Tips Menulis di Media Cetak dari Doni Koesoema
Hari ini saya senang karena bertemu salah satu penulis favorit di bidang pendidikan. Namanya Pak Doni Kusuma. Pak Doni sering menulis di media cetak diantaranya "Eklektisme Kurikulum 2013" dan "Panik Sertifikasi" , "Berpusat pada Pembelajar", dan "Bercermin dari Keterbelakangan Kita". Dia juga menulis beberapa buku bertema mengenai Pendidikan Karakter. Yang paling saya sukai adalah "Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger" karena menurut saya tulisannya membantu saya berefleksi. Salah satu hal yang saya ingat dari buku tersebut adalah bahwa setiap hal terkait satu sama lain. Saat melihat sebuah isu, selain membahas isu dari tataran mikro-nya kita juga harus berusaha memahami big picture-nya.
Jadi, saya bertemu dengan Pak Doni karena kami sama-sama menghadiri sebuah forum diskusi pendidikan yang diselenggarakan oleh Media Indonesia. Saya menyapanya dan ternyata dia mengenali saya.
"Saya suka baca tulisan-tulisan Mbak Puti," katanya sebelum melangkah keluar pintu ruangan. Tentu saja itu membuat saya serasa melayang. Siapa yang tidak senang tulisannya dibaca oleh salah penulis favorit-nya? Kami pun berpisah
Namun, tak lama kemudian kami bertemu lagi. Pak Nanang, Bu Itje, Pak Hotben dan saya sedang berkumpul di dekat eskalator untuk membahas rapat IGI berikutnya. Kami melihat Pak Doni yang hendak turun dari eskalator. Pak Nanang menegur Pak Doni dan akhirnya kami ngobrol lagi. Kali ini lebih panjang.
Dia mengusulkan agar saya (dan yang lainnya) mencoba menulis di media cetak. Dia memberikan beberapa tips untuk menulis di media cetak.
"Ada beberapa trik agar tulisan dimuat di media cetak," katanya.
Menurutnya kita harus mengenal karakter media cetak, tempat kita akan mengirimkan tulisan. Tiap media cetak punya "ciri khas" sendiri yang tidak dipunyai oleh media cetak lain.
"Dulu saya berkali-kali menulis ke sebuah media cetak. Ditolak terus. Saya coba pelajari, apa yang salah. Saya pelajari gaya penulisan orang-orang yang dimuat di media tersebut."
"Kalau tulisan kita ditolak, biasa itu. Waktu saya menulis untuk koran itu bertahun-tahun tulisan saya ditolak."
Dia menceritakan bahwa seorang mahasiswa mengirimkan tulisannya ke sebuah koran sampai 80 karya dan dimuat hanya satu kali. Pertama mungkin tulisannya kurang aktual atau kurang berisi. Diperbaiki lagi, ternyata tidak koheren, antar paragraf tidak nyambung atau subjek dan predikatnya tidak jelas. Sudah diperbaiki, masih ada kekurangan lagi, misalnya tidak ada kesimpulan (paragraf penutup). Tapi coba aja terus. Lama-lama kita lebih mahir dan bisa mulai paham trik-nya.
"Kalau ada isu aktual memang kita harus cepat-cepat menuliskannya. Hari ini isunya, malamnya kita harus langsung menuliskannya, tentu saja ini butuh perbendaharaan wawasan dan data yang cukup," katanya.
Saat dia mengatakan hal tersebut saya melihat Pak Nanang yang berdiri di sebelah saya. Matanya melotot sambil berkata, "Nah!"
Sepertinya Pak Nanang ingin mengatakan, "Nah! Itu tips penting yang perlu diingat!"
Saya teringat, saya tidak selalu tekun dalam menyimpan data. Kalau saya lebih rapi dan tekun dalam menyimpan data, mungkin itu akan memudahkan saya untuk menulis di media cetak. Setidaknya saya tahu harus mencari bahan dari mana.
Pak Doni juga mengingatkan bahwa tentu saja kita akan bersaing dengan penulis lainnya, yang mungkin dianggap lebih kapabel untuk membahas isu yang aktual tersebut.
"Tapi kita bisa juga dalam format semacam feature", katanya memberi tips, "Aktual tapi diambil dari sudut pandang yang bisa bertahan lebih lama, jadi walaupun isunya sudah lewat, tapi tulisannya tidak menjadi basi."
Pak Doni kemudian menjanjikan saya bahwa dia bersedia melakukan proof reading untuk tulisan-tulisan saya. Dia bersedia memberikan masukan agar tulisan saya bisa diperbaiki. Tentu saja saya bersedia. Yang penting nulis dulu deh! Bismillah. :)
Comments