PPDB di Kota Bandung dan Pendidikan Komprehensif untuk Semua
Rabu (08/07/2015) puluhan orang tua mendatangi Balai Kota Bandung (Kompas.Com, 08/07/2015). Orang tua-orang tua ini merasa sistem
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ngaco.
Tahun ini, PPDB Kota Bandung memang agak berbeda dari sebelumnya. Kalau
biasanya PPDB untuk masuk sekolah negeri (khususnya di tingkat SMP dan SMA)
biasanya lebih ditentukan oleh prestasi akademis siswa. Kali ini, justru siswa
(miskin) yang tinggal di sekitar lokasi sekolah lebih diutamakan untuk masuk
sekolah negeri. Siswa ini bisa masuk ke sekolah negeri tanpa mempertimbangkan
prestasi akademik mereka. Apabila program ini dijalankan dengan baik, lebih
dari 20% siswa miskin bisa masuk ke sekolah negeri terlepas dari apapun
perstasi akademik mereka.
Beberapa orang tua merasa bahwa sistem ini tidak adil. Mereka
merasa bahwa anaknya “pintar” tapi justru tidak diterima di sekolah negeri.
Menurut mereka tak ada salahnya menerima siswa miskin di sekolah negeri, tapi yang
harus diutamakan adalah siswa miskin yang berprestasi. Yang lebih membuat para orang tua ini lebih marah adalah karena
ternyata beberapa orang tua dari keluarga mampu membuat Surat Keterangan Tanda
Miskin (SKTM) palsu sehingga anaknya bisa diterima di sekolah negeri melelui
jalur non-akademis. Akibatnya, beberapa orang tua berdemonstrasi dengan membawa
berbagai spanduk, diantaranya bertuliskan “Sekolah Negeri Bandung Penuh Siswa
Bodoh dan Orang Tua Tidak Jujur. Nasib Siswa Pintar Tersisih oleh Siswa Bodoh”.
Filosofi Sekolah Negeri
Sekolah negeri adalah sekolah yang dibiayai oleh negara untuk
mendidik seluruh warga negara Indonesia. Dengan kata lain, sekolah negeri
dibiayai oleh pajak semua warga negara. Sebagai konsekuensinya, siapapun,
asalkan merupakan warga negara Indonesia (atau tinggal di Indonesia) berhak
memasuki sekolah negeri, bahkan semestinya secara gratis (tidak boleh ada
pungutan apapun).
Pendirian sekolah-sekolah negeri seharusnya menjadi upaya
untuk memenuhi hak pendidikan setiap warga negara, tidak peduli apapun latar
belakang sosial-ekonominya. Sekolah negeri seharusnya menjadi tempat warga
negara dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, dan kemampuan akademis
berkumpul dan berbaur untuk belajar bersama dan belajar dari satu sama lain. Di sekolah negerilah, siswa bisa belajar
berbaur dengan orang-orang dari agama yang berbeda, dari latar belakang etnis
yang berbeda sebagai upaya untuk menjadi orang Indonesia yang menghayati
Bhineka Tunggal Ika. Maka, sekolah negeri tak boleh lagi merupakan sekolah
selektif. Siapapun, asal merupakan warga negara Indonesia, harus bisa terakses
dengan sekolah negeri.
Program Wajib Belajar
dan Sekolah Negeri Yang Komprehensif
Biasanya, ketika sebuah negara menerapkan program Wajib Belajar
(Compulsory Education), maka negara
tersebut harus menyediakan layanan pendidikan yang gratis dan terjangkau,
khususnya di tingkat pendidikan di mana sistem wajib belajar diterapkan.
Biasanya, mereka melakukannya dengan menyediakan sekolah negeri yang komprehensif
dan gratis. Sekolah komprehensif adalah sekolah yang tidak menyeleksi siswa
berdasarkan kemampuan akademisnya. Biasanya yang lebih jadi pertimbangan adalah
kedekatan rumah siswa terhadap sekolah. Tentu, untuk bisa menyediakan sekolah
negeri komperhensif maka jumlah sekolah negeri harus memadai jumlahnya. Sekolah
komprehensif didasari oleh paradigma bahwa setiap anak pada dasarnya bisa
dididik (educable) menjadi lebih baik
apabila mereka memang terakses pada pendidikan yang berkualitas. Selain itu,
pendidikan komprehensif didasari pada pandangan bahwa pendidikan merupakan hak
asasi setiap manusia, bukan hanya hak mereka yang sudah “pintar” saja.
Indonesia memang unik, meskipun sudah menerapkan wajib
belajar 9 tahun sejak tahun 1994, namun sekolah-sekolah negerinya belum beralih
menjadi sekolah komprehensif. Banyak sekali sekolah negeri termasuk di tingkat
SMP (yang termasuk dalam program wajib belajar) yang merupakan sekolah
selektif, yang hanya menerima siswa yang punya prestasi akademis yang baik. Hal
ini menunjukkan adanya paradigma bahwa yang berhak sekolah di sekolah negeri
hanya siswa-siswa yang dianggap sudah pintar. Padahal, siswa-siswa yang belum menunjukkan
prestasi pun punya hak untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, jika siswa yang
belum berprestasi memang diberikan akses untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas, mereka punya kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri
menjadi lebih baik. Siswa yang belum berprestasi bukanlah siswa bodoh. Mereka
bisa menjadi cerdas apabila diberi kesempatan untuk merasakan pendidikan berkualitas.
Apakah hak tersebut memang kita berikan?
PPDB Kota Bandung dan
Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan
PPDB Kota Bandung kali ini memang belum sempurna. Penggunaan SKTM
sebagai syarat mendaftar sekolah negeri, yang diniatkan untuk memenuhi hak atas
pendidikan warga yang paling membutuhkan, justru menjadi kontroversi.
Penggunaan SKTM untuk PPDB mungkin kurang tepat. Sebagian orang tua yang mampu
secara ekonomi memalsukan SKTM agar
diterima di sekolah negeri. Di sisi lain, beberapa siswa miskin merasa malu
karena harus menunjukkan kemiskinannya melalui SKTM agar bisa diterima di
sekolah negeri. Perlu dipikirkan caranya agar pemenuhan hak akan pendidikan
semua warga, khususnya yang paling membutuhkan, bisa dilakukan secara lebih
adil dan manusiawi.
Namun, sebenarnya dalam hal ini pemerintah kota Bandung
sedang bergerak ke arah yang benar. PPDB Bandung merupakan upaya untuk berusaha bertransformasi agar sekolah negeri
di kota Bandung tidak hanya bisa diakses oleh siswa yang nilai akademisnya
tinggi, namun justru menjadi sekolah komprehensif, yang bisa diakses oleh semua
warga negara. Usaha agar Bandung mengarah pada penyediaan sekolah komprehensif sebagai
bentuk pemenuhan hak warga akan pendidikan perlu didukung dan diapresiasi.
Bahkan, suatu hari nanti, seluruh Indonesia perlu bergerak ke arah yang sama.
Indonesia perlu menjadi negara yang mampu menyediakan sekolah komprehensif (dan
berkualitas) bagi seluruh warga negaranya.
Tentu agar Indonesia
bisa mengarah ke pemenuhan sekolah komprehensif untuk semua warganya, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pertama, jumlah
sekolah (negeri) yang gratis dan berkualitas perlu diperbanyak. Hal ini
bukanlah hal yang mudah, apalagi apabila ada keterbatasan dana untuk melakukan
ini. Apa yang dilakukan oleh (Gubernur) Ali Sadikin di Jakarta pada tahun 60-an
dan 70-an mungkin bisa diadopsi (meskipun mungkin masih perlu dimodifikasi),
yakni dengan bekerja sama dengan pihak swasta yang memiliki tanah atau bangunan
kosong untuk menyediakan sekolah negeri.
Dengan cara ini, "pada tahun 1967 - 1969, Pak Ali Sadikin pun membangun
banyak 124 SD Negeri baru, 13 Sekolah Lanjutan baru. Tahun 1969 - 1974 dia
membangun 230 SD baru dan 95 Sekolah Lanjutan baru. Pada tahun 1974 - 1976, dia
membangun 52 SD baru dan 180 sekolah lanjutan baru” (Sadikin, 1997).
Itu baru dalam hal jumlah. Peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah-sekolah merupakan hal yang jauh lebih kompleks lagi. Sekolah
berkualitas bukanlah sekolah yang hanya memilih siswa-siswa yang telah
menunjukkan prestasi akademis. Namun, sekolah yang berkualitas adalah sekolah
yang mampu memberikan kesempatan bagi semua siswa untuk berkembang baik
kemampuan akademisnya, maupun karakternya. Perlu ada upaya serius, sehingga
semua pihak baik sekolah, masyarakat, dan media bisa bekerja sama untuk bersama-sama
menjadikan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang lebih berkualitas.
Kedua, perlu dilakukan upaya untuk membangun kesadaran semua stakeholder di bidang pendidikan bahwa
pendidikan adalah hak semua warga negara. Pendidikan yang komprehensif hanya
bisa dijalankan ketika semua pihak menyadari
hal ini. Semua pihak harus mulai disadarkan untuk memperjuangkan lebih
dari sekadar hak pendidikan anaknya sendiri -- atau bagi pendidik lebih
daripada sekedar hak pendidikan siswa-siswanya sendiri. Pada akhirnya, semua
akan mulai memperjuangkan hak pendidikan semua warga negara Indonesia dengan memastikan
adanya pendidikan komprehensif untuk semua.
Comments