davis, guru
kelas lima keturunan Afrika-Amerika yang dibesarkan di Washington, D.C.,
mengapa dia bertahan mengajar. Dia tidak berkata, “Demi anak-anak dan keluarga
anak-anak”.
Kami bercerita mengenai siswa-siswa
kami kepada presiden. Saya menceritakan mengenai Cesar, siswa kelas dua yang
memenangkan 10 USD dalam sebuah juara menulis. Ketika saya tanyakan kepadana, uang
kemenangannya mau digunakan untuk apa, dia berkata, “ Saya akan memberikan ini
pada ibuku untuk membantunya membeli makanan untuk keluarga kami.”
Kepada presiden, saya ceritakan
tentang Melissa, siswa kelas dua yang menjadi satu-satunya orang literate (bisa memaknai bacaan) di
keluarganya berkat kegiatan home library
project dan support yang cukup
banyak dari sekolah. Ketika kami sedang membaca bersama suatu hari, Melissa
mengatakan padaku, “Sekarang ketika ibuku dan adik perempuanku dan saya sedang
menonton televisi mereka berkata ‘Melissa, tolong matikan televisinya dan bacakan
sesuatu untuk kami’ jadi saya membaca untuk mereka”
Siswa seperti Melissa dan Cesar, yang
masuk ke dalam kelas dengan tantangan yang lebih besar daripada siswa-siswa yang
lebih berada, bukanlah halangan bagi guru yang terampil untuk mengajar di
sekolah-sekolah miskin. Mereka justru menjadi motivasi.
2. “Tanggung jawab dan kesenangan
bisa berjalan beriringan.”
Program The No Child Left Behind masih berefek buruk pada sistem pendidikan
di setiap tingkat. Kreativitas, rasa ingin tahu, dan keinginan untuk
bereksplorasi telah dihilangkan dari pengalaman siswa di sekolah, khususnya di
sekolah yang siswanya kondisinya sulit, sekadar demi habis-habisan meningkatkan nilai
tes.
Dibandingkan menjadi tempat belajar
sastra, tempat melakukan percobaan-percobaan sains, melakukan tantangan mendesain sesuatu, siswa
di sekolah justru menerima kurikulum yang kaku, buku-buku persiapan ujian, dan
lembar-lembar kerja (latihan soal). Kekakuan tersebut meghasilkan pekerjaan yang
membosankan dan tak bermakna.
Guru-guru yang saya kenal sebenarnya
sangat ingin bekerja keras demi siswa-siswa seperti Cesar dan Melissa. Tapi
mereka tidak tertarik untuk bekerja di kelas-kelas yang steril, minim karya
sastra dan seni, kelas yang minim proses membangun kemampuan berpikir kritis
demi men-drill siswa mengenai mana diantara satu diantara
empat bola yang harus dipilih (red: soal latihan mengenai peluang di
matematika). Rendahnya kualitas soal ujian, sebenarnya tidak penting mana bola
yang dipilih. Testing yang sangat rendah kualitas desainnya tidak akan
memberikan para siswa wawasan yang lebih luas, keterampilan untuk sukses di
perguruan tinggi dan bekerja, ataupun memberikan mereka kesempatan untuk hidup
secara bermakna.
Seorang penulis bernama Philip Pullman berkata “Tanggung jawab dan kesenangan bisa berjalan beriringan – dan kalau kita mau guru-guru yang terampil untuk mengajar di sekolah-sekolah yang sangat miskin – kita harus kembali menciptakan mereka kesenangan itu (red: menciptakan kesenangan untuk belajar secara bermakna, tidak semata-mata demi ujian yang rendah kualitasnya)
3. Ini bukan tentang guru yang baik
ataupun guru yang buruk. Ini tentang pengajaran yang baik dan pengajaran yang
buruk.
Guru-guru di sekolah saya kini jauh
lebih baik daripada ketika kami masih mengajar 5 tahun yang lalu. Alasannya
sederhana: Kami bekerja dengan prinsip-prinsip dasar kami untuk mendesain
budaya kolaborasi, inovasi, dan
membiasakan peer observation (observasi teman sejawat), waktu
yang kita miliki bersama di sekolah selalu diisi dengan pengembangan profesional .
Kamu tidak akan pernah mendengar
seorang guru mengatakan pada siswanya, “ Dia adalah pembelajar yang buruk –
kita butuh mengeluarkannya (dari sekolah).” Tapi, biasanya itu yang biasanya
jadi solusi ketika para reformers dari luar sekolah lakukan ketika menghadapi “guru
yang buruk”.
Ada sebagian guru yang tidak bisa atau tidak akan menjadi
lebih baik – tapi mereka adalah sebagian kecil dari guru-guru yang ada. Kalau
kita memberikan kegiatan mentoring, waktu untuk melakukan kolaborasi, dan
pengembangan profesi yang terkait dengan profesi mereka, kebanyakan guru akan
meningkat kapasitasnya. Kebanyakan orang ingin menjadi lebih baik dalam apa
yang mereka kerjakan. Biasanya itu benar khususnya bagi orang-orang yang
memilih berprofesi untuk bekerja bersama anak-anak.
Saya bukanlah guru yang baik ketika
saya mulai mengajar, dan kini pun saya belum menjadi guru yang saya idamkan 5
tahun mendatang. Saya telah menjadi
lebih baik dari sebelumnya, sama seperti
halnya orang lain – baik para dokter, pilot, bahkan presiden – semuanya makin
lama makin baik dalam profesinya: melalui kegiatan refleksi, kolaborasi, dan
mentoring.
Iya, benar bahwa kita ingin merekruit
guru-guru baru yang bisa berjalan masuk kelas dengan potensi kegigihan yang
tinggi, kecerdasan, dan cinta kasih. Tapi kita tidak perlu menukar semua guru
yang buruk dan biasa-biasa saja dengan guru tang lebih baik, sama seperti
halnya kita tidak perlu menukar siswa-siswa kita yang ‘perlu berjuang’ dengan
siswa-siswa yang lebih cerdas. Yang perlu kita lakukan adalah membangun sistem
untuk mendukung setiap guru sehingga mereka mau bekerja keras untuk beralih dari
biasa-biasa saja menjadi lebih kompeten, dari yang kompeten menjadi lebih
sempurna, dan bahkan melebih itu.
4. Kalau kita mau siswa kita untuk
bisa berinovasi, berkolaborasi, menyelesaikan masalah-masalah riil di dunia,
kita perlu memberikan guru kesempatan untuk melakukan hal yang sama
Sistem yang kita ciptakan untuk guru
memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kelas yang kita desain untuk siswa.
Guru telah lama dipandang sebagai seorang konsumen dari kebijakan-kebijakan,
program pembembangan profesional, kurikulum,
riset, padahal kita seharusnya menjadi rekan yang sama-sama menciptakan itu
semua.
Kondisi kerja yang paling diimpikan
oleh guru-guru Generasi X dan Y justru terkait dengan hal-hal yang tidak langsung
terlihat seperti otonomi untuk mengambil keputusan sendiri, waktu untuk melakukan
kolaborasi, dan kesempatan untuk melakukan inovasi.
Kurikukum yang kaku, persiapan-persiapan ujian, dan micro-management adalah lebalikan dari budaya sekolah yang ingin dibanguntersebut, dan mereka punya pengaruh yang ironis terhadap baik terhadap recruitmen guru baru dan mempertahankan guru-guru yang lama.
Kurikukum yang kaku, persiapan-persiapan ujian, dan micro-management adalah lebalikan dari budaya sekolah yang ingin dibanguntersebut, dan mereka punya pengaruh yang ironis terhadap baik terhadap recruitmen guru baru dan mempertahankan guru-guru yang lama.
Berita yang memberikan harapan baik adalah bahwa kita bisa menciptakan kondisi-kondisi yang sempurna di sekolah-sekolah miskin. Kondisi tersebut benar-benar ada di mana saya mengajar: Sekolah Dasar Jones, sebuah sekolah dengan 99% siswa miskin dan turnover guru 0%.
Setiap tahun kami menerima siswa-siswa yang masuk dalam keadaan marah, tidak punya rasa hormat, dan malu terhadap kesulitan mereka dalam belajar. Siswa-siswa yang sama ini menjadi akademisi yang perhatian, penuh kasih sayang begitu mereka menerima apa yang benar-benar mereka butuhkan, rasa percaya pada guru-guru mereka.
Tidak ada yang salah dengan
siswa-siswa ini. Ada begitu banyak yang salah dengan sistem – tapi tidak ada
yang sebenarnya tidak bisa diubah. Inovasi seorang guru di dalam kelas tidak
akan bisa mengobati semua penyakit yang ada di dalam sistem. Tapi bagaimanapun,
itu adalah cara yang sangat baik untuk mulai. Hal terakhir yang disampaikan oleh
presiden kepada kami adalah, “Kaliam semua membuatku merasa ada harapan.”
Presiden Obama, anda juga membuat kami merasa ada harapan juga.
Comments