Wawancara dengan Kak Asep (Rumah Pelangi)
Kak Asep,
apa bisa ceritakan sedikit tentang diri Kak Asep?
Nama saya Asep Suhendar,
lahir di Bandung tanggal 22 Juni 1993. Saya lahir dari keluarga yang sederhana.
Pekerjaan ayah, kuli bangunan dan (almarhum) ibu pedagang kue-kue kering.
Saya bungsu dari 3
bersaudara. Alhamdulillah, saya anak yang beruntung. Kakak-kakak saya
pendidikan hanya sampai SD. Saya berkesempatan belajar hingga lulus SMK jurusan
elektro dan sekarang sedang berusaha untuk kuliah.
Sekarang saya sudah berpisah
dengan orang tua. Ketika SD kelas 6 ibu saya meninggal dunia. Sebelumnya
keluarga saya bahagia dan tentram tapi semenjak ibu saya meninggal, kehidupan
keluarga mulai berubah.
Kelas 3 SMP saya mulai tinggal
dengan paman saya. Semenjak itu saya berusaha mandiri. Paman saya berjualan
batagor. Saya ikut membantunya berjualan batagor . Dari berjualan batagor saya
bisa membiayai hidup saya sampai SMK dan Insya Allah untuk kuliah nanti juga.
Setelah lulus SMK saya berencana
melanjutkan ke kuliah. Saya mendapatkan kesempatan mengikuti jalur undangan
tapi tidak lolos seleksi. Saya mencoba mengikuti SMPTN belum lolos juga. Lalu
saya mau ikut jalur ujian tertulis tetapi ketika itu orang tua membutuhkan
uang, sehingga uang pendaftaran saya berikan kepada orang tua. Jadi tertunda.
Waktu itu juga ikut ujian STAN. Tahap pertama lolos, tahap kedua tidak lolos.
Saya awalnya sedih sekali
karena beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi. Untuk membangkitkan
semangat saya, seorang teman memberikan saya buku motivasi karya Dudi Fachrudin
berjudul “10 Pesan Tersembunyi dan 1 Wasiat Rahasia”.
Setelah membaca bukunya saya
termotivasi untuk hidup lebih bersemangat. Di dalam bukunya banyak pesan bahwa
kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Setelah membaca buku itu saya
iseng-iseng membaca riwayat penulisnya. Ternyata dia masih orang Bandung dan
ada nomor teleponnya. Saya menghubunginya dan dia mengajak saya bergabung di
sebuah grup di facebook.
Di grup itu kak Dudi mengajak
untuk ketemuan di Rumah Mentari. Saya sangat ingin bertemu dan ngobrol dengan
Kak Dudi. Saya mencari Rumah Mentari, awalnya sempat nyasar sampai ke Dago Golf bawah. Saya nyasar sampai 1 jam lebih
tapi akhirnya ketemu tukang ojek yang akhirnya mengantarkan sampai ke mentari.
Tadinya, saya kira Mentari
adalah sekadar tempat nongkrongnya Kak Dudi. Ternyata Mentari ada kegiatan
belajar bersama anak-anak. Bu Dewi, pengurus mentari, yang rumahnya dijadikan
tempat kegiatannya mentari langsung meminta tolong saya untuk mengajar.
“Sambil kenalan langsung
ngajar saja,” kata Bu Dewi.
Itu pertama kalinya saya
mengajar. Saya tidak pernah membayangkan lulusan SMK langsung mengajar. Ternyata menyenangkan. Anak-anak responnya
positif, langsung akrab dan dekat, bahkan sampai meminta nomor telepon.
Waktu itu, pengetahuan saya
masih sedikit, yah mengajar saja. Mengajar membuat saya merasa
harus belajar lagi. Mengajar anak-anak memotivasi saya untuk terus belajar. Dari situ saya jadi suka dunia anak.
Sebelumnya saya main dengan remaja seumuran saya. Saya merasa dibutuhkan oleh
anak-anak. Waktu SMP saya tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Kalau anak-anak
rewel saya suka kesal. Tapi sejak saya datang ke mentari, berbeda sekali
rasanya.
Minggu depannya saya datang
lagi. Saya jadi sering mengajar. Ada
teman bilang , “Ngapain jauh-jauh
dari Bale Endah ke Dago untuk jadi sukarelawan tapi tidak digaji?”
Yah, saya ingin jadi orang yang lebih berguna. Karena panggilan
hati. Ikhlas.
Saya bertanya-tanya kok bisa sih saya dekat dengan
anak Mentari, tapi tidak dengan
anak-anak di rumah sendiri?
Jadi, akhirnya saya mengajak
anak-anak di sekitar rumah saya untuk bermain. Cuma 10 anak. Saya mulai dari
yang dekat-dekat saja dulu. Tetangga dan saudara dulu. Kebetulan waktu itu
sedang liburan sekolah selama dua minggu. Jadi, hampir setiap hari kita bisa
bermain bersama.
Selain bermain kadang mereka
saya ajak belajar. Kadang belajar matematika atau bahasa Inggris. Mereka suka
dengan cara saya mengajar. Kadang belajar mengenal lingkungan dengan
berjalan-jalan ke sekitar. Itu setiap jam 12 sampai jam 2 siang. Jam 2 saya berjualan batagor lagi.
Lama kelamaan saya terpikir untuk membuat
semacam rumah belajar, mirip dengan di Mentari. Tentu saja saya tidak bisa
sendiri, jadi saya mengajak teman SMK saya bernama Rendi untuk membantu saya. Dia
juga gagal masuk perguruan tinggi. Rendi suka komputer dan pandai bergaul. Dia juga
mulai mencoba mengajar dan akhirnya dia juga jadi suka dengan dunia anak dan
dunia belajar-mengajar.
Di tahun 2012 saya
memberanikan diri untuk membuat rumah belajar. Materi seadanya dan keuangan
seadanya. Sebagian uang hasil penjualan batagor saya gunakan untuk membeli
beberapa buku untuk dibaca-baca. Saya membeli buku dari tukang loak. Ternyata
bukunya bagus-bagus, ada banyak buku cerita anak. Lumayan banyak dapat bukunya
sampai dua kardus aqua. Rendi juga membantu mencarikan buku sumbangan dari
teman-temannya. Dia membantu menyebarkan sms ke teman-temannya untuk meminta
sumbangan buku.
Tadinya saya mau menamakan
rumah belajarnya “Rumah Mentari 2” tapi Kak Angga, salah seorang relawan
mentari mengatakan lebih baik memberi nama yang berbeda.
Ketika mengajar anak-anak
saya mengajak mereka berdiskusi untuk memberikan nama untuk rumah belajar.
Anak-anak mengusulkan namanya rumah hujan. Saya kurang sreg karena hujan seperti menangis. Maunya sesuatu yang lebih
ceria. Saya bilang saya kan mengajar
anak-anak yang karakternya berbeda dan berwarna-warni. Ada anak yang
menyeletuk, “Seperti pelangi dong kak!”
Akhirnya nama rumah
belajarnya “Rumah Pelangi”
Apa tujuan
Kak Asep mengajar anak-anak?
Saya ingin mengembangkan
potensi anak. Sayangnya kebanyakan orangtua menganggap yang cerdas hanya yang
nilai akademiknya tinggi. Kan bukan
hanya itu. Ada banyak kecerdasan anak yang potensinya bisa digali.
Biasanya saya suka mengobservasi anak-anak dulu. Misalnya saya memperhatikan ada anak yang nilai akademiknya kurang tapi sukanya menggambar. Dia berbakat seni. Saya mencoba mendorongnya untuk mengembangkan bakatnya.
Bagaimana
mengajar mengubah kehidupanmu?
Mengajar membuat saya harus
terus belajar. Saya banyak membaca, bersosialisasi dengan berbagai komunitas,
saya banyak belajar dari pergaulan. Setiap belajar hal baru saya coba
modifikasi dan terapkan ke anak-anak.
Misalnya, waktu itu saya ikut acara temu bincang
edukasi. Ada guru yang bercerita tentang kegiatan mendaur ulang. Saya
menerapkannya di rumah pelangi. Anak-anak diajak berjalan-jalan mengumpulkan
sampah, dan memisahkan sampah organik dan anorganik. Walaupun sederhana, saya
coba terapkan.
Mengajar juga membuat saya belajar untuk lebih sabar,
lebih tulus, dan bisa lebih memahami anak-anak. Saya juga lebih sadar bahwa
ilmu saya masih setetes. Saya harus lebih banyak lagi belajar agar bisa lebih
banyak berbagi.
Apa
tantangan yang Kak Asep hadapi dalam
proses ini?
Tantangan dari diri saya
sendiri adalah bagaimana caranya mengatasi berbagai masalah yang timbul.
Misalnya cara menghadapi anak-anak, orang tua, dan juga sesama relawan.
Misalnya, ada teman relawan yang memberikan contoh yang kurang baik ke
anak-anak. Saya mencoba menegurnya. Saya juga harus menghadapi orang tua. Orang
tua di kampung saya kebanyakan mengharapkan anak-anak datang ke Rumah Pelangi agar
anak-anaknya memperoleh nilai akademik yang tinggi. Ada yang nilai matematikanya di sekolah
turun. Orang tuanya protes padahal aspek lainnya berkembang misalnya bakat
seninya, kemampuan bersosialisasinya, dan lain-lain. Bagaimana caranya mengajak orang tua agar
paham bahwa belajar tidak melulu mengenai nilai yang diperoleh di sekolah saja?
Itu tantangannya. Bagaimana sih cara mengatasi masalah, misalnya cara
menghadapi anak-anak. Saya harus banyak bertanya ke yang lain.
21 November 2012, Rumah Mentari
21 November 2012, Rumah Mentari
Comments