Sebuah renungan

Salah seorang teman saya pernah bertanya, "kok loe masih mau sih berteman sama dia?"

Itu ucapan teman saya saat saya menceritakan pertengkaran saya yang kesekian kalinya dengan seorang sahabat (sekaligus teman berantem saat itu) yang tak habis-habisnya. Teman saya, kata orang kebanyakan memang aneh, agak keras kepala, mellow berlebihan (kadang-kadang), suka sadis (kayak meninggalkan saya di tengah jalan), dan lain-lain.

Saya juga punya teman baik yang sangat suka membual ke siapa saja. Bualannya ini mungkin menyebabkannya menjadi publik enemy. Saya santai-santai saja berteman dengannya. Toh kita bisa memperbincangkan apapun.

Kedua cerita di atas adalah kejadian beberapa tahun yang lalu. Banyak orang mengira saya 'terlalu baik' karena kadang mau berteman dengan orang-orang yang mungkin oleh orang lain di cap 'tidak baik' entah sombong, suka membual, ajaib, dan sebagainya.

Salam bersahabat, saya memang tak ingin banyak menilai. Saya ingin bersahabat itu saja. Mereka mungkin 'tidak selalu baik'. Itu betul, namanya juga manusia. Akan tetapi sebagai manusia, merekapun bisa berproses. Proses ini bisa dihiasi berbagai rasa, mungkin ada konfilk-konflik yang menghadang di tengah jalan.

Saya percaya pentingnya membiarkan manusia berproses. Terbukti, sahabat saya yang dulu begitu suka ribut dengan saya akhirnya terus berhubungan baik dengan saya hingga kini. Kini kami mengontak sesekali dan dia sering berkata bahwa tiba-tiba dia mengingat saya. Sebelum saya berpisah (karena sahabat saya itu dulu mau berangkat ke luar negeri), sahabat saya mengirimkan sebuah kartu yang begitu manis yang menyatakan bahwa saya memperlakukannya dengan sangat baik dan dia menyayangi saya.


Belum lama ini saya sempat menuliskan salah satu sejarah diri saya sendiri. Dari sana, saya bisa menelusuri bagaimana dalam bersahabat, saya cenderung tidak mau nenilai. Ternyata saya percaya bahawa setiap orang akan berproses menjadi lebih baik, apabila ia dipercaya, didukung, disayangi, dan sebagainya.

Dalam kehidupan saya, saya pernah menjadi korban bullying. Bullying yang cukup parah dan cukup membuat saya trauma seumur hidup. Detailnya tidak akan saya ceritakan di sini.

Dua hari ini tak sengaja saya melihat peristiwa bullying di dua sekolah yang berbeda. Mungkin ini yang mengingatkan saya untuk kembali menuliskan mengenai masa lalu saya.

Sebagai korban bullying, percaya diri saya sangat jatuh. Sangat sangat jatuh, terlebih lagi karena saya tak punya teman cerita sehingga segala luka yang pernah saya alami saya simpan sendiri.

Saya dulu tidak cantik, tidak pintar, tidak menarik, dan aneh. Saya ingin diterima. Hanya orang-orang tertentu yang mau berteman dengan saya (jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dan saya sangat menghormati mereka hingga sekarang).

Anehnya, ketika saya lepas dari lingkungan dimana saya mendapatkan perlakuan bullying tersebut, saya tiba-tiba menjadi sama buruknya dengan yang melakukan proses bullying kepada saya. Saya ingin mendongkrak segala percaya diri saya yang hilang tersebut. Saya menjadi sombong, sok cantik, sok keren, sok tahu, dan segala sok-sokan lainnya. Saya pun pilih-pilih teman. Saya ingin diakui. Tak heran, saat itu tak banyak yang menyukai saya. Seorang teman terang-terangan menyebutkan betapa sok-nya saya dan menyebalkannya saya. Dengan terus terang dan nada yang cukup marah ia ungkapkan perasaannya pada saya. Walaupun kata-katanya seperti tamparan, bukan itulah yang membuat saya berubah menjadi manusia yang lebih baik.

Berada di lingkungan yang baru saya mulai memiliki teman-teman yang tumbuh menjadi sahabat. Sahabat-sahabat ini begitu baik pada saya. Saya yang sebelumnya selalu dihina dengan cacian yang tak semestinya, disakiti dalam arti fisik, dan diperlakukan tidak baik bisa diterima apa adanya. Diterima apa adanya merupakan salah satu penghargaan yang paling besar yang saya terima seumur hidup saya. Persahabatan dan kasih sayang yang tulus dari sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung dan mendampingi saya hingga kini menjadi salah satu kekuatan yang paling besar dalam hidup saya. Saya belajar mencintai diri saya sendiri. Saya belajar menyayangi diri saya sendiri. Bukan hanya itu, percaya diri saya tumbuh, potensi saya berkembang, saya tumbuh menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Ketulusan, kasih sayang, dan kepercayaan sahabat-sahabat saya, menjadikan saya manusia yang semakin utuh sebagai manusia. Saya menjadi manusia yang seperti adanya hari ini bukan berdasarkan suatu yang tiba-tiba. Saya berproses dan sahabat-sahabat saya selalu ada di samping saya dalam menempuh proses ini.

Sejarah saya sendiri menjadi hal yang penting dalam perjalanan karir saya sebagai pengajar. Selama menjadi pengajar, saya kebanyakan menghadapi praremaja. Kelas 5-6 dan SMP. Dari sekian murid-murid saya, masing-masing memiliki cerita yang berbeda-beda. Ada yang bandel, malas, suka membangkang, atau bahkan melakukan hal-hal yang tak semestinya.

Oprah Winfrey, pernah mengatakan bahwa orang yang suka (dengan sengaja) menyakiti orang lain sebenarnya diri sendirinya tersakiti.

Dengan kata lain, suatu tingkah laku manusia yang 'tidak semestinya', pasti di dasari oleh suatu alasan tertentu. Mungkin percaya diri yang kurang, masalah keluarga, cinta, lingkungan, ataupun ribuan alasan yang mungkin tak bisa kita lihat dengan mata kita. KIta hanya bisa melihat saart kita mau membuka diri untuk mengenal mereka lebih dekat.

Meski kini seorang mungkin terlihat 'tidak baik' menurut norma umum, kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hidup mereka. Kita juga tidak akan tahu apapun yang terjadi padanya di masa depan. Pengetahuan itu hanya milik Allah yang Maha Kuasa. Hari ini, yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan dukungan, kepercayaan, dan kasih sayang yang setulus-tulusnya. Saya percaya dengan kekuatan ini. Kekuatan besar yang tidak bisa diterangkan dengan logika tapi berasal dari dalam hati. Kekuatan ini hanya ada saat hati kita bisa tulus, setulusnya. Saya tidak mengatakan hal ini mudah, tentu saja tidak! Walaupun tidak mudah, tapi setidaknya layak dicoba! Iya kan?

:)

Comments

Unknown said…
Wah...ceritanya bagus! jd mengingatkam ms lalu juga, tampaknya, sebagian besar org yg dulu pernah jd korban bullying, klw dasarnya dia berpikiran positif, pasti akan menjadi individu yg lebih baik, bahkan sangat baik ya.. Bahkan menurut pengalamanku, org2 yg pernah menjadi korban bullying itu lebih mempunyai kesempatan menjadi org yg disayangi, org yg memiliki byk sahabat sejati, dan tidak membeda2kan teman dibandingkan org2 yg suka mem-bullying.... Tapi itu tetap tergantung seberapa besar kita bs melihat kenyataan bahwa kita ini manusia biasa, seberapa besar kita bs melepaskan diri dr pikiran negatif2 kita... Kan pada dasarnya setiap org itu baik, setiap org itu menarik, setiap org itu cantik dan tampan, setiap org itu keren, krn setiap org itu makhluk ciptaan Tuhan...

Tetap semangat! -luv ya-
Percaya Diri said…
Artikel percaya diri yang sangat bagus. Salam kenal & sukses ......

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)