Membaca "Sepatu Dahlan"
Seorang teman pernah mengatakan,
manusia punya kebebasan untuk memilih
melakukan apapun yang dikehendaki, tetapi manusia tidak bisa memilih
konsekuensinya. Apapun pilihan kita, kita harus siap menanggung konsekuensinya.
Menurut saya, menyadari bahwa setiap hal yang kita lakukan pasti ada
konsekuensinya, adalah bagian dari proses menjadi lebih dewasa
Buku “Sepatu Dahlan” karya
Khrisna Pabicara bercerita tentang kisah seorang anak lulusan SD bernama Dahlan
yang kemudian melalui begitu banyak peristiwa sehingga kemudian belajar menjadi
lebih dewasa.
Pesan mengenai kesadaran akan
suatu konsekuensi itu saya temui mulai bab pertama hingga bab-bab berikutnya. Dahlan
lulus SD dengan nilai yang bervariasi. Meskipun ada tiga angka sembilan yakni
untuk pelajaran Menulis, Gerak Badan, dan Menyanyi, tetapi ada dua angka
merah yaitu untuk pelajaran berhitung
dan bahasa daerah. Mendapatkan nilai merah di rapor, pasti ada konsekuensinya. Meskipun
siswa lain berbahagia telah lulus SD, perasaan Dahlan tidak begitu. Dahlan
gelisah, takut tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah oleh Bapaknya. Hal ini
diungkapkan oleh Dahlan di dalam buku hariannya. Di sana tertulis, “Pak, Dahlan masih boleh sekolah kan?”
Dahlan ternyata tetap boleh sekolah, tetapi ternyata
bukan di SMP Magetan, sekolah impian Dahlan selama ini. Bapaknya hanya
mengizinkan Dahlan masuk Tsanawiyah Takeran yang biayanya lebih ringan. Agar
bapaknya mengizinkan agar Dahlan masuk SMP Magetan, Dahlan pernah mencoba
membohongi bapaknya. Bapak sangat menghormati seorang Kyai bernama Kyai Mursyid.
Dahlan ingin mengaku bermimpi bertemu Kyai Mursid dan dia menyarankan agar
Dahlan bersekolah di SMP Magetan. Tenti saja. Mimpi tersebut tidak pernah
benar-benar terjadi. Ini hanya akal-akalan Dahlan saja agar mendapatkan
persetujuan bapaknya. Saat Dahlan mulai mencoba berbohong ternyata Bapaknya mempercayai
setiap kata-katanya. Berbohong hanya agar
keinginan kita tercapai ternyata menyiksa. Dahlan mulai menyadari hal tersebut.
Air matanya menetes sehingga akhirnya dia pun memutuskan untuk bersekolah
di Tsanawiyah Takeran. Apa gunanya
mencapai keinginan ketika kita terus menerus diliputi rasa bersalah?
Mendapatkan sesuatu dengan tidak baik, konsekuensinya adalah menanggung rasa
bersalah. Dahlan belajar mengenai hal tersebut.
Suatu hari, Zain, adik Dahlan
yang lebih kecil sedang kelaparan. Dahlan baru selesai mengambil kelapa. “Mas,
bagi kelapa..” kata Zain.
Sepertinya karena malas, Dahlan
menyuruhnya mengambil kelapa sendiri. Zain pun menurut. Dia berusaha memanjat
pohon kelapa tetapi tubuhnya sedang lemas, tidak bertenaga. Dia pun terjatuh ke
parit. Dahlan merasa sangat bersalah. Sikap egois ternyata ada konsekuensinya.
Sikap seperti itu bisa menyebabkan seseorang terluka, mungkin memang bukan
terluka secara fisik (seperti yang dialami Zain), tetapi bisa juga terluka
secara psikis. Itu konsekuensi dari bersikap egois. Memang setiap hal ada
konsekuensinya.
Buku “Sepatu Dahlan” menggambarkan
petualangan Dahlan dari lulus SD hingga lulus Madrasah Alawiyah. Selama itu
Dahlan punya satu cita-cita. Memiliki sepatu. Akhirnya, Dahlan memang memiliki
sepatu, tetapi selama perjalanannya memperoleh sepatu, ada begitu banyak hal
yang dilalui oleh Dahlan. Mulai dari ketahuan mencuri tebu sehingga
dikejar-kejar pedagang ladang tebu, ditegur saudagar buah karena Dahlan (tidak
sengaja) merusakkan sepeda temannya, sampai nyaris kehilangan persahabatan. Di
setiap kejadian tersebut, Dahlan belajar bahwa apapun yang dia lakukan pasti ada
konsekuensinya. Kalau melakukan hal buruk, pasti konsekuensinya sesuatu yang
tidak mengenakkan mulai dari merasa bersalah, ada kejadian yang tidak
mengenakkan, dan sebagainya.
Di sisi lain, Dahlan juga belajar
bahwa saat melakukan hal yang baik juga akan ada hal yang bisa dipetik,
meskipun tidak selalu seketika. Kesungguhan Dahlan saat bermain dalam
pertandingan voli antar sekolah membukakan kesempatan baginya untuk bekerja
sebagai pelatih voli. Penghasilannya dari sana membantunya mengumpulkan uang
untuk membeli sepatu.
Menjunjung tinggi persahabatan juga
penting. Dahlan punya sahabat-sahabat bernama Arif, Imran, Maryati, Komariah,
dan Kadir. Dipicu oleh suatu peristiwa sejarah pada tahun 60-an, yang
berpengaruh pada aspek-aspek pribadi, seperti keluarga menyebabkan Arif dan Kadir
pernah tidak mau saling bertegur sapa. Hal tersebut menyebabkan kakunya
hubungan antara semua, baik Dahlan maupun Arif, Imran, Maryati, Komariah, dan Kadir.
Dengan bantuan Bapaknya, Dahlan mencoba membantu mendamaikan keduanya. Bapak
mengundang Arif, Imran, Maryati, Komariah ke rumah kemudian menceritakan sebuah
kisah tentang “Perseteruan Murid Zen” mengenai peseteruan antara tiga orang
sahabat, yang masing-masing merasa paling benar. Kisah tersebut menyentuh hati remaja-remaja
yang sedang dilanda krisis persahabatan tersebut sampai akhirnya mereka
memutuskan untuk memperbaiki hubungan satu sama lain. Apa serunya melewati sisa
masa sekolah dengan sikap dingin satu sama lain? Lebih baik memperkokoh
persahabatan agar semua individu juga menjadi lebih kokoh. Persahabatan bisa
menjadikan seseorang menjadi lebih kuat, karena seorang sahabat pasti akan
mendukung kita di saat terberat. Masalah yang menyusahkan jadi lebih mudah
dilalui. Hal tersebut tak akan bisa dilakukan sendiri.
Saat sebuah cita-cita sederhana,
seprti memiliki sepatu, tercapai biasanya seseorang memiliki percaya diri untuk
melangkah ke tahap selanjutnya, mungkin sebuah cita-cita yang lebih besar. Ini
mengingatkan saya pada sebuah pepatah kuno Cina “A journey of a thousand miles begin with a small step” yang artinya
sebuah perjalanan beribu mile dimulai dengan sebuah langkah kecil. Intinya
sebuah pencapaian besar hanya bisa kita dapatkan setelah kita melakukan
pencapaian-pencapaian kecil.
Meskipun begitu cita-cita sekecil
apapun pasti ada konsekuensinya. Berani bercita-cita artinya juga harus berani
untuk sabar, merasa kecewa, merasa seperti roller
coaster karena banyak hal yang tidak akan terduga. Tapi kalau kita teguh
hati dan pantang menyerah, satu langkah akan berhasil kita lewati. Dan langkah
lain akan siap menanti. Berani?
Comments