Model Pendidikan Bukan Hanya Sekolah

Jujur..
Saya pribadi memang tertarik pada dunia 'persekolahan'.
Saya selalu bercita-cita ingin menjadi guru di suatu sekolah, yang alahamdulillah sempat terwujud. Tapi jauh dilubuk hati saya, saya percaya bahwa model pendidikan bukan hanya sekolah. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa ada komunitas-komunitas pendidikan alternatif, kegiatan home schooling, dan banyak lagi. Dalam tiap budaya, pasti ada 'ide yang dianggap paling dominan'. Untuk zaman sekarang mungkin 'ide paling dominan' adalah sekolah. Ini sebuah hirarki yang dibentuk entah oleh budaya ataupun penguasa. Bagi saya, tak ada yang lebih baik. Model pendidikan yang paling baik, semuanya tergantung situasi (sosial, ekonomi, dll), kondisi, dan juga kecocokan masing-masing individu.

Sebenarnya lama saya membayangkan salah satu model pendidikan yang 'kayaknya asik.' Model ini terinspirasi dari film-film kungfu. Walau saya bukan penonton setia film kungfu. Tapi saya sangat menyukai ide murid mencari guru yang sering ada dalam film kungfu. Kalau ada seorang yang sangat ingin belajar kungfu, ia akan mendatangi yang 'dianggap ahli' dalam kungfu. (Para penggemar kungfu, silakan koreksi saya apabila saya salah!)

Berguru didasarkan akan keinginan pribadi, kebutuhan pribadi, kesadaran pribadi. Sebelum berguru, sang individu harus sudah bisa menentukan tujuannya. Dari sana ia bisa menentukan apa yang perlu ia pelajari terlebih dahulu. Kemudian ia akan mencari sang guru. Mencari sang guru, baru satu langkah awal. Siapa tahu sang murid kelak bisa belajar lebih banyak dari yang diperkirakan, atau mungkin melebihi sang guru. Bagi saya 'model pendidikan ala kungfu' ini sangat keren dan mungkin bisa diterapkan untuk bidang-bidang lain (selain kungfu).

Model pendidikan kedua yang bagi saya 'keren', adalah adanya suatu 'ruang publik'. Ruang publik tempat masyarakat bisa bertemu, mendapatkan akses informasi, berinteraksi, bertukar informasi dan ide. Bukankah Indonesia dulu sudah memiliki ruang-ruang publik seperti ini? Warung kopi, rumah ibadah, balai desa, apa lagi yah?

Inspirasi mengenai ruang publik bagi saya juga datang dari konsep-konsep 'ruang publik' yang saya temui di Bandung dulu berupa toko buku komunitas seperti Tobucil, yang mengadakan berbagai kegiatan setiap harinya, di sana ada klub rajut, klub nulis, klub baca, klub baca anak, klub musik. Saya teringat, Wabule (Warung Buku Lesehan) sebuah toko buku komunitas yang kini sudah tidak ada. Dulu di sana setiap harinya selalu ada diskusi santai tentang berbagai hal. Segala jenis orang dari berbagai usia berkumpul di sana dan membicarakan berbagai hal. Mungkin terlihat santai. Tapi di sanalah saya dahulu berhasil mengenal begitu banyak orang, menjalin relasi, dan juga belajar berbagai hal. Berdasarkan pengalaman saya, tersedianya ruang publik (ditambah akses informasi berupa buku, media, internet), sungguh merupakan suatu 'model pendidikan' yang tak kalah baiknya dibandingkan model-model pendidikan yang lain. Menurut saya membuka suatu ruang publik (gratis) yang dilengkapi akses informasi, ntah berupa taman bacaan, tempat nongkrong dan diskusi, dan ruang publik lainnya yang ramah (mampu membuat orang merasa nyaman untuk datang tanpa melihat status ekonomi atau sosial) artinya memberikan suatu pendidikan bagi masyarakat.

Saya selalu menganggap bahwa suatu model, suatu sistem, komunitas atau apapun yang dibuat oleh manusia. Baik sekolah, sistem home schooling, komunitas pendidikan alternatif, 'model pendidikan ala kungfu', atau 'model pendidikan dengan adanya ruang terbuka' semuanya merupakan buatan manusia. Manusia punya keterbatasan, dan model-model ini tak akan pernah sempurna. Walaupun begitu, bila 'satu model pendidikan' cukup terbuka untuk bisa belajar dari 'satu model pendidikan yang lainnya' dan sebaliknya maka semua akan saling melengkapi. Semua akan saling mengisi.

Comments

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)