Refleksi Membaca “A Mathematican’s Lament”: Tidak Adanya Matematika di Kelas Matematika

Refleksi Membaca “A Mathematican’s Lament”: Tidak Adanya Matematika di Kelas Matematika
Oleh Dhitta Puti Sarasvati
https://mahkotalima.blogspot.com/2019/06/tidak-adanya-matematika-di-kelas.html

“A Mathematician’s Lament: How Schools Cheat Us of Our Most Fascinating and Imaginative Art Form” merupakan buku karya seorang matematikawan, Paul Lockhart. Isinya kritik terhadap pengajaran matematika di sekolah. Menurut Lockhart, seringkali tidak ada matematika di kelas matematika.



Lockhart menggunakan analogi tentang cara belajar seni untuk menggambarkan bagaimana matematika diajarkan di sekolah.



Analogi-analogi yang ditulis oleh Lockhart adalah sebagai berikut:



Analogi 1

Bayangkan sebuah kelas musik. Musik biasanya dituliskan dengan notasi balok. Saat pelajaran musik, siswa harus menguasai cara membaca not balok. Guru mengajar dengan menuliskan musik dengan not balok di papan tulis. Siswa menyalinnya. Kadang, siswa juga diminta oleh guru untuk mengubah not balok dari satu kunci ke kunci lain, misalnya dari kunci C ke kunci F. Di akhir tingkat sekolah, siswa harus mengikuti ujian tertulis mengenai beragam teori tentang not balok, musik, harmoni, skala, dan sebagainya.



Banyak siswa yang akhirnya tidak bisa bermusik. Siswa yang bisa bermusik, jumlahnya sangat sedikit, dilabeli sebagai ‘orang musik’ dan siswa yang tidak dilabeli sebagai ‘bukan orang musik’. Padahal yang terjadi, selama sekolah siswa tidak benar-benar belajar bermusik.


Analogi 2

Lihatlah gambar di bawah ini:




Bayangkan kelas seni lukis di mana siswa diajak belajar melukis dengan mewarnai gambar sesuai angka yang tertera pada gambar. Semakin lama gambar yang diperoleh siswa bisa saja semakin rumit tapi yang siswa perlu lakukan adalah sekadar mengikuti instruksi. “Ketika guru mengatakan, “Warnai bagian 1 dengan coklat.” Siswa akan mewarnai bagian gambar dengan coklat. Hasil akhir pekerjaan siswa bisa saja berupa gambar serupa lukisan. Namun siswa tidak pernah benar-benar belajar melukis.




Bisakah anda membayangkan pelajaran seni musik maupun seni lukis diajarkan seperti cara di atas? Tidak masuk akal bukan?



Menurut Lockhart, begitulah cara matematika diajarkan di banyak sekolah. Siswa seakan-akan belajar matematika tapi tidak pernah benar-benar belajar bermatematika.



Lockhart menganggap matematikawan tidak jauh berbeda dengan seniman. Dalam bukunya, Lockhart mengutip matematikawan G. H. Hardy yang mengatakan, “Seorang matematikawan, seperti halnya pelukis dan pujangga, menghasilkan pola. Pola yang dihasilkan lebih permanen daripada pola yang dihasilkan oleh matematikawan dibuat dari gagasan.”



Seorang matematikawan menghasilkan karya seni dengan gagasan-gagasan dalam imajinasinya. Kata Lockhart, “Itulah matematika - membuat diri kita menghayal, bermain, terpukau dengan imajinasi kita.”



Di sekolah matematika seringkali hanya fokus pada menghafalkan fakta-fakta, rumus, dan mengikuti prosedur. Saat belajar tentang segitiga, siswa menghafalkan bahwa luasnya adalah alas kali tinggi dibagi dua lalu. Mereka tidak diajak mengeksplorasi kenapa rumus segitiga bisa seperti itu? Agar mahir menghitung luas segitiga, siswa berlatih mengerjakan sejumlah soal tentang mencari luas segitiga. Meskipun akhirnya siswa bisa menghitung luas segitiga, mereka tidak diajak mengapresiasi gagasan di balik munculnya rumus tersebut. Matematika menarik bukan sekadar karena membantu kita menemukan jawaban yang benar. Matematika menjadi menarik karena matematika membiasakan kita menjelaskan kenapa suatu pernyataan dianggap benar (ataupun salah).



Kata Lockhart

“Bermatematika berarti membuat temuan, konjektur (perkiraan), melibatkan intuisi dan inspirasi; merasa bingung bukan karena apa yang anda lakukan tidak masuk akal, tapi tidak yakin ke mana karya Anda akan membawa Anda ke mana, juga tentang menemukan terobosan, merasa frustrasi sebagai seniman lalu terpukau dan kewalahan oleh keindahan yang hampir menyakitkan. Bermatematika itu membuat kita merasa hidup.”



Pelajaran matematika seringkali hanya direduksi menjadi transmisi pengetahuan, Tidak heran Lockhart mengatakan bahwa “Hal yang paling menyakitkan mengenai bagaimana matematika diajarkan di sekolah adalah tidak adanya matematika di kelas matematika.”

Comments

Arkhadi said…
mbak Puti, entah yang salah komputer saya atau bagaimana ... paragraf di blog mbak Puti pada komputer saya kok bablas saja jadi sebagian besar tidak terbaca.

yang kedua, saya setuju secara garis besar dengan Lockhart. Sekarang tinggal pada praktik-nya pembelajaran matematika sebaiknya seperti apa. Lockhart sudah mengindikasikan secara konseptual tapi mungkin kalau diberi contoh teknis atau praktis akan lebih jelas lagi.
Unknown said…
Thanks Mas Arkha. Sudah saya perbaiki tulisannya. Mudah-mudahan lebih terbaca. Saya setuju kalau ada tulisan tentang praktik pembelajarannya akan lebih baik. Sebenarnya tulisan-tulisan tentang pendidikan matematika yang saya buat belakangan ini merupakan bagian dari kegiatan saya 'belajar kembali' untuk kegiatan Gernas Tastaka. Jadi, nanti akan ada tulisan tentang kegiatan-kegiatan pembelajarannya yang lebih praktis. Tapi menyusul. Thanks yah masukannya.

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Belajar Tentang Keliling Bangun Datar Memecahkan Masalah