Siswa saya dan Twitter
Suatu hari, seorang murid saya yang masih SMP mengirimkan "print screen" berupa salah satu komen twitter saya ke saya. "Ibu menulis ini yah?" tanyanya pada saya.
Sejak kejadian itu, saya sadar bahwa guru di zaman sekarang harus sangat berhati-hati dalam menggunakan berbagai media sosial. Ada kemungkinan besar bahwa siswa-siswa kita (yang begitu melek dengan teknologi) mengawasi kita. Yang diperlukan guru bukan hanya keterampilan untuk menggunakan teknologi, tetapi juga sikap yang baik untuk bisa memanfaatkan teknologi dengan bijaksana.
Ada kejadian lain. Saya pernah memosting sebuah ungkapan di twitter. Tulisannya begini :
"One of my best learning experience is being frustated, then finding an AHA moment."
Keesokannya di kelas, saya mengajak mahasiswa saya membahas mengenai problem solving. Saya bercerita mengenai pernyataan seorang profesor matematika di Princton University yang menganggap bermatematika itu seakan-akan masuk ke dalam sebuah ruang yang gelap (dan banyak barangnya). Ruang ini gelap dan saklarnya ntah di mana. Setelah mengenali sekitarnya dengan indera perabanya, suatu saat dia menemukan saklar dan kemudian menemukan cahaya. Untuk menemukan saklar ini bisa membutuhkan waktu sebentar maupun lama, tergantung situasinya. Tepatnya beginilah tulisannya :
Perhaps I can best describe my experience of doing mathe matics in terms of a journey through a dark unexplored mansion. You enter the first room of the mansion and it’s completely dark. You stumble around bumping into the furniture, but gradually you learn where each piece of furniture is. Finally after six months or so, you find the light switch, you turn it on, and suddenly it’s all illuminated. You can see exactly where you were. Then you move into the next room and spend another six months in the dark. So each of these breakthroughs, while sometimes they’re momentary, sometimes over a period of a day or two, they are the culmination of—and couldn’t exist without—the many months of stumbling around in the dark that precede them.(Byers, 2007)
Seorang mahasiswa saya bertanya, "Loh kok bisa sih seorang profesor merasa gelap saat bermatematika? Bukannya dia pernah belajar matematika sebelumnya? Masa sih tidak ada sedikitpun cahaya?"
(Kurang lebih begitu inti pertanyaannya)
Saya pun bertanya kembali, pernah tidak kalian berkutat dengan sebuah masalah matematika, misalnya. Kalian tidak tahu harus diapakan. Tiba-tiba suatu saat anda seperti menemukan cahaya. Tiba-tiba merasakan, "AHA!" Apa yang tadinya gelap menjadi terang.
"Oh itu maksudnya!" kata mahasiswa saya seperti mendapatkan pencerahan.
Di sisi lain kelas saya mendengar celetukan beberapa mahasiswa (bukan hanya satu), "AHA moment yah Bu?"
Saya tersadar, mereka membaca apa yang saya tuliskan di twitter di malam sebelumnya.
Hal semacam ini terjadi berulang-ulang. Siswa saya bukan hanya membaca status twitter saya tetapi juga status facebook dan tulisan saya di blog. Saya menemukan siswa yang berkata bahwa dia membaca tulisan saya di blog. "Ibu cita-citanya menulis buku anak yah?" tanya seorang mahasiswa kepada saya, "Saya tahu soalnya ibu menuliskan cita-cita tersebut di profil ibu di kompasiana."
Oke deh, ternyata saya diamati oleh siswa-siswa saya, bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Hal serupa mungkin terjadi pada guru-guru lain.
Tentu, kejadian-kejadian ini mengingatkan saya bahwa sebagai seorang guru, kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi dan juga berbagai media sosial. Saat kita menuliskan status di facebook, twitter, maupun menulis blog, ada kemungkinan bahwa siswa-siswa kita mengawasi kita.
Beberapa teman saya memilih membatasi hubungan dengan siswanya di dunia maya, misalnya dengan tidak meng-accept siswanya di facebook (waktu saya mengajar di Inggris, di sekolah & youth center, tempat saya bekerja, ada kebijakan tidak boleh meng-add siswa di facebook untuk alasan privasi dan keamanan).
Kini, saya sendiri, akhirnya memilih untuk meng-add siswa maupun mahasiswa saya di berbagai media sosial. Bagi saya, ini merupakan kesempatan untuk berbagai berbagai informasi maupun pengetahuan yang kiranya bermanfaat untuk mereka. Siapa tahu mereka bisa belajar dari sana.
Tadi saya mengajar mata kuliah 'Classroom Language Strategies : Questioning & Responding'. Saya memberikan sebuah gambar bentuk dua dimensi ke mahasiswa saya. Saya meminta mereka membuat berbagai pertanyaan terkait bentuk tersebut lalu mempraktekkan pertanyaan tersebut di depan kelas. Mereka harus memimpin diskusi dengan pertanyaan yang mereka buat.
Di akhir kelas, seorang mahasiswa mendatangi saya dan mengatakan bahwa bertanya bukan hal yang mudah. Mempelajari teori mengenai bertanya tidak cukup. Ternyata saat praktek dia selalu menemukan ada saja kurangnya.
Di akhir kelas, seorang mahasiswa mendatangi saya dan mengatakan bahwa bertanya bukan hal yang mudah. Mempelajari teori mengenai bertanya tidak cukup. Ternyata saat praktek dia selalu menemukan ada saja kurangnya.
"Padahal sudah berlatih beberapa kali," katanya.
Bertanya pun bukan hal yang mudah, untuk saya sekalipun.
Saya pun berbagi pendapat, "Sampai sekarang pun saya berlatih. Untuk bisa bertanya dengan baik memang perlu banyak berlatih," kata saya, "Di kelas ini, selain mempelajari teorinya, kita akan banyak prakteknya. "
Mahasiswa saya berkata, "Iya Bu! Seperti yang ibu posting di twitter kemarin, link yang tentang Einstein itu!"
Dia melanjutkan, "Di situ kan ditulis bahwa Einstein berkata 'Information is not knowledge. The only source of knowledge is experience."
Saya senang mahasiswa saya bisa belajar sesuatu dari celetukan saya di twitter.
Saya pun menambahkan,"Wah, benar informasi belum tentu adalah pengetahuan. Pengetahuan hanya terjadi kalau kita memaknai informasi kita (misalnya melalui pengalaman). Tetapi di satu sisi punya pengalaman banyak belum tentu berarti kita belajar sesuatu dari itu. Kita belajar kalau kita bisa merefleksikan pengalaman kita."
"Jadi yang penting untuk belajar kita membutuhkan pengalaman dan juga kemampuan untuk berefleksi dari pengalaman," kata mahasiswa saya menyimpulkan.
Saya mengangguk. Saya senang bahwa saya dan mahasiswa saya bisa melakukan perbincangan seperti ini. Padahal kami hanya memperbincangan sebuah status twitter yang hanya kurang dari 140 karakter. Saya selalu berbahagia apabila siswa saya merasakan pengalaman belajar yang bermakna. Twitter pun bisa dimanfaatkan untuk itu.
Sumber : Byers, William. (2007). Turning On The Light. Princton University Press diunggah dari http://press.princeton.edu/chapters/i8386.pdf
Comments