Refleksi tentang Empat Pilar Pendidikan (Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together, Learning to Be)

Sumber : http://weknowyourdreams.com/ 




Saya sudah sering mendengar mengenai empat pillar pendidikan yang dikemukakan oleh Dellors, et.al, (1996) dalam naskah Learning: The Treasure Within. Menurut beliau, ada empat tujuan pendidikan yakni :

  1. Learning to know (belajar untuk tahu)
  2. Learning to do (belajar untuk bisa melakukan)
  3. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
  4. Learning to be (belajar untuk menjadi)
Namun, ketika saya mendengarkan salah satu kuliah online "What future for education"  via Coursera.org, saya merasa menemukan sebuah pemaknaan baru, khususnya ketika saya merefleksikan tujuan-tujuan tersebut dengan praktek pendidikan yang terjadi di sekolah. Pada kenyataannya, ada beberapa (banyak?) sekolah yang hanya fokus pada satu atau dua tujuan di atas. Bagaimana pihak sekolah memahami tujuan pendidikan akan berimplikasi pada bagaimana mereka menjalankan proses belajar-mengajar di sekolah.

Si beberapa sekolah, tujuan pendidikan hanya sampai pada learning to know. Bagi sekolah seperti ini, yang penting siswa 'belajar untuk tahu' sebanyak-banyaknya. Untuk itu, siswa perlu memiliki ingatan yang kuat. Mereka perlu tahu banyak fakta, mulai dari tanggal-tanggal bersejarah, berbagai rumus matematika maupun fisika, sampai menghafalkan berbagai jenis enzim yang ada dalam tubuh manusia. Yang jadi pertanyaan berikutnya, siswa perlu tau hal-hal tersebut untuk apa? Ada sekolah yang menganggap siswa perlu tahu berbagai hal tersebut karena itulah yang akan diujiankan di akhir masa sekolah (saat ujian nasional). Kalau tidak dipelajari, siswa akan kesulitan dalam mengerjakan ujian nasional. Sebagai konsekuensi dari 'tujuan pendidikan' yang sempit ini, sekolah fokus pada persiapan ujian nasional dengan meminta siswa menghafalkan isi buku teks ataupun berlatih soal ujian (kalau bisa sampai hafal).

Di sisi lain, ada sekolah yang memang ingin menumbuhkan rasa 'cinta terhadap pengetahuan'. Meskipun sekolah sama-sama punya tujuan agar siswa belajar 'untuk tahu', siswa diajak belajar 'untuk tahu' dengan cara yang lebih bermakna. Misalnya, saat belajar tentang langit, siswa bukan hanya akan diajak membaca buku teks mengenai langit, siswa diajak membaca berbagai buku yang berhubungan dengan langit. Tidak selesai sampai di sana, siswa diajak untuk belajar dari seorang ahli (misalnya dengan seorang astronom) sehingga mereka bisa belajar mengenai fakta-fakta langit dari ahlinya. Siswa juga akan diajak mengamati langit, melakukan observasi mengenai langit, dan mencatat (baik dalam bentuk tertulis maupun gambar) hal-hal penting terkait langit.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengetahui banyak hal, namun kita perlu selalu bertanya, siswa perlu tahu tapi untuk apa? Lagipula, tujuan pendidikan  bukan hanya untuk belajar 'untuk tahu', tapi masih ada tujuan-tujuan lainnya.

Di beberapa sekolah yang lain sudah muncul kesadaran bahwa siswa juga harus memilki berbagai keterampilan. Jenis-jenis keterampilan ini bervariasi. Misalnya, Ada keterampilan-keterampilan yang perlu dikembangkan untuk memasuki dunia kerja tertentu. Untuk ini, beberapa sekolah (seperti sekolah kejuruan) membuka kesempatan bagi siswanya untuk praktek seperti dengan magang di industri atau perusahaan.

Selain itu, ada juga keterampilan-keterampilan lain yang perlu dikembangkan. Misalnya, siswa yang lulus SMA diharapkan memiliki keterampilan untuk berpikir secara sistematis, punya keterampilan memecahkan masalah, punya keterampilan  dalam membaca dan menulis yang cukup fasih.  Namun, kalau kita terampil dalam mengerjakan berbagai hal tapi selalu bermasalah ketika berhubungan dengan orang lain lalu apa gunanya? Manusia adalah makhluk sosial yang juga harus belajar caranya hidup bersama dengan orang lain. Itulah sebabnya salah satu tujuan pendidikan yang lain adalah untuk belajar hidup bersama (dengan orang lain).

Sekolah memang merupakan tempat di mana siswa bisa belajar hidup bersama dengan orang lain. Bagaimana tidak? Setiap hari siswa harus belajar bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan juga berinteraksi bersama guru-gurunya. Namun, sebenarnya di sekolah, siswa belajar hidup bersama dengan siapa? Apakah siswa diberikan kesempatan untuk belajar hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda dari yang biasa mereka temui?  Apakah sekolah memfasilitasi siswa untuk belajar  berinteraksi (secara sejajar) dengan orang dari agama yang berbeda, suku yang berbeda, latar belakang ekonomi yang berbeda, atau yang memiliki pandangan-pandangan hidup yang berbeda dari mereka?

Beberapa sekolah memang memahami tujuan pendidikan adalah untuk belajar untuk hidup bersama (termasuk dengan orang yang berbeda pandangan dengan mereka). . Sekolah-sekolah ini tidak ingin menjadi 'sekolah elit'. Siswa dari berbagai golongan, latar belakang, suku, dan agama bisa berbaur untuk belajar satu sama lain. Selain itu, aekolah semacam ini membuka ruang bagi siswa untuk berinteraksi dengan masyarakat. Caranya bisa bervariasi, misalnya dengan membiasakan siswa untuk ikut berkontribusi pada masyarakat dan belajar dari masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial, mengundang berbagai kelompok masyarakat untuk ikut berbagi ke sekolah, atau merancang program khusus yang memungkinkan siswa belajar di lingkungan yang berbeda dari keseharian mereka. Ketika sekolah meyakini bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah belajar untuk hidup bersama, secara tidak langsung sekolah juga menyiapkan siswa untuk bisa belajar menjadi

Learning to be
 atau belajar menjadi berarti belajar menjadi manusia yang terus menerus berusaha menjadi lebih bermartabat, lebih kritis, lebih toleran, dan terus menjadi lebih baik lagi dalam berbagai aspek. Bagaimana caranya kita belajar menjadi manusia yang terus menerus berusaha menjadi lebih baik? Selain perlu mengalami berbagai pengalaman yang bermakna, kita juga perlu kemampuan untuk berefleksi. Sekolah yang sadar pentingnya tujuan pendidikan untuk 'belajar menjadi' akan menjadikan refleksi bagian dari keseharian sekolah. Di sisi lain, sekolah yang tidak menyadari hal ini akan terus menyibukkan  siswa dengan berbagai hal meskipun hal-hal tersebut belum tentu bermakna siswa.

Perlu diingat ketika tujuan pendidikan adalah agar manusia 'belajar untuk menjadi', bukan berarti bahwa siswa sudah harus sangat bermartabat, sudah harus kritis, dan sudah harus toleran. Bisa jadi siswa baru satu langkah kecil untuk menjadi lebih bermartabat, kritis, ataupun toleran. Bisa jadi mereka akan melakukan banyak kesalahan, mengalami berbagai konflik, ataupun kebingungan. Hal tersebut tidak apa-apa. Sekolah yang menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah 'belajar untuk menjadi' akan menghargai pentingnya berproses, termasuk membuat kesalahan. Semua pengalaman termasuk pengalaman pahit ataupun pengalaman berbuat salah, apabila direfleksikan, bisa menjadi pengalaman berharga.


Itulah refleksi saya mengenai keempat tujuan pendidikan bagaimana implikasinya terhadap praktek pendidikan di sekolah. Bagaimana dengan sekolah anda? Tujuan pendidikan manakah yang lebih dominan? Apa implikasinya bagi praktek pendidikan di sekolah? Maukah anda berbagi cerita?

Comments

stiv_yo said…
Saya setuju sekali dengan 4 pilar pendidikan tersebut.
Kebanyakan di sekolah memang cenderung befokus pada learning to know (60%), meski sudah ada usaha untuk mengejar ketertinggalan learning to do (35%) dengan sistem penilaian praktek.
Learning to Live together (3%) juga sudah diusahakan dengan melatih siswa bekerja kelompok meski hanya sebagai pelengkap learning to know/to do. Saya rasa learning to be (1%) belum benar-benar ditumbuhkan di banyak sekolah.

Ke depan, saya rasa sudah saatnya membuat proporsi ini lebih balance dengan tidak mengkotak-kotakkan 4 pilar ini menjadi bagian yang terpisah tetapi menjadi bagian dari satu kesatudan dengan standar yang jelas. Sudah saatnya guru membagi proporsi ini lebih balanced dalam setiap aspek pelajaran dengan membagi fokus learning to know ke learning to do, to live together, dan to be dengan pembelajaran yang lebih relevan dan bermakna.

Steven Sutantro

Popular posts from this blog

Membaca "The Present Takers", Sebuah Novel Tentang Bullying

Memahami Pembelajaran Terintegrasi (Bagian 1) : Definisi & Manfaat Pembelajaran Terintegrasi

Standar Konten dan Standar Proses (NCTM, 2000)