Test Keperawanan: Sebuah Pemikiran Instan untuk Menanggulangi Seks Bebas
Test Keperawanan: Sebuah Pemikiran Instan untuk Menanggulangi Seks Bebas
Oleh : Dhitta Puti Sarasvati
(Tulisan ini pernah dimuat di majalah Potret Edisi 38 tahun 2010 dan telah direvisi pada 20 Agustus 2013)
Saat saya pertama kali mendengar usulan DPRD Jambi mengenai perludiadakannya test keperawanan untuk siswi, saya benar-benar merasakaget. "Ide gila," pikir saya. Absurd!
"Bagaimana caranya?" tanya saya dalam hati. Apakah siswi-siswi lulusanSD yang masih berusia sekitar 12 tahun harus diperiksa vaginanya satu per satu? Kalau iya, betapa memalukan dan menyakitkannya hal ini bagi perempuan! Setiap manusia memiliki hak atas tubuhnya, tak terkecuali perempuan. Seorang perempuan berhak menolak untuk menunjukkan vaginanya kepada orang lain, tak terkecuali seorang dokter. Sungguh tidak adil apabila sebuah kebijakan memaksakan seorang perempuan untuk membuka kemaluannya untuk diperiksa demi alasan, "test keperawanan".
Yang membuat hati saya lebih geram adalah alasan test keperawanan digunakan untuk menangkal seks bebas serta memberikan rasa malu kepada para siswi. Bagi saya alasan ini menunjukkan betapa sempitnya pemikiran si pencetus ide. Test keperawanan seakan-akan sebagai jalan instan untuk mencegah seks bebas. Dan sesuatu yang instan tidak akan menyelesaikan akar permasalahan.
Ada berbagai cara untuk mencegah terjadinya seks bebas di kalangan siswa dan kunci utamanya adalah pendidikan. Pendidikan membuat siswa-siswi kita mengerti terhadap konsekuensi dari sebuah sikap yang dipilihnya. Pendidikan di sini maksudnya adalah pendidikan yang terjadi di rumah, sekolah, masyarakat, maupun pendidikan melalui berbagai media massa.
Bagaimanakah kondisi rumah dan lingkungan masyarakat tempat siswa-siswi kita tinggal?
Saya pernah memiliki seorang murid kelas 2 SD yang suka menciumi teman-teman perempuan di sekolahnya sehingga membuat mereka ketakutan. Ternyata ia tinggal disebuah rumah sempit bersama pamannya yang pamannya sering membawa perempuan ke rumahnya. Karena itu, sang anak sering melihat hal-hal yang tidak seharusnya. Apakah siswa-siswi kita tinggal di rumah (serta lingkungan) yang cukup aman sehingga mereka bisa belajar, melalui contoh, bahwa 'prilaku seks bebas' bukanlah prilaku yang semestinya?
Bagaimanakah proses pendidikan di sekolah sehingga memungkinkan siswa-siswi mampu bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang dibuatnya?
Saya memiliki seorang teman yang merupakan guru yang melakukan sesuatu yang sangat menarik saat memergoki murid-murid SMU-nya menonton sebuah film porno sepulang sekolah. Begini katanya, "Ah itu saja tidak ada apa-apanya! Sebegitu dibilang porno, ayo kita menonton film porno bersama-sama!"
Akhirnya ia mengajak siswa-siswinya menonton sebuah film 'porno'bersama. Film tersebut merupakan film dokumenter mengenai proses melahirkan. Setelah menonton film siswa diajak berdiskusi membahas apa yang dipelajari oleh para siswanya setelah menonton film ini.
Tujuan pemutaran film mengenai proses melahirkan bukan untuk menakut-nakuti siswa mengenai proses melahirkan, melainkan untuk mengajak mereka berpikir bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya? Menonton film porno bisa merangsang siswa untuk 'penasaran' mencoba berhubungan seks. Bagi perempuan, itu berarti ada kemungkinan baginya untuk hamil yang tentunya akan berpengaruh bagi masa depannya. . Bagi laki-laki artinya akan ada tanggung jawab lebih. Apakah siswa sudah siap?
Di sekolah lain, seorang guru yang lain memergoki siswanya 'pacaran secara berlebihan'.Suatu hari ia mengajak siswa dan pacar siswanya ke sebuah panti bayi . Di sana mereka berdua diminta untuk mengurus bayi-bayi di panti selama seharian penuh. Siswa tersebut (dan pacarnya) pun belajar bahwa mengurus bayi bukanlah hal yang mudah, apalagi di usia yang sangat muda. Mereka pun mulai berpikir ulang mengenai gaya pacaran mereka. Apakah mereka akan siap akan konsekuensinya?
Kedua contoh proses pendidikan di atas merupakan contoh di mana siswa dajak berpikir mengenai pilihan-pilihan yang dibuatnya. Apakah proses pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia (pada umumnya) memungkinkan hal ini terjadi?
Bagaimana peran media dalam mendidik masyarakat, termasuk siswa-siswi terkait seks bebas?
Selain pendidikan di lingkungan rumah dan sekolah, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah media. Pernahkah kita memerhatikan media-media di sekitar kita (televisi, radio, internet, majalah, dan sebagainya)? Bagaimana seks (pada remaja) digambarkan di media kita?Apakah ada kontrol yang baik dari pemerintah sehingga media kita, seperti televisi, menayangkan hal-hal yang sifatnya edukatif?
Dengan kacamata awam saja, saya menemukan bahwa banyak media, termasukdi antaranya televisi, dan majalah remaja, yang tidak edukatif. Saya pernah menonton sebuah sinetron yang ditayangkan selepas magrib dan ada adegan di mana seorang perempuan diperkosa. Film ini ditayangkan pada jam-jam di mana siswa-siswi kita belum tidur. Apakah layak?
Sementara media di Indonesia belum terkontrol dengan baik,bagaimanakah para orang tua dan guru mendidik siswa dalam bersikap terhadap media? Apakah kita membiarkan siswa-siswi menelan apa yang dilihat dan dibacanya secara mentah-mentah? Ataukah kita membuka ruang diskusi untuk membahasnya sehingga, siswa-siswi kita mampu memiliki sikap kritis terhadap media?
Begitu banyak hal yang mempengaruhi siswa-siswi kita sehingga beberapa di antaranya memilih untuk melakukan seks bebas. Menyelesaikan masalah mengenai seks bebas pada siswa tidak bisa dilakukan melalui test keperawanan (yang bahkan diragukan validitasnya) tetapi justru perlu dilakukan melalui pendidikan. Tentunya pendidikan yang menyeluruh, di rumah, sekolah, masyarakat, dan melalui media.
Comments
disana terlihat bahwa sejak dari kecil orangtua dan pengajar di sekolah memberikan bekal supaya mereka bisa belajar sex education & tidak terlibat hal-hal yang merugikan mereka nantinya.
anak-anak balita misalnya, diberitahu oleh orangtuanya, bahwa tubuh mereka ada sesuatu yang harus dijaga & alat kelamin hny boleh diperlihatkan kepada ayah/ibu.
ini juga utk mencegah mereka menjadi korban kasus pedofilia, contohnya.
orangtua dan guru merencanakan pertemuan rutin utk membahas perkembangan anak. termasuk hal-hal yg bisa mereka perbaiki dalam metode belajar atau kurikulum.
mungkin pembuat kurikulum di Indonesia terlalu malas, utk merancang sex education yang tepat.
jadi dipikir tes keperawanan-lah cara yang tepat & praktis.
sy sebagai warga negara Indonesia, tentunya pasti sangat malu kalo hal ini sampai terjadi.
tanda sebuah kemunduran bangsa, setelah 68 tahun merdeka :(
Benahi dulu tuh pendidikan + kurikulum,, dan buat para ortu, sbaiknya lebih waspadai terutama utk anak gadis'y Ƴά̲п̥ƍ beranjak dewasa,, beri pengetahuan soal agama dan bagaimana bahaya seks itu sndiri,,