Negeri di Bawah Kabut


Saya jatuh hati pada film dokumenter karya Salahuddin Siregar yang satu ini. Film "Negeri di Bawah Kabut" bercerita tentang kehidupan dua keluarga petani yang hidup di kaki gunung Merbabu.

Di dalam film ini, ada berapa isu yang diangkat, diantaranya mengenai perubahan iklim, UASBN, biaya pendidikan yang tidak terjangkau, juga mengenai kasih sayang orang tua kepada anak.

Arifin (12 tahun) putra dari sepasang petani belajar begitu keras untuk menghadapi UASBN. Ada sebuah adegan yang menunjukkan Arifin bersama temannya memilih mengerjakan PR dibandingkan membantu kedua orang tuanya berkebun. Arifin mengerjakan PR-nya bersama seorang teman sekolahnya. Mereka berbagi buku teks (atau mungkin LKS) dan seakan-akan menyalin sesuatu dari buku tersebut.

"Nanti jam satu saya harus ke sekolah lagi," kata Arifin, "Ada pelajaran tambahan untuk persiapan UASBN."

"Siang disuruh ke sekolah, untuk foto untuk UASBN"
Meskipun tidak sama persis, kurang lebih begitulah inti sebuah percakapan yang ada di film Negeri di Atas Kabut.

Baik di kota, maupun di desa, anak-anak, khususnya yang kelas 6 SD, 3 SMP, atau 3 SMU disibukkan dengan persiapan mengikuti ujian. Jam pelajaran di sekolah menjadi lebih panjang. Banyak juga diantara mereka yang sibuk mengisi ataupun menyalin materi dari buku teks (atau LKS). Seringkali definisi 'belajar' direduksi menjadi hanya belajar apa yang ada di buku (LKS), padahal di sekitar ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari.

Film Negeri Di Bawah Kabut, meperlihatkan kondisi saat UASBN berlangsung. Anak-anak membaca soal UASBN dengan berkomat-kamit. Terlihat bahwa mereka sedang mengerjakan UASBN IPA.

Di satu sisi, desa mereka sedang terkena sebuah masalah. Cuaca di desa mereka tidak menentu. Ada saatnya hari panas sekali, melebih normal. Tetapi yang paling memusingkan adalah bahwa saat musim kemarau, tiba-tiba hujan turun lebih banyak dari biasanya. Akibatnya panen para petani baik berupa kentang, kol, wortel, brokoli, banyak yang membusuk. Perhitungan musim yang selama ini tepat tiba-tiba berubah total. Para petani kebingungan bagaimana menyelesaikan permasalahan ini. Keuntungan yang mereka dapatkan dari hasil berjualan panen pun menurun.

Di sekolah, anak-anak belajar IPA dengan menghafal buku, padahal di desa mereka banyak hal yang bisa diteliti. Kenapa panen menjadi busuk? Kenapa hujan turun begitu lebatnya di musim kemarau? Apakah pestisida yang digunakan oleh petani memang bermanfaat untuk membuat panen tidak busuk? Tapi ilmu seperti ini tentu tidak dipelajari di sekolah.

Ada sepasang suami istri yang keduanya merupakan petani. Nama mereka Muryati (30 tahun) dan Sudardi (32 tahun). Keduanya bersama-sama mencari solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Di hari-hari yang sangat panas jumlah air yang bisa digunakan untuk menyiram kebun terbatas, apalagi di siang hari. Karena itulah Sudardi memutuskan untuk menyiram kebun di tengah malam karena di malam hari jumlah air yang mengalir lebih banyak. Penduduk desa lebih banyak menggunakan air di siang hari daripada di malam hari.

Menariknya, untuk menembus gelapnya malam, Sudardi membuat semacam senter sendiri. Dari seorang teman, Sudardi mendapatkan sebuah baterei handphone yang rusak. Dia juga mendapatkan kabel, lampu, dan saklar dari sebuah alat elektronik bekas. Dengan bahan yang ada dia membuat semacam topi dengan lampu di bagian depannya. Topi ini digunakan untuk menyiram kebun di malam hari.

Maryati, adalah sosok perempuan pekerja keras yang sangat cerdas. Bersama dengan suaminya dia berkebun setiap harinya. Seringkali kedua anaknya dibawanya ke kebun. Yang paling kecil masih balita dan masih belajar berjalan. Saat anaknya mencoba berjalan di kebun ada saatnya anak terjautuh. Maryati tertawa dan membiarkan anaknya mencoba berdiri sendiri. Anak tersebut jatuh lagi dan akhirnya berhasil berdiri. Suatu cara yang sederhana untuk melatih kemandirian. Saat berdua dengan anaknya yang bungsu, Maryati juga sering mengajak anaknya mengobrol. Saat anaknya mulai bisa bicara, Maryati bertanya, "Ada berapa mobil di sana?" sambil menunjuk ke arah jalan yang berada di bawah kebun.

"Sa.. tu, du.. a, ti..ga," katanya.

Suatu saat anaknya memasukkan daun ke mulutnya. Maryati tertawa lalu berusaha agar anak tersebut melepeh daun dari mulutnya, Maryati mengambil sebuah daun yang lain (yang bisa dimakan), "Nah makan yang ini saja!"

Sudardi juga sangat menyayangi anaknya. Kedua anaknya menggunakan wortel dan berpura-pura bahwa wortel tersebut adalah terompet. Di lain waktu ada adegan di mana Sudardi berkata, "Sebentar saya mau ambil wortel dulu."

"Untuk apa?" tanya anak tertuanya.

"Untuk membuat mainan untukmu!"

Di rumah, Maryati dan Sudardi melakukan pencatatan mengenai berbagai pengeluaran sehari-hari. Pencatatan ini dilakukan dengan mendetail, mulai dari jumlah uang yang digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida, jumlah uang yang digunakan untuk membeli beraas, jumlah uang yang digunakan untuk kegiatan kepemudaan di kampung, jumlah uang yang digunakan untuk kegiatan hajatan, dan juga jumlah uang yang digunakan untuk membeli sepatu anak mereka untuk pergi sekolah. Mereka senantiasa mencari strategi agar setidaknya mereka bisa balik modal. Tidak rugi. Jangan sampai biaya untuk membeli pestisida lebih mahal daripada penghasilan yang didapatkan dari hasil menjual panen. Perhitungan harus dilakukan sebaik-baiknya, apalagi kini ketika kondisi panen sedang kurang bagus.

Saat panen, penduduk kampung bersama-sama memanen hasil kebun dan dikumpulkan dalam sejumlah keranjang. Ada kebersamaan di situ. Penduduk berkumpul dan saling tolong-menolong. Mereka memanen hasil kebun sambil berbincang-bincang.

Jam 3 pagi, Maryati bangun. Ada semacam truk yang telah menunggu di depan kampung. Maryati ditemani dengan anaknya, juga beberapa petani lain, menaiki truk menuju kota. Mereka menjual panennya di sana. Maryati berusaha keras bernegosiasi agar hasil penjualan panennya tidak mengalami kerugian.

Tiba waktunya pengumuman UASBN. Menurut guru di sekolah, 20% siswa dari kabupaten tersebut tidak lulus UASBN dan harus mengulang,

"Saya harap (yang tidak lulus) bukan dari sekolah ini," kata guru.
"Amiin," kata anak-anak sebelum mereka melihat pengumuman kelulusan UASBN.

Arfin sangat bahagia. Nilai UASBN-nya paling tinggi di sekolahnya. Dia bangga sekali.

Anak-anak dikumpulkan di kelas. Guru mengabsen anak-anak satu per satu sambil bertanya, "Kamu mau melanjutkan ke negeri tidak?"

Jawaban anak-anak bervariasi. Ada yang mau melanjutkan ke sekolah negeri. Guru mengingatkan anak agar bersemangat karena sekolah negeri tersebut cukup jauh letaknya. Yang memilih bersekolah di sana harap tetap bersemangat meskipun harus berjalan kaki dengan jarak sangat jauh menuju sekolah. Anak lain ada yang menjawab akan melanjutkan di sekolah swasta islam, ada juga yang tidak akan melanjutkan sekolah karena akan menikah.

"Yo, ngak papa kata sang guru."

Di deretan terbelakang, seorang anak perempuan tampak menahan air matanya. Tampaknya di salah satu anak yang tidak lulus UASBN.

Arifin sendiri bagaimana? Meskipun nilai Arifin sangat tinggi, bapaknya Arifin menyarankan dia untuk tidak melanjutkan sekolah melainkan untuk membantu orang tua di kebun. Tampaknya Arifin sempat pasrah. Dia tetap bangga dengan nilainya yang tinggi.

"Anaknya siapa dulu dong!" katanya

Dia juga bertanya, "Bapak dulu lulus ujian tidak?"

"Bapak tidak sekolah. Jadi otomatis langsung lulus!" begitu kata bapaknya sambil tertawa. Mungkin bercanda.

Mereka pun kemudian tertawa. Mesra sekali. Sesungguhnya bapaknya Arifin pun bangga dengan prestasi yang diraih anaknya tetapi untuk melanjutkan sekolah, dia tidak sanggup membayar uang masuknya, apalagi bila ditambah biaya buku dan seragam.

Tetapi, pendapat keluarga Arifin berubah setelah kunjungan sang guru ke rumah. Guru tersebut merekomendasikan agar Arifin melanjutkan sekolah bagaimanapun caranya.

"Saya dulu bersekolah tidak ada uangnya," katanya.

Guru tersebut memberikan saran bagaimana caranya Arifin tetap bisa melanjutkan sekolah. Misalnya dengan mengurangi (meniadakan) uang saku.

Untuk mengumpulkan uang sekitar Rp 350.000 saja, kedua orang tua Arifin kesulitan. Uang tersebut setidaknya untuk biaya pendaftaran dan membeli seragam. Mereka mendatangi tetangga satu per satu untuk meminjam uang. Tetapi para tetangga yang rata-rata juga petani penghasilannya tidak menentu apalagi karena kondisi panen yang sedang payah. Maryati baru saja berhasil menjual panennya di pasar. Ada sekitar Rp0 300.000. Dia meminjamkan Rp 200.000 kepada bapaknya Arifin. Lumayan untuk menjadi modal awal untuk membantu Arifin sekolah.

Arifin tidak bisa masuk sekolah negeri. Biaya seragam, di sekolah negeri di dekat sana lebih mahal daripada di sebuah sekolah asrama di sana. Di sekolah negeri yang ada di daerah tersebut, sekolah menjual bahan dan mereka harus membayar penjahit lagi untuk menjahitkan baju. Di sekolah asrama tersebut, seragam bisa didapatkan di pasar dengan harga yang lebih murah. Kedua orang tua Arifin mengantarkan Arifin ke sekolah baru. Sebuah sekolah asrama Islam. Untuk pertama kalinya Arifin tinggal jauh dari orang tua.

Beberapa waktu kemudian, Maryati mengunjungi keluarga Arifin untuk meminjam bibit untuk berkebun. Dia menanyakan kabar kedua orang tua Arifin.

"Makan jadi susah!" katanya. Kedua orang tua Arifin sangat merindukan anaknya. Ibunya sempat menangis 3 hari setelah ditinggal anaknya. Kangen.

"Kalau saya makan Arifin suka menyomot tempe saya. Ya kangen juga!" kata bapak Arifin.

Film negeri di Bawah Kabut ditutup dengan adegan Sudardi yang bermain dengan anaknya. Penutupnya adalah mengenai rasa cinta orang tua terhadap anaknya.

Film ini adalah sebuah film dokumentar. Tampaknya dialog-dialog di dalam film ini tidak di reka-reka dan memang demikian apa adanya. Pemandangan dalam filmnya sangat indah. Angle yang digunakan untuk merekam peristiwa sehari-hari di desa tersebut pun sangat menarik. Menurut saya yang mengedit film sangat cekatan sehingga bisa menghasilkan cerita yang mengalir dan begitu indah. Meskipun alur film ini cukup lambat, saya sungguh bersyukur bisa menonton film ini. Perasaan saya diaduk-aduk melihat berbagai peristiwa yang digambarkan dalam film tersebut.

Comments

Lina Sophy said…
bagus sekali ceritanya, jadi kepengin banget nonton... :D
vyerlla apri said…
jadi teringat film dokementer buatan anak2...
setuju sama soficita, pengen banget nonton filmnya... dmn ya??

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)